Menuju konten utama
Presidensi G20 Indonesia

Bagaimana Dunia Bersiap Hadapi Ancaman Pandemi di Masa Depan?

CISDI menilai secara keseluruhan sistem kesehatan harus diperbaiki terutama di tingkat pelayanan kesehatan primer.

Bagaimana Dunia Bersiap Hadapi Ancaman Pandemi di Masa Depan?
Menteri Keuangan Sri Mulyani (tengah) berpidato disaksikan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (kanan), dan Deputi Keuangan G20 Indonesia Wempi Saputra (kiri) saat pembukaan The 2nd Joint Finance and Health Ministers Meeting dalam rangkaian kegiatan Presidensi G20 Indonesia di Bali, Sabtu (12/11/2022). ANTARA FOTO/Media Center G20 Indonesia/Akbar Nugroho Gumay/wsj/22.

tirto.id - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan, pandemi memiliki dampak keuangan yang sangat besar. Misal pandemi H1N1 pada 2003 berdampak terhadap ekonomi dunia sebesar 50 miliar dolar AS, pandemi tahun 2009 juga berdampak 50 miliar dolar AS, Ebola pada 2014 berdampak 50 juta dolar AS, serta yang terbesar adalah pandemi COVID-19 yang berlangsung hingga saat ini.

“Ini adalah alasan G20 dimulai pada 2008 yang awalnya mandatnya itu sepenuhnya adalah permasalahan ekonomi, sekarang juga memperhatikan permasalahan kesehatan. Alasannya adalah krisis-krisis kesehatan membawa dampak ekonomi yang sangat signifikan secara global,” kata Menkes Budi dalam Joint Press Conference: The 2nd Joint Finance and Health Minister Meeting di Bali, Sabtu malam (12/11/2022) malam.

G20 atau group of twenty merupakan sebuah forum utama kerja sama ekonomi internasional yang beranggotakan negara-negara dengan perekonomian besar di dunia, terdiri dari 19 negara dan satu lembaga Uni Eropa (UE). Anggota G20, antara lain: Afrika Selatan, Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brasil, India, Indonesia, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Meksiko, Republik Korea, Rusia, Perancis, Cina, Turki, dan Uni Eropa.

Menkes Budi juga menyebut bahwa arsitektur kesehatan global saat ini tak secanggih arsitektur keuangan. Karena adanya organisasi internasional seperti Bank Dunia (World Bank), Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF), atau organisasi lain yang mempunyai kejelasan mandat, proses, serta tata kelola.

“Jika ada krisis keuangan, kita harus bisa mereplikasi keuangan tersebut ke krisis kesehatan. Jadi kita juga memutuskan bahwa untuk membuat gugus tugas keuangan dan kesehatan, sehingga kita bisa institusionalisasi dan juga mereplikasi apa yang sudah ada dalam arsitek keuangan global ke arsitektur kesehatan global,” ucap Budi.

Lebih lanjut, kata Budi, Indonesia ingin mereplikasi sistem tersebut dengan membuat pendanaan pandemi (pandemic fund) yang bisa memainkan peran penting sebagai salah satu pilar dalam arsitektur kesehatan global. Pemerintah menganggap hal ini bisa melindungi umat manusia dari krisis kesehatan global di masa depan.

Presiden Joko Widodo sebelumnya telah meresmikan pandemic fund dunia. Dia kembali mengingatkan soal dampak pandemi COVID-19 yang mengganggu ekonomi global. Kasus COVID-19 harus jadi pelajaran agar tidak ada gangguan pada ekonomi di masa depan.

“Pandemi COVID-19 telah terbukti bahwa dunia tidak siap menghadapi pandemi. Dunia tidak mempunyai arsitektur kesehatan yang ada untuk mengelola pandemi. Oleh karena itu, kita harus memastikan ketahanan komunitas internasional dalam menghadapi pandemi,” kata Jokowi dalam sambutannya secara secara daring, Minggu (13/11/2022).

Pandemic Fund Terkumpul 1,4 Miliar Dolar AS

Berdasar hasil studi Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), kata Jokowi, dunia perlu 31,1 miliar dolar AS tiap tahunnya untuk membiayai sistem pencegahan, persiapan, dan respons terhadap pandemi di masa depan.

Namun, kata dia, hingga kini pandemic fund di bawah presidensi G20 Indonesia baru terkumpul sebanyak 1,4 miliar dolar AS dari 24 donatur, yaitu anggota G20, negara non G20, dan termasuk tiga lembaga filantropis dunia.

