Menuju konten utama

Bagaimana Film Klasik Mengubah Persepsi Publik tentang Pedofilia

Gambaran pedofil dalam film berbeda-beda. Ada yang menggunakan sudut pandang pelaku dan victim blaming, ada pula yang pakai sudut pandang korban.

Bagaimana Film Klasik Mengubah Persepsi Publik tentang Pedofilia
Ilustrasi pedofilia. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Artis terpidana kasus pencabulan terhadap anak di bawah umur, Saipul Jamil, disambut meriah setelah bebas dari penjara dan langsung mendapatkan berbagai pekerjaan untuk kembali manggung dan tampil di televisi. Bagi Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti yang juga dibenarkan banyak orang, ada yang keliru dari semua itu.

“Saya khawatir para penonton televisi memaklumi penyebab Saipul Jamil masuk penjara. Pelaku bisa merasa tidak bersalah atas perbuatannya. Menganggap kekerasan seksual sebagai sesuatu yang normal. Ini sangat berbahaya,” katanya.

Berangkat dari kasus tersebut, dalam artikel ini saya akan membahas representasi pedofilia dalam film.

Ahli peradilan pidana Nicole Rafter dalam artikel berjudul “Crime, Film and Criminology: Recent Sex-Crime Movies” (2007) menyebut film—terutama genre kriminal—adalah medium yang tepat untuk mendiskusikan apa itu yang “benar” dan “salah” tentang tindak pidana seksual sebab ia bersifat komunal, baik dalam arti pengalaman menonton dan memproduksinya. Film adalah medium seni dengan jangkauan luas; mudah diakses. Film juga juga dibuat dengan cara kolaboratif atau melibatkan banyak orang sehingga isu yang ditampilkan biasanya mencerminkan sentimen kolektif atas isu tertentu di masyarakat.

Menurut Pauline Greenhill dan Steven Kohm dalam “Little Red Riding Hood and the Pedophile in Film: Freeway, Hard Candy, and the Woodsman” (2009), representasi pedofil dalam sejarah film terus berubah semenjak muncul dalam salah satu crime film pertama, M (1931), karya sutradara dan penulis naskah Fritz Lang.

Greenhill & Kohm menjelaskan setelah 1970-an pedofilia dalam film didominasi oleh dua representasi. Pertama, representasi tradisional yang mengambil sudut pandang pelaku dengan katalis M (1931). Dalam kelompok pertama ini, yang juga ditampilkan dalam Capturing the Friedmans (2003), Lolita (1997), dan The Mark (1961), pedofil ditampilkan sebagai karakter kompleks.

Kedua, representasi liberal yang mengambil sudut pandang publik dengan katalis Taxi Driver (1976). Karakter pelaku diasosiasikan sebatas pada tindak kriminalnya dan ada pihak ketiga serta karakter korban yang mengintervensi. Representasi ini juga ditampilkan dalam Little Children (2006), Eight O’Clock Walk (1954), dan Never Take Sweets from a Stranger (1960).

Di luar perannya sebagai pemicu diskusi tentang pedofilia, M dan Taxi Driver juga merupakan film yang berkontribusi besar terhadap perkembangan film itu sendiri sebagai medium seni dan bahasa visual.

M adalah film suara pertama Fritz Lang, sutradara kelahiran Austria yang berkarya di Jerman setelah bertempur dalam Perang Dunia I. Pembuatan naskahnya dibantu sang istri, Thea von Harbou. Mereka telah berkolaborasi untuk menulis Metropolis (1927).

Selain M, Lang banyak merekam Jerman pascaperang lewat film-film ekspresionisme yang bergenre horor atau fiksi ilmiah seperti Metropolis (1927) dan Dr. Mabuse (1922 & 1933), sebelum akhirnya melarikan diri ke Hollywood dan menghasilkan film-film thriller serta crime seperti Cloak and Dagger (1946).

