Menuju konten utama

Bagaimana Harta Karun dari Indonesia Ditemukan dan Diperdagangkan?

Jalur perdagangan harta karun melibatkan banyak pihak, dari pemburu, pengepul, kolektor besar atau kecil, hingga pemerintah.

Bagaimana Harta Karun dari Indonesia Ditemukan dan Diperdagangkan?
temuan harta karun di cirebon wreck. foto/cosmix adventures/www.dive-vasco.com

tirto.id - Entah ada hubungannya dengan pengalaman jual beli ‘harta karun’ atau tidak, yang jelas, tampilan Isharyanto begitu nyentrik; rambut gondrong sebahu, kumis cukup lebat, serta aneka rupa perhiasan—kalung, cincin, dan gelang—menempel erat di anggota tubuhnya.

Saya bertemu Isharyanto di satu siang yang mendung di daerah Tangerang, Banten, pertengahan bulan lalu. Ia tampak sibuk dengan pekerjaannya, jasa reparasi bak truk, yang sudah dijalani kurang lebih delapan tahun terakhir.

Sebelumnya Isharyanto adalah pengepul benda-benda ‘harta karun’ dengan reputasi yang cukup menjulang.

“Kayaknya hampir 15 tahun jadi pengepul, ya,” katanya membuka perbincangan.

Ia tak ingat pasti kapan pertama kali terjun dalam bisnis harta karun. Yang ia ingat, konsistensi dan ketekunan telah membawanya memperoleh banyak durian runtuh.

Sebagaimana pengepul pada umumnya, Isharyanto membeli barang-barang peninggalan tersebut dari para pemburu. Jaringannya bisa dibilang sangat luas, tak sekadar tersebar di Pulau Jawa, melainkan juga sampai Sumatera. Dari tangan Isharyanto, barang-barang itu lantas dijual ke kolektor, baik level kecil maupun besar, tergantung apa yang berhasil didapatkan.

Isharyanto sudah punya pemburu maupun kolektor langganan. Ia mengaku tak berani keluar dari pakem tersebut. “Takut aja kalau ngejual barang ke orang baru. Takutnya malah kena tipu, atau malah untungnya sedikit. Enak kalau udah [menjual] sama orang yang kenal. Jaminannya ada,” aku lelaki 54 tahun ini.

Bisnisnya berjalan lebih dari sebatas balik modal. “Pernah yang emas itu sekali jual bawa pulang hampir belasan juta,” ceritanya. “Dari mana, Pak?” saya langsung menimpali. “Di dekat Selat Malaka, sekitar tujuh tahun yang lalu. Salah satu [tangkapan] yang besar sepanjang saya turun [memburu].”

Emas memang senantiasa menjadi komoditas yang paling diincar. Selan itu juga gerabah (alat dapur yang dibuat dari tanah liat yang dibakar) dan perkakas rumah tangga lain, entah itu peninggalan kerajaan Nusantara maupun negara lain. Bila yang didapat di luar tiga barang tersebut, Isharyanto bakal berpikir ulang apakah tetap mengambil dan menjualnya atau tidak.

Tak lama usai ngalap berkah di Selat Malaka, tepatnya pada 2015, Isharyanto memutuskan pensiun. Penyebabnya, ia berkata, banyak: mulai dari kejenuhan, butuh tantangan baru, dan asumsi bahwa makin ke sini aktivitasnya seperti masuk radar aparat. Poin terakhir menjadi penentu.

“Selama ini saya aman-aman saja [dari aparat]. Tetapi, risikonya tetap ada. Nah, daripada nanti kalau diterusin malah jadi masalah, ya sudah, berhenti saja. Toh, rasanya, sudah cukup.”

***

Jumlah ‘harta karun’ yang tersebar di Indonesia sangat banyak. Data dari Asosiasi Perusahaan Pengangkatan dan Pemanfaatan PMKT Indonesia (APPP BMKTI) menyebut sejauh ini terdapat 464 titik yang menyimpan harta karun bawah laut di seluruh kawasan perairan Indonesia. Potensi nilai ekonomis dari harta karun ini tidak main-main: mencapai 12,7 miliar dolar AS atau setara Rp181,69 triliun. Rata-rata setiap titik diprediksi mempunyai potensi ekonomis senilai 27,5 juta dolar AS.

