Menuju konten utama
11 Maret 2000

Bagaimana H.B. Jassin Merawat Sastra Indonesia?

Rak literasi.
Kembang warisan pusat
dokumentasi.

Bagaimana H.B. Jassin Merawat Sastra Indonesia?
Ilustrasi H.B. Jassin. tirto.id/Gery

tirto.id - “Jassin. Dalam kenangan kita sipat setengah-setengah bersimaharajalela benar. Kau tentu tahu ini. Aku memasuki kesenian dengan sepenuh hati. Tapi hingga kini lahir aku hanya bisa mencampuri dunia kesenian setengah-setengah pula. Tapi untunglah bathin seluruh hasrat dan minatku sedari umur 15 tahun tertuju ke titik satu saja, kesenian.”

Kartu pos bertitimangsa 8 Maret 1944 itu, yang dimuat dalam kumpulan puisi Aku Ini Binatang Jalang, dikirimkan Chairil Anwar dalam perjalanannya di Jawa Timur kepada Hans Bague Jassin. Si penyair bohemian itu memang berkawan baik dengan mantan amtenar kelahiran Gorontalo tersebut.

Curahan hati Chairil Anwar dalam kartu pos kemudian disimpan dengan rapi bersama dokumentasi para sastrawan lain oleh Jassin. Koleksi dokumentasi kesusastraan Jassin dari tahun ke tahun semakin banyak, sampai akhirnya dihimpun dalam lembaga bernama Yayasan Dokumentasi Sastra H.B. Jassin yang diresmikan pada 1977.

“Dokumentasi adalah alat untuk memperpanjang ingatan, memperdalam, dan memperluasnya,” kata Jassin dalam acara peresmian lembaga tersebut, seperti dikutip Pamusuk Eneste dalam pengantar di buku yang ditulis Jassin, Surat-surat 1943-1983 (1984: xvii).

Bermula dari Usia 10

Seperti diungkap Pamusuk Eneste, minat Jassin terhadap dokumentasi bukan bermula dari tahun 1940-an, tapi lebih awal lagi, yaitu sekitar tahun 1920-an akhir saat usianya baru menginjak 10. Sejak sekolah di HIS Balikpapan (1927-1929), Jassin sudah menyimpan buku-bukunya secara teratur dan rapi.

“Saya tidak mau ada buku-buku saya yang robek dan rusak,” ujar Jassin saat menceritakannya kepada Pamusuk Eneste.

Eneste menambahkan, saat masih kecil Jassin sempat sakit dan ayahnya mencoba memberi penghiburan dengan bertanya kepadanya tentang keinginannya. Jassin langsung menjawab bahwa ia ingin dibelikan buku.

Setelah tamat dari HIS Balikpapan, Jassin melajutkan ke HBS Medan (1932-1939). Jika sehabis tamasya gurunya menyuruh murid-murid menulis laporan di buku tersendiri, Jassin selalu menyimpannya. Buku-buku dan karangan-karangan sejak sekolah sampai kuliah di Universitas Indonesia ia simpan baik-baik.

“Masih tersimpan buku-buku harian yang dimulai tahun 1932 dan tulisan-tulisan pertama dalam surat kabar dan majalah untuk anak-anak sekolah semasa di sekolah menengah dan kemudian di Universitas Indonesia. Karangan-karangan yang ditugaskan di kelas pun masih tersimpan dengan rapi,” kenangnya dalam Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia (hlm. 257, 1983).

Sejak sekolah di HBS Medan, Jassin sudah menulis di surat kabar dan majalah. Setelah selesai sekolah di Medan, ia tak tak langsung pulang ke Gorontalo, tapi singgah dulu ke Jakarta untuk menemui Sutan Takdir Alisjahbana. Mereka membicarakan kesusastraan, bahasa, kebudayaan, dan sebagainya. Dari Jakarta, ia melanjutkan perjalanan ke Bandung, Yogyakarta, Solo, Semarang, Surabaya, Ujung Pandang (Makassar), dan akhirnya sampai di Gorontalo.