M diproduksi di Jerman era Republik Weimar, sebuah era singkat yang penuh eksperimen seni. “kelak orang akan mengenang Weimar bak Zaman Perikles Baru—era keemasan intelektual, seni, dan dagang di Yunani Kuno,” kata sosiolog Karl Manheim tentang pembubaran Weimar pada 1933 karena Nazi berkuasa.

M mengisahkan seorang pedofil bernama Hans Beckert (diperankan Peter Lorre yang nantinya ikut Lang ke AS dan menjadi bintang Hollywood) yang meneror sebuah kota di Jerman dengan menculik dan membunuh anak-anak kecil. Naskah M terinspirasi dari kisah nyata pembunuh berantai Peter Kürten yang dikenal dengan julukan “The Vampire of Dusseldorf”.

British Film Institute menganggap inilah film pembunuh berantai pertama. Tidak hanya itu, M juga salah satu film pertama yang menggunakan sound effect secara efektif untuk memicu ketegangan hingga bisa membawa penonton saat itu ke pengalaman baru yang tidak lagi murni visual.

Si pedofil bersiul setiap kali beraksi, mulai dari memantau hingga menculik dan membunuh korban. Siulan ini, yang juga terdengar ketika Beckert off screen, menjadi penanda akan terjadinya bahaya tapi akhirnya digunakan juga oleh para penduduk untuk menangkap pelaku.

Tak hanya sound effect yang membuat film ini spesial. Camera-work yang diusung oleh Fritz Arno Wagner juga sukses menghasilkan adegan-adegan ikonik yang terus memengaruhi crime films hingga saat ini. Contohnya adegan ketika M menculik dan membunuh seorang anak bernama Elsie. Gambar sukses menyampaikan cerita hanya lewat shots visual tanpa dialog. Kita disuguhkan rentetan adegan yang menunjukkan piring kosong, bola karet yang tergeletak di halaman, dan balon merah menyangkut di pagar dekat hutan yang beberapa menit sebelumnya diberikan M kepada Elsie.

M terbukti membawa masalah bagi masyarakat di seluruh lapisan sosial. Maka tak heran di pertengahan film baik polisi, ibu rumah tangga, bapak-bapak pekerja kantoran, hingga gelandangan dan bahkan anggota mafia dan pengedar narkoba turut serta dalam upaya menangkap pelaku. Setelah berhasil, mereka memutuskan untuk main hakim sendiri.

Beckert diadili dalam adegan penutup berdurasi sembilan menit. Sebagian besarnya habis untuk close-up monolog dari M. Ia menggunakan gangguan kesehatan mental sebagai justifikasi atas tindakannya. Menurut M, ada suara-suara di dalam otak yang mendorongnya melakukan hal-hal buruk yang sebenarnya tak ingin ia lakukan.

Dalam pleidoi tersebut Beckert juga menghina para anggota mafia dan pengedar narkoba karena ia tidak terima sampah masyarakat itu merasa lebih baik dari dirinya. Menurut M, para kriminal punya pilihan. Mereka bisa saja mencari pekerjaan jujur, tidak seperti dirinya yang terpaksa membunuh.

Setelah monolog dramatis ini, di mana penonton dikondisikan untuk memihak M yang tidak lagi berdaya, para karakter penduduk berteriak meminta ibu dari korban untuk menentukan nasib si pedofil. Di saat itulah polisi datang dan menyeret M ke penjara untuk diadili hukum negara.

Penonton kemudian hanya disuguhkan adegan ruang pengadilan. Para hakim sedang berdiskusi, fade-out, dan kemudian yang kita lihat adalah para ibu dari korban duduk berdampingan sambil menangis. Salah satu dari mereka berkata, “This won’t bring back our children, we should keep a closer watch on our children,” 'Ini tidak akan mengembalikan anak-anak kami, harusnya kami menjaga anak-anak kami dengan lebih baik.' Setelahnya end credits film pun dimulai.