Harta karun itu berasal dari bangkai kapal-kapal yang tenggelam, dari mulai punya negara lain seperti Cina atau Portugis sampai milik korporasi raksasa masa lampau Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).

Menurut Supratikno Rahardjo, dosen arkeologi maritim Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, dari sekian banyak lokasi harta karun di perairan, ada beberapa yang menyandang status ‘titik panas’ seperti Selat Malaka, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Selat Sunda, Karimun Jawa, Makassar, hingga Maluku. “Ini disebabkan karena titik-titik panas itu adalah rute historis di masanya. Kapal-kapal banyak yang lewat di daerah situ,” ucap Supratikno.

Di Selat Malaka, misalnya, mengutip data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), ada sekitar 37 titik harta karun. Sementara di perairan utara Jawa seperti Karimun dan Kepulauan Seribu masing-masing terdapat 14 dan 18 titik.

Statistik di atas baru yang ada di wilayah perairan. Kenyataannya, yang kerap disebut harta karun itu turut pula terpendam di daratan, seperti yang banyak dijumpai di Jawa Timur dan Sumatera Selatan, wilayah yang di masa lampau pernah berdiri dua kerajaan besar: Majapahit dan Sriwijaya.

Keadaan tersebut, tak pelak, mendorong aksi perburuan harta karun besar-besaran, baik secara legal maupun ilegal. Andi Achdian, sejarawan sekaligus editor pelaksana Jurnal Sejarah, menerangkan bahwa gelombang perburuan harta karun di Indonesia masif mulai dekade 1980-an. Pemicunya adalah perburuan kapal VOC, Geldermalsen, oleh orang Australia bernama Michael Hatcher. Oleh Hatcher, muatan Gaeldermalsen yang karam di perairan Bangka dikeruk habis-habisan. Hasilnya berupa ratusan batangan emas dan ratusan ribu benda keramik peninggalan Dinasti Ming dan Ching. Barang-barang itu lalu dilelang di Balai Lelang Christie, Belanda, dan laku terjual seharga 17 juta dolar AS—setara Rp220 miliar pada akhir 1980-an.

“Mulai ramai setelah Hatcher berhasil ngangkat kapal VOC, kalau enggak salah pada 1987,” terang Andi.

Apa yang dilakukan Hatcher dianggap melanggar hukum, dan hal tersebut bukanlah aksi pertamanya. Awal 1980-an, ia berhasil mengangkat kapal karam di Malaysia. Setelah insiden Gaeldermalsen, tepatnya pada 1999, ia kembali mengeruk isi kapal Tek Sing di perairan Bangka, yang ditaksir punya nilai ekonomis sebesar Rp500 miliar.

Deretan aksi tersebut membikin ia dijuluki ‘The Wreck Salvage King’ (Raja Penyelamat Kapal Karam).

Pemerintah Indonesia geram. Upaya pencekalan sekaligus peringkusan terus digalakkan, akan tetapi selalu menemui jalan buntu: Hatcher sulit ditemukan. Kabar terakhir, merujuk laporan Jaringan Konsorsium Penyelamat Aset Bangsa (KPAB), pada 2007 Hatcher disebut tengah berada di Laut Jawa untuk mengulangi keberhasilannya mengeruk harta karun di dalam perairan.

Pada waktu bersamaan, pencurian kapal VOC oleh Hatcher juga membuat pemerintah mengambil keputusan yang sangat krusial: mengomersialkan perburuan harta karun, demikian kata Supratikno. “Berkaca dari pengalaman buruk pencurian kapal VOC yang membikin pemerintah enggak dapat apa-apa, akhirnya dilegalkan saja. Perburuan dikomersialkan. Pemerintah juga memindahkan definisi [‘harta karun’] dari cultural goods ke economy goods lewat SK [Surat Keputusan] yang ditandatangani Presiden Soeharto waktu itu.”