24 pendonor tersebut antara lain: Afrika Selatan, Australia, Arab Saudi, AS, Cina, India, Indonesia, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Komisi Eropa, Korea, Norwegia, Prancis, Selandia Baru, Singapura, Spanyol, Uni Emirat Arab (UEA), The BIll & Melinda Gates Foundation, The Rockefeller Foundation, dan Wellcome Trust.

Kementerian Kesehatan menyebutkan, dunia sangat kekurangan investasi dalam kesiapsiagaan pandemi. Hal ini disampaikan Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Dirjen P2P) Kemenkes, Maxi Rein Rondonuwu dalam G20 Side Event bertajuk “Redesigning Pandemic Prevention, Preparedness, and Response: Lessons Learned and New Approaches” di Conrad Bali, Nusa Dua, Bali pada Senin sore (14/11/2022).

“Dunia sangat kekurangan investasi dalam kesiapsiagaan pandemi. Oleh karena itu, kita harus persiapkan, apalagi ada implikasi berat dari COVID-19, krisis kesehatan, dan krisis ekonomi,” ucap dia.

Menurut Maxi, WHO dan Bank Dunia memperkirakan ada kesenjangan kapasitas pencegahan, kesiapsiagaan, dan penanggulangan pandemi (prevention, preparedness, and response/PPR) sekitar 10,5 miliar dolar AS. Dia menilai, mengisi kesenjangan tersebut tidak mudah, karena itu diperlukan mekanisme pendanaan.

Kemenkes berpidato di G20

Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Dirjen P2P) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Maxi Rein Rondonuwu dalam G20 Side Event bertajuk 'Redesigning Pandemic Prevention, Preparedness, and Response: Lessons Learned and New Approaches' di Conrad Bali, Nusa Dua, Bali pada Senin (14/10/2022) sore. tirto.id/Farid Nurhakim

Sementara itu, Founder & CEO Center for Indonesia's Strategic Development Initiative (CISDI), Diah Satyani Saminarsih menilai, masih banyak “pekerjaan rumah” yang harus diselesaikan oleh G20. Hal ini ia ungkapkan dalam media luncheon bertajuk "Communicating Global Health: Time for New Approaches” di Conrad Bali, Nusa Dua, Bali pada Senin (14/11/2022).

“Sebagai organisasi masyarakat sipil, CISDI menilai masih banyak 'PR' bersama yang harus dilanjutkan, disempurnakan, dan diselesaikan oleh G20, maupun inisiatif global lainnya agar desain ulang arsitektur kesehatan global yang mampu menjamin ketahanan kesehatan bagi semua, bisa terjadi, dan tercapai,” ujar dia.

Oleh karena itu, Diah sebut CISDI memiliki tiga catatan. Pertama, peran publik serta masyarakat sipil adalah krusial dan dibutuhkan untuk memastikan pengawasan terhadap penggunaan pandemic fund dapat berjalan baik dan transparan.

“Pendanaan pandemi hingga saat ini masih bergantung pada kontributor tradisional. Hal ini mengakibatkan dana baru yang terkumpul sebesar 1,4 miliar dolar AS atau hanya 10 persen dari keseluruhan target yang dicanangkan dalam pandemic fund, sesuai perhitungan World Bank dan WHO,” kata Diah.

Selain itu, kata Diah, tidak semua kontributor menandatangani kerja sama jangka panjang, baik dalam siklus kontribusi tiga maupun lima tahunan. Sehingga keberlanjutan pendanaan ini dipertanyakan.

Dalam kacamata domestik, Indonesia berkomitmen menyumbang setidaknya 50 juta dolar AS atau Rp740 miliar dalam pandemic fund melalui sumber pembiayaan APBN. Menurut dia, memberikan komitmen finansial tambahan untuk kesehatan global bukan sebuah langkah yang biasa diambil oleh Indonesia.

“Oleh karenanya perlu pelibatan masyarakat sipil, bermakna untuk mengawal bagaimana kontribusi ini akan diterjemahkan ke depannya. Selain itu, peran masyarakat sipil diperlukan dalam proses pengambilan keputusan guna memastikan pandemic fund merefleksikan semangat inklusi dan kesetaraan agar pendanaan bisa bermanfaat dan mencapai negara-negara hingga komunitas-komunitas yang membutuhkannya,” ucap Diah.

