Menuju konten utama
24 November 1859

Bagaimana Charles Darwin Memicu Perang Terbuka Sains dengan Agama

Peristiwa memperdebatkan Teori Evolusi dianggap menandai awal mula perlawanan dunia sains terhadap otoritas agama Kristen. 

Bagaimana Charles Darwin Memicu Perang Terbuka Sains dengan Agama
Ilustrasi Mozaik Charles Darwin menerbitkan The Origin of Species. tirto.id/Tino

tirto.id - “Saya menolak agama karena agama mengajarkan kita untuk puas saja meski tidak tahu apa-apa soal dunia tempat kita hidup.”

Pernyataan itu dilontarkan dalam berbagai kesempatan oleh Richard Dawkins, ilmuwan asal Inggris. Hampir setiap kali ditanya kenapa ia menolak konsep-konsep keagamaan, Dawkins memberi jawaban itu. Banyak yang sepakat, tapi banyak juga yang mengecam. Lebih dari 30 tahun terakhir, ia memang menulis karya-karya akademik maupun populer yang kerap bersinggungan dengan agama.

Sebagai ilmuwan yang sehari-harinya berkutat dengan sains, persinggungan itu tentu tidak terhindari. Bahkan, dalam berbagai situasi, pekerjaannya kerap menimbulkan konflik. Pada 1986, karyanya yang berjudul The Blind Watchmaker, memberikan penjelasan gamblang soal Teori Evolusi dengan berbagai argumen pendukung yang sistematis. Seperti buku-buku pendukung Teori Evolusi lainnya, karya Dawkins juga mendapat kritik yang sangat luas dari golongan agamawan.

Dua puluh tahun kemudian, ia seakan sengaja mengibarkan bendera perang terhadap agama-agama dengan menerbitkan The God Delusion (2006). Dalam buku inilah ia secara terang-terangan mengatakan bahwa orang-orang yang percaya pada Tuhan kemungkinan besar adalah orang-orang yang mengidap sindrom delusional. Bagi Dawkins, Tuhan sang maha pencipta hampir bisa dipastikan memang tidak pernah ada.

Tak berhenti sampai di situ, Dawkins melangkah lebih jauh lagi pada 2019 dengan menerbitkan Outgrowing God: Beginner’s Guide. Buku ini ia tujukan untuk orang-orang awam dan para remaja yang baginya sangat rentan terpengaruh dan terpapar efek negatif dari ajaran agama sehingga perlu dilindungi.

Di kalangan ilmuwan dan pegiat sains era modern, sikap Dawkins yang berani melawan otoritas agama itu bisa jadi masih sangat berisiko. Di Eropa Abad Pertengahan, sikap seperti itu bahkan hampir pasti diganjar hukuman mati oleh gereja Katolik yang berkuasa. Sikap perlawanan itulah yang justru tampak jauh berbeda dengan yang diperlihatkan Charles Darwin, tokoh utama yang dikenal sebagai penggagas Teori Evolusi.

Teori itu mula-mula muncul dan menjadi tesis utama dalam bukunya On the Origin of Species by Means of Natural Selection, or the Preservation of Favoured Races in the Struggle for Life, yang terbit tepat hari ini 162 tahun lalu.

Darwin tidak datang kala Uskup Wilberforce, pemimpin keuskupan Oxford, tampil gagah menentang teorinya dalam pertemuan tahunan British Association for the Advancement of Science. Yang datang untuk menjelaskan argumen dukungan terhadap teori itu justru kawannya, Thomas Huxley. Pada 30 Juni 1860, perdebatan itu pun berlangsung cukup panas. Huxley hampir habis dipermalukan oleh kelompok ilmuwan tua Inggris. Maklum, di masa itu dunia sains Inggris begitu lekat terafiliasi dengan gereja. Bagi gereja, keputusannya mutlak: manusia adalah makhluk sempurna, diciptakan sendiri oleh Tuhan berdasarkan gambaran Tuhan dan tentu saja punya status istimewa, berbeda dengan makhluk hidup lainnya.

Menariknya, peristiwa debat itu dianggap menandai awal mula perlawanan serius dunia sains terhadap otoritas agama Kristen di dunia. Maklum, di era sebelumnya, gereja Kristen punya kuasa besar untuk mengatur ilmu pengetahuan apa saja yang boleh dan tidak boleh diterima oleh para penganutnya. Menentang aturan itu sangat berbahaya dan kemungkinan besar akan diganjar hukuman berat bahkan hukuman mati.

Pada abad ke-17, misalnya, pengalaman pahit menentang ajaran gereja pernah dialami oleh Galileo Galilei. Kala itu ia ditangkap karena mendukung heliosentrisme, data sains yang menyatakan matahari adalah pusat tata surya. Di masa itu, gereja Katolik menganggap Galileo menentang ajaran Tuhan. Selain Galileo, ada sekian banyak ilmuwan yang dihukum oleh gereja karena temuan-temuannya dianggap tidak pas dengan ajaran yang selama ini diimani oleh gereja Katolik.

Barangkali, Darwin yang mengaku sedang sakit kala pertemuan tahunan digelar tahu betul bahaya itu. Ia seakan enggan memperdebatkan isi buku yang ditulisnya dengan materi riset berdurasi sekitar 30 tahun. Kemungkinan lain, ia memang tidak berharap temuannya bisa diterima oleh golongan ilmuwan tua dan kaum rohaniwan konservatif yang menggelar debat itu. Akan tetapi dalam sepucuk suratnya pada Huxley, Darwin menjelaskan visinya terhadap Teori Evolusi. Ia berkata, jika temuannya bisa diterima, maka yang menerimanya pasti kelompok ilmuwan muda yang berkembang dan telah menggantikan golongan tua.