Meski demikian, seiring waktu berjalan, kebijakan tersebut tak otomatis membuat pengelolaan ‘harta karun’ di seluruh Indonesia bisa berjalan dengan damai. Satu per satu masalah timbul dan aksi pencurian tetap marak terjadi.

***

Budi Wiyana masih ingat betul bagaimana booming perburuan harta karun terjadi di Karang Agung, sebuah desa di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Sumatera Selatan, pada medio 1998. Banyak orang datang untuk mencari emas, atau barang-barang peninggalan lain—seperti manik-manik hingga batu mulia. “Penyebabnya adalah karena saat itu bertepatan dengan krisis moneter, selain juga banyak kebakaran hutan yang terjadi sehingga orang-orang ini kehilangan pendapatannya. Rata-rata mereka ini profesinya nelayan dan petani karet,” kata lelaki yang sekarang menjabat sebagai Kepala Balai Arkeologi Sumatera Selatan ini kepada saya.

Sumatera Selatan memang menjadi salah satu titik utama perburuan harta karun di Indonesia. Terdapat cukup banyak daerah yang menyimpan benda-benda dari masa lampau, dari pra-Sriwijaya, kejayaan Sriwijaya, hingga usai Sriwijaya kolaps.

Ambil contoh pantai timur, yang mencakup Musi Banyuasin, Banyuasin, dan Ogan Ilir. Wilayah ini merupakan tempat terpendamnya harta karun macam perahu tua, perkakas dapur, sampai gerabah. Sedangkan di dalam Sungai Musi, yang membentang sepanjang 750 km dari Sumatera Selatan ke Bengkulu, diketahui menyimpan emas.

Emas menjadi komoditas unggul dibanding barang lainnya. Budi mengungkapkan bahwa pencarian emas di Sumatera Selatan dilakukan dengan cara dan pendekatan yang masih tradisional. Di Musi, misalnya, orang-orang rela menyelam hingga bagian paling bawah bermodalkan peta yang dibikin warga setempat.

Harga emas dibanderol di angka maksimal Rp500 ribu setiap gram. Dari tangan pemburu, emas tersebut biasanya dibawa ke kecamatan untuk dijual. Ada juga yang disalurkan ke pengepul untuk kemudian diperdagangkan kepada para kolektor di berbagai tingkat: kecil sampai besar. “Bahkan ada yang sampai dibawa ke Singapura, lewat jalur bawah tanah,” imbuh Budi.

Mayoritas praktik tersebut dilakukan diam-diam, tanpa mendapatkan atau meminta persetujuan negara selaku pemegang otoritas, karena sejak awal motifnya memang mencari untung.

Ada pula pencarian yang lebih modern dan terstruktur. Nyaris 50 kapal bersejarah, termasuk bangkai kapal Perang Dunia II yang tenggelam di Laut Jawa, dirayah oleh komplotan pebisnis kapal tongkang keruk sejak 2013. Operasi sindikat ini nyaris melayari Asia Tenggara. Meski bendera kapal penjarah beragam, tetapi mereka diikat oleh pemasok tunggal: sebuah perusahaan bernama Fujian Jiada Ship Import & Export Co., Ltd, yang berbasis di Fujian, Cina.

Di satu pelabuhan di Jawa Timur, sebuah perusahaan yang bergerak dalam bisnis salvage alias kegiatan bawah air diduga kuat merampok dua kapal perang Belanda yang karam dalam pertempuran Laut Jawa pada 1942, masing-masing seberat lebih dari 6.000 ton. Di dasar laut dengan kedalaman lebih dari 70 meter, kapal-kapal perang ini diremukkan lalu diangkut ke sebuah lahan pengepulan (dumping area) di pelabuhan untuk dicacah, dipilah rongsokan bajanya yang berkualitas, dan dipotong-potong per bagian, kemudian disalurkan ke pabrik baja.

Bagian-bagian kapal yang tak bermanfaat—selongsong peluru, amunisi, bahkan tengkorak pelaut—dibuang begitu saja, meninggalkan serpihan jejak di sekitar areal pelabuhan.