Sutan Takdir Alisjahbana rupanya terkesan dengan Jassin, sebab beberapa hari setelah tiba di kampung halamannya, Jassin menerima surat dari salah satu pendiri majalah Poedjangga Baroe tersebut yang isinya mengejak untuk bekerja sebagai redaktur buku di Balai Pustaka.

Jassin sebetulnya berminat bekerja di Balai Pustaka, tapi tawaran tersebut tidak langsung diterimanya karena sang ayah melarang bekerja di Jakarta. Selain karena ayahnya masih rindu pada Jassin yang sudah lama merantau, juga karena ia menghendaki Jassin menjadi amtenar di Kantor Asisten Residen Gorontalo.

Selama lima bulan Jassin bekerja sebagai amtenar tanpa digaji satu sen pun. Inilah salah satu hal yang membuatnya tidak betah bekerja di kantor tersebut. Oleh karena itu, maka pada 1 Februari 1940 Jassin datang ke Jakarta, menuju Balai Pustaka untuk melamar kerja.

Berbekal surat dari Sutan Takdir Alisjahbana, ditambah beberapa dokumentasi tulisannya yang telah diterbitkan, serta dokumentasi lain yang pernah ia garap, Jassin akhirnya diterima di Balai Pustaka dan langsung bekerja hari itu juga. Jassin mulai menggarap dokumentasi sastra secara sistematis dan menjadi warisan berharga bagi kesusastraan Indonesia.

Satu hal yang tidak boleh dilupakan, kata Pamusuk Eneste, adalah peran ayah Jassin, Bague Mantu Jassin, yang memiliki perpustakaan pribadi di rumahnya.

“Di atas segala-galanya, hemat saya, sang ayah-lah yang mengilhami sang anak […] Jassin sering membacai buku-buku ayahnya, sekalipun ia belum mengerti betul apa yang tertulis di dalamnya” (hlm. xiv).

Melihat Jassin Bekerja

Karya besar Jassin dalam mendokumentasikan sastra ia lewat buku Tifa Penyair dan Daerahnya (1991), dalam bab “Dokumentasi Kesusastraan”.

Ia menyebutkan bahwa salah satu hal penting dalam dokumentasi sastra adalah untuk dimanfaatkan oleh kaum akademisi, terutama para mahasiswa jurusan sastra yang tengah menyusun skripsi dan tugas-tugas lainnya mengenai kesusastraan modern.

“Maka kalau sudah sampai membuat skripsi, sibuklah mahasiswa mencari bahan untuk dijadikan pokok penyelidikannya. Yang memilih jurusan kesusastraan tentu akan mencari bahan-bahan kesusastraan. Ia pertama-tama akan mencari buku-buku karangan pengarang-pengarang yang akan dibahas misalnya, sekadar riwayat hidup pengarang-pengarang itu, pendapat orang mengenai karya-karya mereka, bahan-bahan mengenai latarbelakang sejarah dan masyarakat dan sebagainya,” tulis Jassin (hlm. 157).

Jassin menjelaskan bahwa para pengunjung yang datang ke Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin mula-mula akan melihat lemari-lemari buku dan majalah serta lemari-lemari lain yang berisi map-map berderet-deret. Map-map tersebut disusun secara alfabetis.

Jenis pertama dari map-map tersebut adalah perseorangan yang isinya dokumen-dokumen yang berkaitan dengan individu pengarang: tulisan-tulisannya dalam majalah dan surat kabar, pembicaraan orang mengenai bukunya, riwayat hidupnya, dan sebagainya.

Jenis kedua adalah deretan map yang berisi permasalahan atau sesuatu soal. Misalnya: Angkatan 66, Balai Pustaka, Biografi Pengarang, Gelanggang, Manifes Kebudayaan, Simposium Sastra.

Map-map berikutnya ia terangkan pula beserta contoh detail isinya. Dalam sistem dokumentasi yang masih manual, Jassin juga menjelaskan tentang pentingnya kartu tulisan dan kartu alamat pengarang/instansi/organisasi pengarang. Jassin bahkan menerangkan bagaimana cara menyimpan bahan-bahan dalam map dengan baik.

Dalam penutup catatannya, Jassin menerangkan dua hal penting dan mendasar yang harus diperhatikan dalam dokumentasi sastra. Pertama, ketekunan. Kedua, pemanfaatan dokumentasi tersebut.