Greenhill & Kohm menjelaskan bagaimana perspektif pelaku yang diambil Lang ini memajukan kontemplasi atas pertanyaan-pertanyaan berat seputar isu pedofilia, terutama soal konsekuensi bagi pelaku: apakah mereka itu orang-orang dengan gangguan mental yang butuh direhabilitasi atau iblis yang pantas dihukum atau bahkan dibunuh?

Sementara Kayleigh Roberts mengatakan keputusan Lang menutup film dengan dialog “this won’t bring back our children, we should keep a closer watch on our children” malah jadi victim blaming atau menyalahkan korban. Menurutnya victim blaming adalah masalah utama di balik ruwetnya penyelesaian berbagai kasus kekerasan seksual. Roberts juga menulis bahwa tendensi untuk menyalahkan korban sebenarnya adalah bentuk pertahanan psikologis dari pihak ketiga yang terlibat. Ia fiksi yang diceritakan untuk mempermudah mencerna realitas.

Justifikasi penyakit mental dari M juga sangat problematik. Seperti yang diuraikan The Journal of the American Academy of Psychiatry and the Law (JAAPL), publik menggunakan label “pedofil” secara peyoratif dan menjadikannya sinonim “pelaku kekerasan seksual terhadap anak-anak”, padahal faktanya tidak selalu seperti itu. Pedofil memang mereka yang memiliki gangguan tertarik secara seksual terhadap bocah, tapi bukan berarti otomatis merealisasikan hasrat itu dalam tindakan. Menjadi seorang pedofil bukan alasan untuk bertindak semena-mena.

Sekarang soal Taxi Driver (1976). Dalam M, aparat masih menjadi otoritas akhir penyelesaian nasib seorang pedofil, tapi dalam Taxi Driver itu ada di tangan karakter utama Travis Bickle (diperankan Robert De Niro) yang berempati terhadap korban. Bagi Bickle, pemerintah dan polisi hanya terdiri dari orang-orang korup yang lebih peduli akan uang dan kekuasaan, bukan melindungi rakyat.

Taxi Driver adalah salah satu masterpiece karya auteur Hollywood, Martin Scorsese. Kritikus film Roger Ebert mengatakan Scorsese menunjukkan kebolehannya sebagai seorang sineas melalui film ini. Contohnya ada banyak sentimen-sentimen problematik dari karakter utama yang disampaikan hanya dengan visual tanpa dialog. Cinematographer Scorsese, Michael Chapman, menggunakan slow motion saat menunjukkan sudut pandang Bickle dari balik kemudi taksi yang berjalan dengan kecepatan normal di malam hari untuk menyampaikan perasaan superior di antara “sampah masyarakat” yang keluar malam hari seperti pekerja seks dan pengedar narkoba yang kebanyakan direpresentasikan berkulit hitam.

Meski merasa begitu, Bickle ditampilkan tidak lebih baik dari para sampah masyarakat itu. Bickle digambarkan tinggal di apartemen studio kecil yang berantakan, penuh sampah bungkus makanan dan soda, ia berbohong ke orang tua soal pekerjaannya, dan sering menonton film porno.

Suatu hari Bickle diceritakan menyukai seorang staf kampanye kandidat presiden, tapi ditolak mentah-mentah setelah mengajaknya kencan ke bioskop “film biru”. Setelah itu ia ingin balas dendam dengan cara membunuh si calon presiden tapi gagal.

Kemudian ia berteman dengan seorang pekerja seks berusia 12 tahun bernama Iris (diperankan Jodie Foster). Bickle ingin menyelamatkan Iris dari pekerjaannya, juga dari Sport, muncikari sekaligus pedofil yang memacari Iris, meski Iris sebenarnya merasa nyaman dengan hidup tersebut.

Akhirnya Bickle memutuskan membunuh Sport, sesuatu yang menurutnya baik dan benar. Bickle akhirnya juga tertembak dan ikutan terkapar.

