Menuju konten utama
Bisnis 101

Bagaimana Cara IKEA Membuat Anda Belanja Lebih Banyak?

Dengan menerapkan ilmu marketing dan tata letak, IKEA berhasil berdiri di 433 lokasi di lebih dari 50 negara.

Foto IKEA store di Alam Sutera. FOTO/ikea.co.id

tirto.id - Bermula dari bisnis alat tulis dan kartu pos di sebuah desa di bagian selatan Swedia, IKEA kini merajai bisnis mebel dan perabotan. Pertama kali menjual perabotan pada 1948 dan sempat mendapat penolakan dari para pengusaha perabotan lain di Swedia, IKEA tetap terus maju. Kini, perusahaan yang gedungnya berbentuk kotak biru raksasa dengan aksen kuning ini berdiri di 433 lokasi di lebih dari 50 negara.

Di Indonesia saja ada lima toko IKEA: Alam Sutera, Sentul, Jakarta Garden City, Kota Baru Parahyangan, dan Bali. Seperti lokasi-lokasi ini, toko IKEA di seluruh dunia berlokasi di pinggiran kota. Mudah untuk langsung mengambil kesimpulan bahwa IKEA melakukan ini karena alasan ekonomis (harga tanah di luar kota lebih murah) dan ketersediaan lahan (toko-toko IKEA berukuran raksasa dan tak ada lahan yang cukup di kota). Namun pertimbangan pemilihan lokasi toko IKEA ternyata masih bagian dari strategi pemasaran.

Bukan kebetulan IKEA bisa menjadi raksasa perabotan seperti sekarang. Mereka tahu benar bahwa kunci keberhasilan pemasaran adalah perilaku konsumen. Selain ahli membuat perabotan berharga terjangkau dengan desain ciamik, IKEA juga ahli dalam penerapan kiat-kiat psikologi pemasaran.

Ambil lokasi toko sebagai contoh. IKEA sengaja menempatkan toko-toko mereka jauh dari permukiman. Hal ini membuat para pembeli menempuh perjalanan cukup jauh — tapi tidak terlalu jauh hingga mereka mengurungkan niat untuk pergi sama sekali — guna meningkatkan kemungkinan para pembeli mengeluarkan uang. Sederhananya, IKEA membuat para pembeli berpikir “sudah sejauh ini, sayang sekali kalau pulang tanpa membeli apa-apa.”

Dan menempuh perjalanan jauh hanya permulaan. Toko IKEA sendiri didesain sedemikian rupa agar pengunjung tidak hanya pasti mengeluarkan uang, tetapi juga mengeluarkan uang lebih banyak dari rencana awal.

Psikologi Alam Bawah Sadar dan Efek Labirin

Dr. A. K. Pradeep, ahli neuromarketing yang kerap menjadi konsultan untuk perusahaan raksasa seperti Coca-Cola, Pepsi, Subway, dan Procter & Gamble, menilai desain toko IKEA memengaruhi pengambilan keputusan pengunjungnya di tingkat alam bawah sadar. Cara IKEA memajang produk-produk yang mereka jual, menurut Dr. Pradeep, tidak sembarangan.

“Perabotan ditempatkan di lingkungan alaminya,” ujar Dr. Pradeep. “Masing-masing barang berada di posisi seharusnya, sesuai konteks. Otak kita melihatnya, memahami nilai inherennya, dan karenanya menginginkan barang-barang itu.”

Tidak hanya itu: IKEA menaruh beberapa barang yang tidak sesuai tempatnya. Ini meningkatkan kemungkinan pengunjung mengambil keputusan impulsif untuk barang-barang yang awalnya bukan bagian dari rencana mereka.

“Toko yang baik akan memberi kesan nyaman dan familier serta di saat yang bersamaan memberi kepuasan dari penemuan. Ketika ini tercapai, aktivitas belanja menjadi terapi belanja.”

Ditambah lagi, IKEA menempatkan cermin di mana-mana.

“Anda berjalan di toko IKEA dan Anda akan menemukan banyak cermin. Di sini, di sana, di atas meja, di lemari, dan banyak lagi. Kenapa? Karena ketika Anda melihat ke cermin, Anda melihat manusia paling rupawan menatap balik,” ujar Dr. Pradeep. “Sembari berjalan, Anda jatuh cinta [kepada perabotan IKEA] karena Anda jatuh cinta kepada sosok yang Anda lihat di cermin.”