Menurut Jassin, modal dasar untuk membentuk dan memelihara dokumentasi adalah ketekunan dan ketelitian mengikuti segala kejadian di lapangan kesusastraan seperti penerbitan buku, tulisan-tulisan dalam majalah, surat kabar, dan lain-lain.

“Dokumentator harus rajin mengumpulkan bahan-bahan itu dan menyimpannya secara sistematis,” tulisnya.

Hal kedua yang tak kalah penting adalah soal pemanfaatan dokumentasi sastra. Sampai hari ini, tak sedikit lembaga yang mempunyai arsip dan dokumen yang bisa diakses publik, tapi justru memperlakukannya sebagai barang mati. Jassin mengharapkan dokumentasi sastra yang ia bangun dijadikan bahan penyelidikan dan hasilnya diterbitkan dalam berbagai publikasi seperti buku, koran, majalah, dan lain-lain.

INFOGRAFIK HB JASSIN

Warisan Jassin Paling Berharga

“Jassin adalah seorang kritikus yang sudah mendapatkan tempat yang jelas dalam sejarah kesusastraan kita. Penemuannya terhadap karya puisi penyair Angkatan 45, Chairil Anwar, dedikasinya yang luar biasa mendokumentasikan karya sastra, menyebabkan kita harus respek terhadapnya,” tulis Sutardji Calzoum Bachri dalam Isyarat: Kumpulan Esai (2007: 427)

Salah satu kelebihan Jassin sebagai dokumentator sastra adalah ia peduli dengan karya-karya para pengarang yang belum berhasil dan kurang begitu baik. Menurutnya, karya-karya seperti itu akan sangat berarti sebagai bahan sejarah perkembangan pengarang, apabila karyanya sudah diakui baik.

“Surat-suratnya pun, biar hanya secarik kertas kecil, akan menjadi besar artinya ditinjau dari sudut sejarah,” tambahnya.

Pada 11 Maret 2000, tepat hari ini 18 tahun lalu, Jassin meninggal di Jakarta dalam usia 83. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata dengan upacara kebesaran militer. Berkat jasanya bagi dunia kesusastraan, ia dijuluki "paus sastra Indonesia"—sebuah julukan yang memang tidak berlebihan.

Warisan terbesar Jassin bagi bangsa adalah hasil kerjanya selama berpuluh-puluh tahun yang tersimpan di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin di Jalan Cikini Raya No. 73, kompleks Taman Ismail Marzuki.

Nasib PDS sempat terkatung-katung karena kekurangan dana. Radar Panca Dahana dalam Kebenaran dan Dusta dalam Sastra (2001) sempat juga mengkhawatirkan keberlangsungan hidup kantong literasi tersebut.

“Namun siapa pun mengetahui, warisan besar tersebut seolah menjadi khasanah pustaka kecemasan raksasa. Tidak hanya karena ancaman pemeliharaan yang buruk dan pemanfaatan yang minim, juga kekhawatiran ia tinggal menjadi monumen yang ketinggiannya tak mampu dijangkau” (hlm. 197).

Pada November 2017, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, seperti dilansir Media Indonesia, sempat mengunjungi PDS H.B. Jassin dan memutuskan untuk mengelolanya di bawah UPT (Unit Pelayanan Teknis) Khusus. Anis mengatakan, seluruh aset Yayasan Dokumentasi Sastra H.B. Jassin akan diberikan kepada Pemda DKI dan akan dilakukan digitalisasi terhadap seluruh naskah dan arsip. UPT yang mengelola PDS H.B. Jassin, tambah Anis, akan bekerja efektif mulai Januari 2018.

Kamis, 8 Maret 2018, PDS H.B. Jassin terlihat tengah direnovasi. Warung kecil di bawah sudah tergusur. Saya masuk dan menuju ke atas. Tiga orang pengunjung tengah menyigi dokumen sastra yang terdapat dalam beberapa map. Setelah mengisi buku tamu, seorang petugas bertanya, “Mencari apa?”

“H.B. Jassin,” jawab saya singkat.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Humaniora
Reporter: Irfan Teguh
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Ivan Aulia Ahsan