Darwin Menelusuri Asal Mula Kehidupan

Dalam On the Origin of Species, Darwin menampilkan temuannya yang menyebutkan bahwa kehidupan saat ini merupakan bagian dari jutaan tahun proses evolusi yang masih terus berlangsung. Sebagai teori sains, tentu saja konsep evolusi ini tampil dengan sekian banyak bukti ilmiah dan berbagai pola yang berhasil didapatkan di antara fosil dan lain-lain.

Darwin mulai aktif mengumpulkan bukti-bukti evolusi ketika ia terlibat dalam ekspedisi bersama kapal laut HMS Beagle pada akhir 1831. Ia diajak oleh Robert FitzRoy, kapten kapal ekspedisi itu, yang merasa perlu mengajak seorang ahli geologi. Kala itu, Darwin yang baru 22 tahun bersemangat mengambil kesempatan untuk mengunjungi wilayah-wilayah tropis. Kesempatan seperti itu terbilang langka terutama bagi pemuda seusianya.

Meski direncanakan untuk selesai dalam 2 tahun, rupanya perjalanan itu memakan waktu hampir 5 tahun. Akan tetapi durasi panjang itu bisa dibilang terbayar lunas di akhir perjalanan. Darwin langsung populer sebagai ahli geologi dan kolektor fosil ternama. Temuannya selama perjalanan dijadikan bahan-bahan penting untuk menulis jurnal The Voyage of the Beagle pada 1839, dua puluh tahun sebelum On the Origin of Species terbit. Dalam rentang waktu itu, ia tak pernah berhenti mencari bukti-bukti hingga akhirnya berani menampilkan Teori Evolusi.

Meski banyak dipertanyakan oleh para rohaniawan karena temuannya bertentangan dengan ajaran agama, Darwin mengaku tidak meragukan eksistensi Tuhan. Kemungkinan besar, keyakinannya itu dipengaruhi oleh Emma Wedgwood, perempuan Kristen yang dinikahinya pada 1839. Emma, seperti keluarga besarnya, merupakan penganut Unitarian. Ia percaya pada satu Tuhan yang tunggal dan bukan Trinitas, seperti dalam gereja Katolik Romawi.

Pada 1871, Darwin menyempatkan diri untuk menerbitkan The Descent of Man and Selection in Relation of Sex. Buku inilah yang dianggap para ilmuwan sebagai semacam klarifikasi dan penjelasan lengkap dengan bukti-bukti baru yang mutakhir tentang evolusi. Buku ini juga menjelaskan detail mengenai seleksi alam, yang merupakan mekanisme utama dalam proses evolusi yang dimaksudkan oleh Darwin.

Infografik Mozaik Charles Darwin dan Bukunya

Infografik Mozaik Charles Darwin menerbitkan The Origin of Species. tirto.id/Tino

Sains dan Tuhan dalam Perdebatan yang Tak Pernah Selesai

Sikap Darwin yang enggan berkonfrontasi itu terbilang wajar pada masanya. Di zaman itu, banyak ilmuwan yang juga sekaligus penganut agama yang taat. Pierre-Simon de Laplace, ahli astronomi Prancis, pernah diundang oleh Napoleon Bonaparte. Ia diminta menjelaskan tentang konsep Black Hole dan bagaimana sistem tata surya bekerja. Kiwari tema ini sudah diterima secara luas, sementara di abad ke-18 masih merupakan tema revolusioner.

Setelah menjelaskan konsep mutakhir yang ia kembangkan dari hasil temuan Isaac Newton, ia pun ditanya oleh Napoleon yang kebingungan setengah mati. Pertanyaannya: di mana posisi Tuhan dalam sistem tata surya? Jawaban Laplace pun mengagetkan Napoleon: Sistem ini bisa bekerja tanpa perlu ide-ide soal Tuhan. Christopher Hitchens mencatat pertemuan Laplace dengan Napoleon itu dalam bukunya God is not Great: How Religion Poisons Everything (2007:67)

Dalam pertemuan itu, Laplace tak menolak konsep Tuhan secara gamblang. Justru di kebudayaan modernlah mulai banyak orang yang memandang agama dan ilmu pengetahuan alam sebagai dua entitas yang bermusuhan. Neil deGrasse Tyson, Astrofisikawan kondang, pernah menjelaskan pandangannya soal itu. Baginya, selama konsep-konsep agama tidak menggangu temuan sains dan tidak menghambat kemajuan ilmu pengetahuan, ia akan senang saja. Akan tetapi ketika ia merasakan gangguan itu, maka ia akan protes keras.

Barangkali yang agak baru adalah pandangan Stephen Jay Gould, Paleontolog dan sejarawan ilmu alam, yang muncul dengan pandangan Non-Overlapping Magisteria (NOMA) pada 1997. Konsep NOMA muncul dengan gagasan bahwa agama dan sains ada di dua ranah berbeda dan tidak saling memengaruhi.

Meski begitu, upaya untuk mencari jalan tengah selalu ada di tengah perdebatan panjang. Salah satu yang paling dikenal luas muncul dari Paus Yohanes Paulus II, pimpinan tertinggi otoritas gereja Katolik dunia, yang menulis surat pada George V. Coyne SJ, direktur observatorium Vatikan. Dalam suratnya, Paus menulis:

“Sains dapat memurnikan agama dari kesalahan dan takhayul; agama dapat memurnikan sains dari penyembahan berhala dan kemutlakan palsu. Masing-masing dapat menarik yang lain ke dunia yang lebih luas, dunia di mana keduanya bisa berkembang.”

Baca juga artikel terkait TEORI EVOLUSI atau tulisan lainnya dari Tyson Tirta

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Tyson Tirta
Penulis: Tyson Tirta
Editor: Irfan Teguh Pribadi