Menuju konten utama

Bagaimana Eks-Tentara Anak di Konflik Ambon 'Hijrah' Menuju Damai?

Tentang seorang anak yang pernah terbiasa menghabisi anak lainnya atas nama iman, lalu kembali ke jalan yang benar, jalan penuh kedamaian.

Bagaimana Eks-Tentara Anak di Konflik Ambon 'Hijrah' Menuju Damai?
Umat Kristiani Ibu Telussa (kiri) berjabat tangan sambil mengucapkan terima kasih kepada salah satu pemuda Muslim, Ewin (kanan) yang membantu menjaga gereja serta mengatur arus lalu lintas saat umat Kristiani beribadah malam Natal di Gereja Silo, Ambon, Maluku, Sabtu (24/12) malam. ANTARA FOTO/Embong Salampessy/aww/16.

tirto.id - “Saya menyaksikan perang antara Pasukan Putih dan Pasukan Kuning di jalan raya. Masing-masing dari mereka menggunakan kekuatan magis. Saya melihat secara langsung bagaimana parang melayang di udara lalu kembali kepada pemiliknya,” kata Ronald Regang kepada Jacky Manuputty.

Jacky, pendeta sekaligus aktivis perdamaian Maluku, mengaku sulit mempercayai cerita tersebut. Tapi sebagai mentor yang baik ia mesti mendengarkan seluruh kesaksian Ronald, mantan tentara anak di konflik antarkelompok beragama yang pecah di Ambon dan sekitarnya sepanjang tahun 1999-2002.

“Para jagoan dari Pasukan Putih dan Pasukan Kuning saling melompat seperti orang melayang di udara dan berperang di sana. Banyak mayat bergelimpangan.”

Sekali lagi, Jacky susah untuk merasionalisasi kisah tersebut. Meski demikian pengakuan tersebut jadi penting sebab kejadian di Ternate itu adalah momentum pertama kali Ronald menyaksikan aksi kekerasan berdarah yang dibakar sentimen SARA.

Jacky menuangkannya di laporan biografis bertajuk “Dari Tarian Perang ke Tarian Damai”. Bersama kisah mantan pelaku atau korban ekstremisme masa lampau lain, kisah Ronald dibukukan oleh PUSAD Paramadina berjudul Keluar dari Ekstremisme: Delapan Kisah “Hijrah” dari Kekerasan Menuju Binadamai.

Pada Rabu (25/7/2018) sore PUSAD Paramadina mengadakan diskusi buku di Kios Ojo Keos, Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Jacky menjadi pembicara dan mengulang lagi kisah mendampingi Ronald 'hijrah' dari masa lalunya yang kelam sekaligus traumatis.

“Ada perdebatan konflik di Maluku itu konflik agama atau bukan. Tapi fakta di lapangan agama memang dipakai untuk menggerakkan kedua massa. Berkah dari pemuka agama yang melegitimasi perang itu kekuatan yang jauh lebih dahsyat dari senjata yang dipegang manusia,” kata Jacky.

Bom Waktu

Ronald lahir di Waipo, Maluku Tengah, pada 31 Juli 1989. Ia tumbuh di keluarga Kristen yang taat. Bapaknya adalah tentara. Sebelum tahun 1998 ia tidak pernah mendengar isu terkait konflik Kristen-Islam. Namun kerusuhan yang bermula di Ambon pada 1999 mengubah segalanya.

Ketegangannya menjalar hingga Ternate. Pasukan Kuning mewakili kelompok Kristen, Pasukan Putih mewakili kubu Islam. Ada batas teritori wilayah yang jika dilanggar harganya adalah nyawa.

Saling serang berlangsung secara gerilya, kadang berhadapan langsung, dengan bersenjatakan parang atau senjata api rakitan. Rumah-rumah dibakar. Barang-barang dijarah. Gereja dan masjid jadi markas masing-masing kubu. Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana.

Maluku juga tempat lahir dan tinggal Jacky. Di dalam buku ia bercerita bahwa hingga era 1970an warga Muslim dan Kristen hidup berdampingan, relatif tanpa gesekan.

Pada awal 1980-an muncul penguatan identitas dan fanatisme agama, terutama akibat kebijakan-kebijakan baru Presiden Soeharto yang dinilai mulai mengistimewakan umat Muslim.

Gelombang transmigrasi yang membawa sebagian warga Muslim Jawa ke Maluku jadi akar persoalan lain. Komunitas Kristen, kata Jacky, tidak hanya khawatir akan proses “Islamisasi”, tapi juga merasa "tersisih dari segi ekonomi".

Seingat Jacky, di masa itulah pesantren kilat mulai bermunculan, lalu ditanggapi pihak Kristen dengan membuat ibadah sekolah gabungan. Organisasi siswa mulai terbelah. Eksklusivisme antar kelompok menguat. Sikap saling mencurigai meluas di kampus, tempat kerja, dan lembaga pemerintahan.