Catatan kedua, kata Diah, fokuskan pembiayaan kesehatan pada pembangunan dan peningkatan kapasitas, serta resiliensi sistem kesehatan. Meskipun prioritas penggunaan dana di tahap pertama belum tercapai sesuai target yang diharapkan, rencana tata kelola dan operasional dari pandemic fund tetap harus disiapkan.

“Belajar dari pandemi, transformasi layanan kesehatan primer, yang belum secara spesifik disebutkan dalam prioritas area untuk menerima pendanaan dari pandemic fund, serta masukan dari berbagai komunitas sesuai kebutuhan, harus menjadi dasar pertimbangan dalam penentuan prioritas ranah pembiayaan yang akan ditetapkan,” tutur Diah.

Catatan ketiga, menggunakan kepemimpinan G20 sebagai pengaktif (enabler) untuk mengatasi beban penyakit yang ada (existing disease burden) dan permasalahan akses terhadap obat, vaksin, dan alat kesehatan (alkes) terkait pandemi sebagai barang publik di tingkat global.

Menurut Diah, adanya Joint Financial and Health Minister Meeting (JFHMM) serta kesepakatan yang dicapai di bawahnya, adalah landasan yang dibutuhkan untuk mencapai kesiapsiagaan pandemi.

“Kesiapsiagaan pandemi berhulu pada kesepahaman dan keterhubungan antara sektor kesehatan dengan keuangan. Adanya kelompok kerja keuangan dan kesehatan serta JFHMM di bawah inisiatif G20 seharusnya menjadi pembuka komunikasi kebijakan terjalin baik antara kedua sektor penting ini agar dunia siap menghadapi pandemi berikutnya,” kata dia.

Bagaimana Dunia Bersiap Cegah & Hadapi Ancaman Pandemi di Masa Depan?

Diah menjelaskan, pandemi itu meluluhlantakan dan menghancurkan sistem kesehatan. Karena itu, Diah mengatakan dunia perlu memperbaiki sistem kesehatan untuk menghadapi pandemi di masa depan.

Menurut dia, secara keseluruhan sistem kesehatan harus diperbaiki terutama di tingkat pelayanan kesehatan primer. Di mana melalui sebuah proses transformasi utuh yang menyasar tenaga kesehatannya, cara mengelola data, melakukan diagnosa dan konsultasi, serta cara mendispensasi obat termasuk menjalin kerja sama lintas sektor.

“Jadi transformasi menyeluruh itu yang harus dikerjakan,” kata Diah ketika ditemui reporter Tirto sesudah G20 Side Event di Conrad Bali, Nusa Dua, Bali pada Senin (14/11/2022).

Sementara itu, Director for Global Health Diplomacy Joep Lange Institute, Christoph Hermann mengatakan, produksi vaksin lebih cepat, penelitian mendasar, serta mekanisme pelaporan merupakan hal yang perlu dimiliki sebagai persiapan terhadap ancaman pandemi mendatang.

“Jadi dibutuhkan informasi dan teknologi, kemudian alat-alat digital, sehingga pada saat patogen pertama kali muncul itu kita bisa mengetahuinya,” tutur dia ketika ditemui Tirto seusai media luncheon bertajuk "Communicating Global Health: Time for New Approaches" di Conrad Bali, Nusa Dua, Bali pada Senin (14/11/2022).

Konpers JFHMM

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat jumpa pers selepas memimpin G20 2nd Joint Finance and Health Ministers Meeting (JFHMM) di Nusa Dua, Badung, Bali, Sabtu (12/11/2022) malam. (tirto.id/Dwi Aditya Putra)

Adapun Executive Director & Co-Founder Pandemic Action Network, Eliose Todd menyebut, harus lebih banyak negara yang berkontribusi terutama pada pandemic fund, memastikan dana itu digunakan untuk kesenjangan di tingkat negara, terdapat pertemuan antarpemimpin negara untuk membahas bagaimana ancaman pandemi ke depan, serta harus ada tindakan-tindakan di tingkat politik, bukan hanya di tingkat isu kesehatannya saja.

“Jadi ke depan kita berharap akan ada mekanisme penegakan atau akuntabilitas, jadi negara-negara yang mereka tidak bisa melakukan yang terbaik, itu mereka akan ‘dapat teguran.’ Kenapa? Karena kita sekarang jangan fokus hanya pada keamanan negara kita, tapi negara yang lain juga, kita harus membuat semua negara di dunia ini ada di level yang sama,” kata dia saat ditemui Tirto di Conrad Bali, Nusa Dua, Bali, Senin (14/11/2022).