Kiat psikologi pemasaran yang dilakukan IKEA pun masih berlanjut, Alan Penn, dosen di University College London meneliti bagaimana pengunjung bernavigasi dan berbelanja di IKEA. Menurutnya, jalur belanja IKEA membentuk labirin dengan pemandu arah di lantai — satu arah dan tanpa jalan pintas — didesain sedemikian rupa untuk membuat pengunjung membeli lebih banyak barang dari yang mereka rencanakan.

“Membawa Anda melihat semuanya adalah bagian dari strategi IKEA,” ujar Penn. “Menurut saya, ini trik yang cukup hebat. Anda jadi mengikuti rute yang ditentukan. Secara psikologis ini cukup disruptif, dan menurut saya itu adalah langkah pertama yang pada akhirnya membuat anda mengeluarkan uang."

Di awal rute, IKEA menyediakan kertas dan pensil untuk membantu pengunjung menulis daftar barang yang hendak mereka beli. Rute “pameran” berakhir di Market Hall, tempat mengulas kembali apa saja yang telah dicatat dan berlanjut ke keputusan untuk mengambil barang-barang yang jadi dibeli.

Berdiri sendiri-sendiri, efeknya mungkin tidak seberapa. Disatukan, semuanya — daftar belanja, pameran yang didesain sedemikian rupa, dan Market Hall — memengaruhi keputusan pengunjung: “Sudah mencatat sebanyak ini dan berjalan sejauh ini, masa iya tidak jadi beli.”

Kalaupun tidak langsung membeli, IKEA punya satu trik lain: kafetaria.

Perut Kenyang, Hati Senang

Ingvar Kamprad, pendiri IKEA, percaya bahwa mustahil berbisnis dengan orang lapar. Karena itulah di toko-toko IKEA tersedia kafetaria. Bakso Swedia yang mereka jual dikenal dengan julukan “penjual sofa terbaik”. Per tahunnya, IKEA menjual lebih dari 1 miliar bakso Swedia — dan bakso Swedia bukan satu-satunya menu di kafetaria IKEA. Namun selain menjadi sumber pemasukan tambahan, kafetaria IKEA juga meningkatkan pemasukan dari penjualan perabotan. Bagaimana bisa?

“Lingkungan belanja adalah lingkungan terburuk untuk otak manusia karena lingkungan ini memaksa otak kita memproses sangat banyak informasi, meningkatkan asupan oksigen ke otak 20 sampai 25 persen. Ketika otak kita menjalankan perhitungan, otak kita mengonsumsi banyak energi. Ini membuat otak lelah,” ujar Dr. Pradeep.

“Hal cerdas yang bisa kita lakukan adalah makan di antara aktivitas belanja, agar kita bisa mengisi kembali tenaga, mengisi kembali energi, dan berbelanja lagi. IKEA melakukan ini.”

Tak seperti trik desain toko yang hanya bisa diamati oleh para ahli, IKEA tidak merahasiakan alasan mereka menyediakan kafeteria di dalam toko. Sedari awal, Kamprad memang menyediakan kafetaria untuk menjaga pengunjung agar berada lebih lama dalam toko (toko-toko IKEA didesain tanpa jendela untuk alasan yang sama) dan memberi mereka ruang untuk membicarakan rencana pembelian.

Dari kafetaria, pengunjung bisa lanjut berbelanja atau langsung ke kasir untuk menyudahi perjalanan mereka. Di kasir, pengunjung disambut aroma khas roti kayu manis. Seperti rute belanja dan penempatan cermin di mana-mana, roti kayu manis adalah bagian dari trik psikologis IKEA.

“Ada sedikit stres yang terasa di otak ketika kita mengeluarkan uang untuk membayar belanjaan,” ujar Dr. Pradeep. “Karena itulah IKEA menempatkan wangi adonan dan kesan hangat [di dekat kasir]. Gula meredakan stres, jadi [roti kayu manis] meredakan stres yang muncul dari pembayaran belanjaan. Dengan ini, pengalaman belanja menjadi kenangan manis yang membuat Anda tidak mengingat berapa banyak uang yang Anda habiskan.”

Baca juga artikel terkait IKEA atau tulisan lainnya dari Taufiq Nur Shiddiq

tirto.id - Marketing
Penulis: Taufiq Nur Shiddiq
Editor: Nuran Wibisono