Salah satu modus yang dipakai para penjarah adalah lewat izin pembersihan jalur laut dari Kementerian Perhubungan, lewat Dirjen Hubla, dengan dalih bahwa bangkai kapal-kapal itu mengganggu jalur pelayaran. Perhitungan minimal yang pernah dilakukan Tirto menyebut dalam satu kali operasi penjarahan selama tiga tahun, perusahaan salvage bisa mendapatkan keuntungan nyaris setengah triliun rupiah, hanya dengan mengurus biaya izin sebesar Rp3 juta.

Praktik culas tersebut membuat pemerintah Belanda dan Inggris, juga internal Kedubes Amerika Serikat, mendesak tanggung jawab pemerintah Indonesia. Media di Belanda dan Inggris, termasuk Telegraaf dan The Guardian, memuat dan meneruskan temuan laporan Tirto atas “gangguan tak termaafkan dari setiap kapal karam yang berisi jasad manusia.”

Kasus ini kemudian ditangani oleh Bareskrim Polri, tapi hasilnya belum terlihat: Belum ada seorang pun, baik dari pengusaha maupun pejabat, yang ditetapkan sebagai tersangka.

Supratikno menerangkan bahwa akar dari segala persoalan perdagangan harta karun tersebut ialah salah kaprah ihwal definisi. Ia mewanti-wanti agar penyebutan ‘harta karun’ “kalau bisa jangan dipakai,” lantaran benda-benda yang ada di dalam laut maupun tanah itu tidak datang dari langit dan turun ke bumi dengan sendirinya. “Harta karun, kan, seperti harta yang tidak ada tuannya, harta yang datang dari langit dan turun ke bumi, atau harta yang muncul dari dasar laut. Kita bisa menyebutnya benda cagar budaya, atau kalau dari saya sendiri lebih netral kalau disebut warisan budaya kebendaan,” tuturnya.

“Kenapa? Karena benda-benda itu adalah bukti kejadian masa lampau, berkaitan sekali dengan pengalaman sejarah Indonesia. Benda-benda ini sangat kontekstual dengan ikatan kultural sejarah kita dulu. Maka dari itu, kita menyebutnya warisan budaya,” tambah Supratikno.

Bagi Supratikno, nilai ekonomis yang terkandung dalam benda warisan budaya, atau ‘harta karun’, tak dapat berdiri sendiri. Artinya, ia bisa ada karena ada nilai lain yang lebih dulu menyertai benda-benda itu. “Pengetahuan, sejarah, dan kebudayaan. Nilai penting ekonomisnya muncul dari situ.”

Tak sekadar persoalan definisi yang sejak dalam pikiran sudah keliru, perdagangan gelap benda-benda warisan budaya tersebut dapat terjadi sebab aturan yang dibikin pemerintah memang memberi akses untuk aktivitas semacam itu. Dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya tertulis bahwa setiap orang dapat memiliki dan/atau menguasai Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, dan/atau Situs Cagar Budaya dengan tetap memperhatikan fungsi sosialnya sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang

Kemudian di ayat (2) dijelaskan kepemilikan atau penguasaan tersebut bisa ditempuh selama “jumlah dan jenis Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, dan/atau Situs Cagar Budaya” telah memenuhi kebutuhan negara. Kepemilikan, berlanjut di ayat (3), bisa diperoleh melalui pewarisan, hibah, tukar-menukar, hadiah, pembelian, dan/atau putusan atau penetapan pengadilan, kecuali yang dikuasai oleh negara.

Ketentuan “penguasaan dan kepemilikan” benda budaya tersebut lantas membuka celah bagi banyak pihak, individu atau perusahaan, untuk mengeruk secara masif apa yang tersimpan jauh di dalam perairan maupun daratan. Konteks “penguasaan dan kepemilikan” lantas ditafsirkan secara serampangan: pemburu merasa berhak mencari dan menggali benda-benda warisan budaya, tanpa melibatkan pemerintah, untuk kemudian dijual melalui mekanisme di luar hukum.

“Ketentuan regulasi yang memperbolehkan pencarian benda-benda warisan budaya membuat munculnya celah untuk menjualnya di pasar gelap,” ungkap Budi.