Hal senada diungkapkan Executive Head of the Pandemic Fund Sekretariat the World Bank, Priya Basu. Ia mengatakan negara-negara perlu berinvestasi lebih pada pencegahan, kesiapsiagaan, respons pandemi, dan langkah-langkah untuk melawan pandemi dan penyakit lainnya.

“Kalau saya bisa tambah, untuk bersiap untuk pandemi berikutnya, harus ada kemauan politik, investasi yang lebih banyak lagi,” tutur dia kepada para jurnalis usai G20 Side Event bertajuk “Redesigning Pandemic Prevention, Preparedness, and Response: Lessons Learned and New Approaches” di Conrad Bali, Nusa Dua, Bali.

Apa yang Dapat Dipelajari dari Pandemi COVID-19?

Diah dan Priya menyebut banyak pelajaran yang bisa diambil dari pandemi COVID-19. Namun yang memiliki arti yang mendalam adalah solidaritas di tingkat masyarakat dan solidaritas global.

Sedangkan Christoph memandang, pandemi tersebut berdampak parah ke semua negara, ada kuncitara (lockdown) yang berdampak pada individu, bisnis usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), dan paling menderita adalah orang miskin.

“Kalau kita sampai mengalami ini kedua atau tiga kalinya, perekonomian semua negara akan runtuh, akan hancur semuanya,” ujar Christoph.

Eliose juga menilai semua negara harus bisa lebih cepat bergerak, terkoordinir, dan bisa dibentuk dewan ancaman global untuk membahas ancaman-ancaman global apa saja yang sedang dihadapi dunia, termasuk pandemi. Selain itu, harus lebih banyak tindakan dan kontribusi dari negara-negara lain.

“Kita lihat sekarang yang punya potensi untuk mengakibatkan terjadinya pandemi baru adalah perubahan iklim. Karena misalnya perubahan iklim, terus keanekaragaman hayati terpengaruh, virus, dan lain-lain keluar dari situ, kita berusaha jangan sampai itu terjadi. Jadi kita lebih fokus pada upaya-upaya pencegahan seperti tindakan-tindakan pengamanan lingkungan, perubahan iklim, dan lain-lain,” sambung dia.

CISDI Harap Kesehatan Global

Caption Foto: Founder & CEO Center for Indonesia's Strategic Development Initiative (CISDI) Diah Satyani Saminarsih dalam media luncheon bertajuk 'Communicating Global Health: Time for New Approaches' di Conrad Bali, Nusa Dua, Bali pada Senin (14/10/2022) siang. tirto.id/Farid Nurhakim

Pendekatan Baru Apa yang Bisa Ditawarkan?

Diah menginginkan dalam pengambilan kebijakan di tingkat pemerintahan, bisa diadakan konsultasi dengan masyarakat sipil. Pemerintah juga diminta untuk menaikkan kualitas layanan di tingkat kesehatan primer.

Sementara Christoph mengatakan, ada dua poin utama dalam pendekatan yang bisa ditawarkan untuk menghadapi pandemi di masa depan. Yaitu melakukan investasi di struktur ilmiah dan infrastruktur yang bisa memberikan suatu pelaporan dini, serta memastikan adanya pertukaran informasi dan data yang baik.

“Karena pandemi ini tidak mengenal batasan, kita tahu dia terjadi di satu tempat, tahu-tahu besok sudah ada di negara lain,” terang dia.

Sedangkan Eliose mengatakan, ada beberapa pendekatan yang bisa dilakukan, yaitu: melakukan surveilans, berbagi informasi sebuah negara harus lebih cepat, dan jika ditemukan kasus-kasus baru seperti varian baru di suatu negara, mereka tidak dihukum.

Di sisi lain, Priya mengklaim bahwa pandemic fund merupakan contoh terbaik dari pendekatan baru, karena setiap negara harus memiliki program tersebut untuk mengatasi pandemi.

“Jadi intinya pandemic fund ini sesuatu yang diharapkan menjadi wadah untuk melakukan hal dengan cara yang berbeda,” kata dia.

Baca juga artikel terkait KTT G20 atau tulisan lainnya dari Farid Nurhakim

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Farid Nurhakim
Penulis: Farid Nurhakim
Editor: Abdul Aziz