Ada banyak riset yang cukup komprehensif membahas konflik di Maluku. Salah satunya, yang juga banyak dikutip di buku Keluar dari Ekstremisme, adalah karya Sumanto Al Qurtuby berjudul Religious Violence and Conciliation in Indonesia: Christians and Muslims in the Moluccas (2016).

Sumanto menyebutkan di era 1980-an simbol-simbol keagamaan makin meramaikan ruang publik. Misalnya lewat perang mural. Ketegangannya bak bom waktu, yang akhirnya benar-benar meledak pada Januari 1999.

Awalnya cuma terjadi di beberapa titik, kemudian menyebar ke daerah dan pulau lain, dan diperparah dengan kedatangan kombatan dari luar Maluku. Mereka tergerak oleh berita hingga desas-desus terkait korban yang berjatuhan dari pihak yang satu agama, lalu memutuskan untuk “jihad”.

Ronald dan ayahnya sempat mengungsi ke Manado. Menurut cerita Jacky, pada Maret 2000 ia berangkat ke Ambon lantaran ingin menyusul ibu dan dua saudaranya.

Ronald menaiki kapal milik pengusaha Kristen, sehingga aman saat berlabuh. Di tempatnya mendarat sudah banyak kelompok kombatan Kristen yang bertugas memburu para penumpang kapal yang beragama Islam. Sebuah metode perburuan yang juga dilakukan oleh kelompok Islam.

Produk Lingkungan yang Sedang Terbakar

Ronald cepat akrab dengan anak-anak dan remaja setempat yang sebagian sudah jadi tentara anak. Ada yang jadi kelompok pemegang parang, pembakar rumah, penembak, dan pengebom. Ronald awalnya dikenai tugas sederhana, lama-kelamaan “kariernya” naik.

Semua berkat kecepatan Ronald belajar menembak, menyusup, hingga menyelamatkan diri saat terjebak. Ia bergaul dengan para kombatan dewasa, ikut patroli di Teluk Ambon, hingga pada suatu hari menyaksikan saudaranya tewas. Awalnya ia terguncang, namun lama-kelamaan terbiasa.

Faktor yang menebalkan mentalnya, kembali mengutip cerita Jacky saat diskusi buku, adalah indoktrinasi bahwa konflik tersebut adalah perang suci (holy war).

Ritual perang diikuti dengan patuh. Tidak menjarah, tidak berucap kata kotor, dan tidak mabuk-mabukan, sebab bertentangan dengan nilai Kristen. Laku itu dianggap mengotori kesucian perjuangan, kata Ronald, dan akan fatal akibatnya jika dilanggar.

Sebelum menuju medan laga, mereka meminta berkat ke para pendeta. Mereka melakukan ritual khusus bikinan kelompok.

“Di leher mereka digantungkan Alkitab kecil yang mereka yakini akan menjadi perisai suci dalam peperangan,” imbuh Jacky.

Membunuh lawan lama-lama bukan lagi dianggap sebagai hal yang “wah”. Hatinya sudah beku—sebab para senior telah mendoktrinasi tentara anak untuk mematikan perasaan. Kematian kawan-kawannya sendiri juga ia anggap wajar, sebagai konsekuensi dari sebuah perang.

Jacky kembali mengutip Qurtuby terkait dendam dan kebencian yang diproduksi secara intensif untuk mengobarkan semangat perang.

Kebencian itu banyak dibangun dari prasangka belaka dan ketiadaan komunikasi menyebabkan kedua belah pihak memompanya terus-menerus. Prasangka-prasangka yang menumpuk diakhiri dengan kesimpulan bahwa kelompok seberang, yang berbeda iman, adalah ancaman, sehingga mesti dimusnahkan.

Kebencian di dalam dada Ronald makin membara ketika pada tahun 2002 ia naik pangkat menjadi wakil komandan lapangan untuk 30-an tentara anak di kelompok Agas Brutal.

Tenaganya juga makin sering dipakai oleh para kombatan dewasa, di mana ia makin akrab dengan senjata organik hingga belajar strategi perang dari film-film Hollywood.

Titik Balik

Usai Perjanjian Malino II untuk perdamaian kedua belah pihak ditandatangani pada 2002, konflik mengalami penurunan. Singkat cerita, Ronald mau tak mau kembali ke kodratnya sebagai anak remaja: bersekolah—meski sesekali ditarik ke medan pertempuran oleh para kombatan dewasa.

Untungnya, menurut Jacky, pergaulan dengan teman-teman sekolah pelan-pelan mengubah perangai Ronald. Kegiatan ekstra-sekolah seperti menari membuat Ronald bergaul dengan teman-teman lintas agama.

Titik balik terbesar adalah saat Ronald didelegasikan Jacky untuk program UNICEF di UGM pada tahun 2004. Di acara tersebut ia bertemu dengan anak-anak mantan kombatan atau korban konflik dari Aceh, Poso, dan lain-lain. Komunikasi yang terjalin menyadarkan Ronald satu hal penting: ia bukan pelaku, tapi korban keadaan.