Masalah bertambah kompleks manakala sampai sekarang sinergi antarlembaga pemerintah belum berjalan maksimal. Bambang Budi Utomo, arkeolog senior dari Pusat Arkeologi Nasional, mengaku bahwa masing-masing kementerian, yang punya irisan dengan pengelolaan benda-benda warisan budaya, masih berjalan di koridor masing-masing. Ambil contoh KKP. Mereka lebih berfokus pada bagaimana benda-benda purbakala tersebut mampu menghasilkan nilai ekonomis yang berguna bagi kas negara—dengan dijual, dilelang, atau dilimpahkan ke pihak swasta sebagai bentuk investasi. Ini jelas berkebalikan dari misi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) atau Pusat Arkeologi Nasional yang menginginkan benda-benda itu tetap dirawat demi tujuan sosial.

“Secara arkeologi [penjualan atau pelelangan] itu tidak dibenarkan. Tapi, masalahnya, kalau enggak dijual kita enggak mampu menjaganya karena aset benda-benda sejarah sangat banyak. Modalnya enggak sedikit,” paparnya saat saya hubungi.

Menurut Bambang, yang bisa dilakukan paling dekat agar benda-benda warisan budaya ini tak terus-menerus dijual diam-diam adalah memperbaiki kerja sama antarinstansi. Beberapa kementerian maupun lembaga negara sebaiknya duduk bersama dan merumuskan ke mana dan bagaimana benda-benda warisan itu ingin dikelola. “Ini sudah termasuk pembicaraan mengenai pengarsipan di tiap situs cagar budaya. Kita belum punya itu. Dan juga soal pengawasan setelahnya yang selama ini masih kewalahan,” katanya.

Bila pun nantinya pemerintah hendak melibatkan peran swasta, gerak mereka juga tak dapat serta merta sembarangan. Pihak swasta, pada intinya, mesti menunjang tujuan pemerintah dalam pelestarian benda-benda warisan budaya, kata Bambang. “Jangan sampai mereka justru memanfaatkan itu buat menjual barang-barang berharga secara sembunyi-sembunyi.”

Infografik Perburuan Harta Karun

Infografik Perburuan Harta Karun. tirto.id/Fuad

Senada dengan Bambang, Andi mengutarakan bahwa kerja sama lintas disiplin dalam konteks pelestarian benda-benda warisan budaya memang perlu dan penting untuk ditempuh. Ini disebabkan kerja sama seperti itu mampu menyediakan narasi utuh perihal warisan budaya, yang sejatinya menyimpan banyak cerita atau mengutip pernyataan Andi: deep history. “Supaya masyarakat juga paham bahwa benda-benda ini itu peninggalan yang berharga. Harapannya, dari narasi atau cerita itu timbul kesadaran untuk turut merawat, alih-alih menjualnya.”

Sementara Budi berpendapat partisipasi masyarakat di akar rumput juga jadi faktor tak kalah penting ketika bicara soal pelestarian benda-benda warisan budaya. Masyarakat, dalam bayangan Budi, dapat jadi mitra yang sangat membantu kerja-kerja pemerintah dan peneliti.

“Ini selalu saya tekankan ketika sedang turun ke lapangan. Biasanya saya kumpulkan mereka, dan kasih pemahaman bahwa apa yang sedang kami lakukan adalah penelitian dan upaya pelestarian warisan budaya. Ini supaya mereka tidak curiga dan menganggap kami sedang mencari emas. Dengan begitu, nantinya, masyarakat juga bisa kasih tahu kami kalau ada benda-benda serupa di sekitar mereka. Karena mereka ini yang sering berhubungan langsung dengan benda-benda itu,” jelas Budi panjang-lebar.

Upaya menjaga benda-benda warisan budaya sudah pasti tak akan pernah mudah, selain jalannya yang begitu panjang dan berliku. Tapi, satu hal yang perlu dicermati dan dijadikan pegangan: lenyapnya benda-benda warisan budaya sama berarti dengan lenyapnya bagian dari sejarah Indonesia.

Baca juga artikel terkait HARTA KARUN atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Rio Apinino