Film ditutup dengan montase surat dari orang tua Iris yang berterima kasih kepada Bickle, juga artikel-artikel koran yang menyebutnya sebagai seorang pahlawan. Duduk soalnya, kita tidak pernah tahu apakah semua ini benar-benar terjadi atau hanya terjadi dalam pikiran Bickle.

Menurut Ebert, karakter Bickle dibentuk mengikuti esensi kebanyakan karakter utama Scorsese, seperti Henry Hill & Jimmy Conway dalam Goodfellas (1990), yang membenci diri sendiri dan lingkungan tempat hidup dan mencari nafkah, tapi pada saat yang sama tetap ingin dimaafkan dan jadi terpuji. Sentimen ini bisa dimengerti oleh kebanyakan orang.

Di samping representasi dalam M yang menggunakan sudut pandang pelaku dan perspektif pihak ketiga dalam Taxi Driver, ada satu yang belum dimunculkan dan seharusnya dapat menjadi yang paling dominan, perspektif para penyintas.

Survei dari Clara McGlynn & Nicole Westmarland dari Universitas Durham, Inggris, pada 2018 yang berjudul “Kaleidoscopic Justice: Sexual Violence and Victim-Survivors’ Perceptions of Justice” menguraikan variasi persepsi para penyintas atas apa yang mereka anggap sebagai keadilan.

Ada enam bentuk keadilan yang diidentifikasikan: konsekuensi bagi pelaku, pengakuan atas ketidakadilan, perlakuan dari masyarakat yang tidak mengurangi harga diri penyintas, pemberian suara kepada penyintas, pencegahan terjadinya kasus kekerasan seksual lebih lanjut, kemampuan untuk melanjutkan hidup di masyarakat tanpa stigma, dan keadilan bagi kasus kekerasan lain. Tentu ini semua mungkin sekali diangkat dalam film.

Infografik Film M

Infografik Film M. tirto.id/Sabit

Ada beberapa film yang telah mengedepankan perspektif penyintas meski tak dominan. Salah satu contoh ikoniknya adalah Lady Vengeance (2005), penutup trilogi Vengeance karya sutradara legendaris asal Korea Selatan, Park Chan-wook.

Kritikus film The Guardian, Peter Bradshaw, menulis bahwa melalui Lady Vengeance Park Chan-wook berhasil melakukan apa yang Quentin Tarantino harap bisa dilakukan dengan Kill Bill (2003): film balas dendam perempuan penuh darah dan didukung teknik penceritaan yang menarik.

Lady Vengeance mengikuti Geum-ja, perempuan usia 30-an yang 13 tahun lalu dipenjara karena dianggap membunuh anak 5 tahun. Film dibuka dengan bebasnya Geum-ja dari penjara dan ia mengumpulkan kawan-kawannya di sel untuk membalas dendam kepada mantan guru SMA-nya yang ternyata seorang pedofil dan pembunuh sebenarnya “korban” Geum-ja dan juga belasan anak-anak lain.

Motivasi Geum-ja membunuh bekas gurunya diungkapkan perlahan dalam bentuk flashback dan juga angan-angan surealis.

Film ditutup dengan Geum-ja yang berhasil, tidak hanya menyekap mantan guru SMA-nya, tapi juga mengumpulkan para orang tua dan kerabat dari anak-anak yang dulu dibunuh dan dicabuli. Geum-ja digambarkan menanyakan apa keinginan mereka satu per satu. Ada yang tak mau terlibat, ada yang cukup menonton selagi yang lain memukuli, menikam, dan akhirnya membunuh si mantan guru.

Polisi, pada adegan ini, digambarkan membiarkan mereka menghakimi si pedofil.

Baca juga artikel terkait KASUS PEDOFIL atau tulisan lainnya dari Pia Diamandis

tirto.id - Film
Kontributor: Pia Diamandis
Penulis: Pia Diamandis
Editor: Rio Apinino