Pada tahun-tahun berikutnya, ia mengikuti banyak acara serupa. Ia mengajar tarian modern di sebuah sekolah menengah atas di Ambon yang siswa-siswinya mayoritas muslim. Ia juga dikirim ke sebuah acara perdamaian di Filipina bersama seorang teman Muslim dari Kota Ambon, juga ke Mindanao untuk bertemu dengan mantan tentara anak lain.

Perjumpaan dengan lebih banyak kawan lintas agama semakin mengikis prasangka buruk yang selama ini bersemayam di benak Ronald. Pandangannya berubah. Kepercayaannya kepada orang Islam membaik.

Transformasi personalnya makin solid saat ia dekat dengan para pegiat Lembaga Antar-Iman Maluku (LAIM). Ia juga aktif di Young Ambassador for Peace (YAP), sebuah komunitas muda penggerak perdamaian lintas-agama di Ambon. Di YAP inilah ia bertemu karib muslimnya, Iskandar Slamet.

Iskandar juga dulu mantan “jihadis mini” di konflik Maluku. Sama seperti Ronald, akhirnya ia menemukan damai.

Mulanya mereka berdebat, namun lama-lama melunak. Komunikasi yang terjalin makin hangat dan menyadarkan bahwa selama ini mereka kurang interaksi langsung—apalagi saling memahami satu sama lain.

“Saya bisa menyimpulkan bahwa selama ini saya dan teman-teman Islam tidak pernah ada bersama. Kami selalu berpisah, dan nampaknya kami dibodohi. Kini melalui proses YAP, saya dan Iskandar sudah bisa mengenal dengan baik,” kata Ronald.

Saking akrabnya, Ronald lebih dari mau untuk melindungi Iskandar.

Contohnya, saat suatu saat Ronald berkunjung ke tempat tinggal Iskandar, serombongan anak Kristen melempari batu. Ronald mengejar mereka sambil sebilah parang yang ia ambil dulu di rumah. Ia berada di garis terdepan saat Iskandar terancam, meski akibat kasus itu ia dipenjara enam bulan.

Mengutip catatan Jacky, keberhasilan transformasi diri Ronald terlihat dari usaha Ronald mengajak teman-teman mantan tentara anak lain untuk ikut mengikuti jejaknya.

Infografik Hijrah Menuju Deradikalisasi

Ronald mengaku upayanya cukup berhasil. Melalui pertemuan-pertemuan lintas agama, cara pandang teman-temannya terkait Islam berubah. Dari yang dulunya dipenuhi dengan prasangka buruk, menuju pemahaman bahwa sesama manusia itu bersaudara, terlepas dari agama atau sukunya.

'Hijrah' Menuju Deradikalisasi

Kisah Ronald hanya satu di antara tujuh kisah lain yang terangkum dalam buku Keluar dari Ekstremisme. Ada narasi biografis tentang eks-jihadis dan perakit bom di konflik Poso, juga perempuan eks-kombatan di konflik separatis di Aceh.

Benang merahnya serupa: para pelaku sekaligus korban situasi menjalani 'hijrah' atau perpindahan gaya hidup, dari yang dulunya dipenuhi kekerasan dalam lingkup ekstremisme, menuju pribadi yang cinta damai. Pribadi yang meninggalkan masa kelamnya.

Setengah porsi isi buku turut menguak cerita para pengungkap kebenaran dan pejuang rekonsiliasi kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu.

Ada pendeta korban diskriminasi dan kekerasan atas nama agama di Bekasi, pejuang rekonsiliasi kultural antara NU dan korban (tertuduh) PKI di tragedi 1965, juga pendeta sekaligus pegiat rekonsiliasi gereja dan korban terkait tragedi 1965.

Tema keberhasilan proses deradikalisasi, terutama yang dialami secara personal, cukup jarang diangkat ke publik. Oleh sebab itu PUSAD Paramadina tertarik untuk membukukannya.

Harapannya, mengutip Dyah Ayu Kartika selaku salah satu editor buku, bisa jadi “bekal untuk menarik keluar para ekstremis dari lingkungannya dan jadi teladan pencegahan bagi generasi selanjutnya.”

Menyadur simpulan Jacky di acara diskusi buku, sekaligus benang merah dari setiap konflik SARA, peperangan tidak menghasilkan pemenang.

Semua pihak kalah. Semua pihak berkontribusi atas melayangnya banyak nyawa secara sia-sia. Semua pihak mewariskan dampak yang tak main-main bagi generasi muda yang terlibat.

Mengutip refleksi yang Ronald ungkap kepada Jacky: “Kita semua adalah korban dari situasi yang menjebak.”

Baca juga artikel terkait KONFLIK SARA atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf