Menuju konten utama
15 Desember 2011

Bagaimana Christopher Hitchens Tak Surut Melawan Doktrin Agama

Christopher Hitchens semakin yakin untuk melawan doktrin-doktrin agama setelah penyerangan World Trade Center (WTC) 2001.

Bagaimana Christopher Hitchens Tak Surut Melawan Doktrin Agama
Ilustrasi Mozaik Christopher Hitchens. tirto.id/Tino

tirto.id - “Saya pikir, saya bukan sekadar ateis. Saya lebih pas sebagai anti-teis; bukan hanya semua agama adalah sekumpulan versi dari hal-hal yang tidak benar, tapi juga dampak gereja dan iman keagamaan sangatlah berbahaya.”

Begitu pandangan Christopher Hitchens soal agama. Ia tak menganggap agama sebagai hal positif bagi kemanusiaan. Baginya, doktrin agama hanya untuk pribadi dan tidak boleh disebarluaskan agar peradaban dunia bisa lebih baik. Menurut pengakuannya, pandangan ini telah ada sejak masa mudanya, namun ia jadi lebih yakin karena melihat sendiri penyerangan World Trade Center (WTC) 2001. Sejak itulah ia mendedikasikan sebagian besar waktunya untuk berperang melawan doktrin-doktrin agama.

Perang itu ia lakukan dengan tulisan dan debat-debat publik, baik di kampus maupun di berbagai institusi penelitian dan media. Dalam berbagai kesempatan, ia tidak segan menyebut agama sebagai produk masa peradaban barbar. Artinya, agama lahir ketika manusia dan ilmu pengetahuan belum sanggup memberikan penjelasan ilmiah soal berbagai fenomena alam seperti bagaimana rotasi bumi dan mengapa manusia perlu oksigen.

Doktrin agama yang diperangi Hitchens adalah Yudaisme (agama bangsa Yahudi), Kristen, dan Islam. Menurutnya, ketiga agama inilah yang diorganisasi secara masif dan punya struktur yang ajeg. Oleh karena itu, ketiga agama ini paling besar bahayanya dalam menghambat kemajuan peradaban dunia.

Christopher Eric Hitchens lahir di Portsmouth, Inggris Raya. Ayah dan ibunya bertemu pertama kali di Skotlandia, kala mereka sedang bertugas di angkatan laut Inggris. Belakangan, ia baru tahu bahwa ibunya adalah keturunan Yahudi.

Sejak kecil, Hitchens berpindah-pindah tempat tinggal karena ayahnya harus bekerja di markas-markas angkatan laut Inggris Raya dan berbagai wilayah koloninya. Peter Hitchens, adiknya, lahir di Malta, ketika keluarga mereka sedang tinggal di sana.

Di masa kecil Hitchens menempuh pendidikan di dua sekolah, Mount House School di Devon dan Leys School di Cambridgeshire, sebelum masuk ke Balliol College, Oxford, pada 1967. Ia mendapatkan pendidikan filsafat, politik, dan ekonomi, serta lulus dari Balliol College pada 1970.

Sejak 1960-an Hitchens muda sudah terasosiasi dengan politik sayap kiri. Kala itu, beberapa momentum politik internasional turut membentuk ideologinya: perang Vietnam, kisruh nuklir, isu rasisme, hingga bermunculannya korporasi yang licik.

Tapi bukannya menjadi aktivis penuh waktu, Hitchens memutuskan untuk menjalani profesi jurnalis. Pada 2002, Lynn Barber menulis di The Guardian mengenai keputusan Hitchens yang menurutnya terinspirasi dari Mark James Walter Cameron CBE, jurnalis flamboyan yang dikagumi oleh Hitchens.

Keputusan itu menandai dimulainya karier Hitchens sebagai jurnalis. Menurut pengakuannya, ia ingin menjadi jurnalis karena tidak ingin hanya menelan langsung informasi dari media. Ia ingin terjun langsung memahami peristiwa-peristiwa penting dunia.

Di Pusat Gelombang Ateisme Baru

Sebagai jurnalis investigasi, Hitchens produktif menulis artikel yang tersebar di berbagai media. Di samping itu, ia juga menerbitkan lebih dari 25 buku yang bertema isu-isu sosial-politik dan agama. Di antara buku-buku itu, ia merefleksikan pemikiran tokoh-tokoh besar seperti Thomas Jefferson, George Orwell, Henry Kissinger, Bill Clinton, Bunda Teresa, dan tema-tema politik internasional seperti perang Irak.

Tapi namanya benar-benar dikenal sebagai intelektual publik berkat kegiatannya yang sangat aktif terlibat dalam berbagai debat dan diskusi.

Melalui debat-debat publik itu, ia dikenal sebagai salah satu ujung tombak perlawanan Ateisme Baru. Meski ia mengaku hal ini bukanlah sesuatu yang benar-benar baru, Ateisme Baru mendapat sorotan media karena melibatkan para intelektual dan akademisi ternama. Maklum, selain Hitchens, pada awal abad ke-21 nama-nama akademisi besar ikut memerangi agama dengan argumen-argumen rasional.

Ateisme Baru merupakan istilah yang muncul dari jurnalis Gary Wolf pada 2006 untuk memberi identitas pada mereka yang mengadvokasi pandangan bahwa agama merupakan sesuatu yang irasional dan takhayul, sehingga harus bisa dikritisi secara terbuka. Meski kerap bersilang pendapat dalam banyak hal, mereka yang termasuk dalam kelompok ateis baru ini secara umum sepakat menolak pengaruh agama dalam kehidupan bernegara, berpolitik, dan dalam institusi pendidikan.

Pada 2007, Ateisme Baru seakan “diresmikan” dalam sebuah acara diskusi yang direkam di rumah Hitchens di Washington DC. Pada 2019, transkripsi diskusi ini diterbitkan menjadi buku berjudul The Four Horsemen: The Conversation that Sparked an Atheist Revolution. Diskusi santai itu melibatkan empat orang intelektual publik yang membahas secara luas dan mendalam soal isu agama-agama dunia dan tantangan yang harus dihadapi oleh peradaban manusia.

Richard Dawkins, ahli biologi evolusi, Daniel Dennett dan Sam Harris, filsuf Amerika, datang ke rumah Hitchens untuk acara itu. Diskusi sebenarnya merupakan respons mereka terhadap mulai bermunculannya kesan negatif tentang agama di kalangan masyarakat. Sam Harris bahkan langsung menunjuk Islam sebagai biang kerok kekerasan setelah peristiwa penyerangan WTC 2001.

Pada 2004, Sam Harris menerbitkan buku berjudul The End of Faith: Religion, Terror, and the Future of Reason. Selain Islam, Harris juga menyebut Yahudi dan Kristen sebagai agama yang memberikan dampak negatif pada kemanusiaan.

Buku Harris menjadi bestseller di AS. Kemudian beberapa buku bertema serupa juga laris manis. Hitchens sendiri menerbitkan buku God is Not Great: How Religion Poisons Everything (2007) yang mengupas kekejaman dan pengaruh buruk tiga agama besar dunia bagi kemanusiaan.

Dalam sebuah kesempatan wawancara, Hitchens sempat menyebut bahwa subjudul buku itu bukan sekadar strategi pemasaran agar bisa terlihat lebih menjual, melainkan memang benar-benar sebuah kalimat yang pas untuk menggambarkan keburukan agama yang secara fundamental menyerang akal sehat manusia. Baginya, serangan fundamental inilah yang membuat segalanya menjadi runyam.

Mengkritik Bunda Teresa

Salah satu karya Hitchens paling awal yang memerangi doktrin agama adalah sebuah film dokumenter berdurasi 24 menitan berjudul Hell’s Angel. Disiarkan di saluran televisi Inggris Raya oleh Channel 4 pada 8 November 1994, film itu mengkritik sepak terjang Bunda Teresa.

Tokoh agama yang belakangan diberikan gelar Santa oleh gereja Katolik itu dikenal luas karena mendirikan Missionaries of Charity yang aktif menampung orang-orang miskin yang sakit. Dalam film itu, Hitchens menjelaskan bahwa atas nama doktrin agama, orang-orang yang ditampung tidak diberikan penanganan medis yang layak, namun justru dibiarkan mati perlahan-lahan dengan doktrin berserah kepada Tuhan.

Selain itu, Hitchens juga menemukan bahwa rumah orang sakit milik Bunda Teresa menjadi tempat pembaptisan secara diam-diam bagi para penghuninya. Dalam film itu, ada pengakuan dari Mary Loudon, penulis yang pernah jadi sukarelawan. Loudon mengaku melihat sendiri bagaimana jarum-jarum suntik digunakan berulang kali dengan hanya dicuci seperti layaknya mencuci alat makan.

Bagi Hitchens, kondisi rumah penampungan itu bukan satu-satunya hal buruk. Ia juga menyoroti isu pernikahan dan aborsi. Ia mengambil contoh kasus pemungutan suara di Irlandia pada 1996. Isunya: apakah negara harus tetap melarang aborsi atau harus diperbolehkan.

Di Irlandia yang mulai menampakkan pergeseran ke arah yang lebih sekuler itu, partai-partai politik besar mendorong pendukungnya untuk mengambil sikap dan mendukung izin aborsi untuk dua alasan utama. Pertama, doktrin Katolik yang melarang aborsi tidak bisa dipaksakan untuk seluruh masyarakat Irlandia. Kedua, proses reunifikasi Irlandia tidak bisa diwujudkan jika golongan Kristen Protestan di Utara dipaksa untuk mengakui doktrin Katolik.

Melihat referendum ini, Bunda Teresa sengaja terbang jauh dari Kalkuta ke Irlandia untuk berkampanye agar larangan aborsi tetap diberlakukan dan perceraian dalam pernikahan dilarang oleh agama Katolik.

“Ini berarti, Teresa memaksa seorang wanita Irlandia yang menikah dengan suami pemabuk yang kasar dan suka memukul tidak bisa mengharapkan sesuatu yang baik terjadi dalam hidupnya,” tulis Hitchens dalam God is Not Great: How Religion Poisons Everything (2007:7).

Infografik Mozaik Christopher Hitchens

Infografik Mozaik Christopher Hitchens. tirto.id/Tino

Menganggap Agama sebagai Sumber Hal-hal Buruk

Selain isu seputar Bunda Teresa yang membuatnya tenar, Hitchens juga pernah terlibat dalam debat dengan Rabbi Harold Kushner, rabi Yahudi, di Connecticut, tentang masalah sunat. Hitchens menentang keras sunat anak yang justru disampaikan dengan kelakar oleh rabi Yahudi itu.

“Anak laki-laki saya menangis lebih keras ketika rambutnya dicukur ketimbang ketika disunat,” ungkap sang rabi yang kemudian mengundang tawa para pendengar yang hadir.

Dengan gestur agak marah dan kesal, Hitchens mengungkapkan fakta mengenai dampak buruk mutilasi alat kelamin dan membandingkannya dengan aturan Islam yang melakukan sunat perempuan.

“Apa yang Anda pikirkan jika seorang Islam bilang pada Anda bahwa anak perempuannya menangis lebih keras ketika dicukur rambutnya daripada disunat alat kelaminnya?”

Hitchens melengkapi argumennya dengan fakta banyaknya korban sunat yang mengalami trauma berat mulai dari trauma fisik seperti infeksi, hingga psikologis seperti rendahnya libido seksual.

Debat dengan Rabbi Kushner bukan satu-satunya peristiwa Hitchens menolak doktrin agama yang baginya konyol. Dalam berbagai kesempatan, ia terlibat dalam debat keras dengan para pemimpin agama-agama lain seperti pendeta Frank Turek, pendeta Al Sharpton, hingga Tariq Ramadan, akademisi Islam yang pada 2017 melakukan pelecehan seksual terhadap aktivis sekuler Henda Ayari. Hitchens bahkan pernah berdebat di salah satu stasiun televisi Kanada dengan mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair, dengan tema apakah agama merupakan hal baik bagi peradaban dunia.

Tony Blair yang pindah agama dari Protestan ke Katolik pada 2007 menyebutkan bahwa ia sedang aktif melakukan advokasi agar perseteruan agama di Irlandia bisa menemukan solusi dan jalan penyelesaian. Akan tetapi bagi Hitchens, perselisihan yang sudah berjalan lebih dari 400 tahun dan memakan korban jiwa yang tak terhitung itu tidak akan pernah bisa diselesaikan jika kedua pihak masih terus memegang teguh prinsip agamanya masing-masing.

Forum debat dengan Tony Blair dilakukan pada November 2010, lima bulan setelah Hitchens divonis kanker kerongkongan. Sebagai perokok berat dan gemar minum minuman keras, Hitchens tak pernah menolak kesempatan mengisi acara debat sambil menjalani perawatan.

Dalam wawancaranya dengan Jeremy Paxman, ia mengaku tak pernah sedikitpun terlintas dalam benaknya untuk menerima salah satu agama. Hitchens meninggal dunia dalam usia 62 tahun di University of Texas MD Anderson Cancer Center akibat pneumonia pada 15 Desember 2011, tepat hari ini 10 tahun lalu. Pada September 2012, buku kumpulan tujuh esai mengenai penyakit dan pengalamannya melawan kanker diterbitkan dengan judul Mortality.

Baca juga artikel terkait ATEISME atau tulisan lainnya dari Tyson Tirta

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Tyson Tirta
Penulis: Tyson Tirta
Editor: Irfan Teguh Pribadi