Menuju konten utama

Bagaimana Belgia Menjarah, Menjagal, dan Memiskinkan Kongo?

Masyarakat Belgia masih sulit menerima kenyataan bahwa negerinya sangat brutal di Afrika.

Tambang emas Kongo. REUTERS/Finbarr O'Reilly

tirto.id - Negara-negara Eropa mulai berkaca pada masa lalunya penuh kekejian di tanah jajahan. Akhir Mei 2021, pemerintah Jerman pertama kalinya meminta maaf secara resmi kepada Namibia atas kejahatan genosida terhadap suku Herero dan Nama pada era pendudukan (1884-1915). Sebelumnya, pada Januari, pemerintah Perancis menolak untuk meminta maaf atas era kolonialisme di Aljazair (1830–1962). Namun, Paris berencana memperkenalkan sejarah kolonialisme melalui peringatan hari-hari penting dan materi ajar sekolah.

Sikap reflektif ini semakin kentara seiring kuatnya gelombang anti-rasisme Black Lives Matter dari Amerika Serikat yang dipicu pembunuhan pria kulit hitam George Floyd oleh polisi kulit putih di Amerika Serikat pada 2020 silam. Gerakan melawan diskriminasi rasial berikut ketimpangan struktural yang menyertainya semakin menumbuhkan kesadaran global tentang isu-isu penindasan dan eksploitasi, tak terkecuali kolonialisme dan warisannya.

Protes-protes anti-rasis di antaranya berujung pada aksi merobohkan patung-patung tokoh kolonialis. Di Richmond, negara bagian Virginia AS, patung Christopher Columbus ditumbangkan ke dasar danau. Di Inggris, pedagang budak abad ke-17 Edward Colston dirobohkan ke Pelabuhan Bristol. Sementara di Belgia, patung Raja Leopold II disemprot tinta merah. Kebencian terhadap tokoh monarki ini begitu kuat, sampai-sampai muncul petisi untuk melenyapkan semua patungnya di ibukota Brussels.

Kongo dan Leopold II

Leopold II dikenal akan kerakusannya mengeruk sumber daya alam dan manusia di negeri yang kini dikenal sebagai Republik Demokratik Kongo (RDK). Semua bermula dari hasrat sang raja untuk membangun kerajaan pribadi di benua Afrika. Leopold II lantas menyewa seorang penjelajah bernama Henry Stanley untuk menemukan satu kawasan yang berpotensi cuan. Stanley berhasil menjalin “kesepakatan” dengan kepala-kepala suku di sekitar sungai Kongo, sampai akhirnya nyaris seluruh bagian lembah sungai bisa dimiliki secara legal oleh Leopold II. Sejak 1885, komoditas gading, sumber daya mineral dan terutama karet, disedot habis-habisan untuk memperkaya Leopold II, yang rupanya tak pernah sekalipun menjejakkan kakinya di Kongo. Leopold II juga memberikan konsensi kepada perusahaan-perusahaan swasta dan rutin menerima dividen dari mereka.

Dalam buku King Leopold’s Ghost: A Story of Greed, Terror, and Heroism in Colonial Africa (1998), sejarawan Amerika Adam Hochschild menjelaskan bahwa pendapatan dari Kongo di antaranya digunakan untuk memperindah istana sang raja di Belgia, membiayai pembangunan berbagai monumen, museum, taman, lapangan golf kerajaan, sampai gaun-gaun mewah dan vila untuk selirnya yang masih remaja, Caroline.

Masih melansir Hochschild, demi memenuhi target komoditas karet, penduduk setempat diperbudak dan diteror. Anak-anak dan istri ditawan sampai ayah atau suami mereka berhasil mencapai kuota karet, bahkan seluruh isi desa ikut dihancurkan apabila warga gagal menyerahkan hasil karet sesuai target. Kebijakan-kebijakan ini dijalankan pula oleh penduduk setempat yang direkrut sebagai pasukan paramiliter di bawah komando tentara pribadi Leopold II atau perusahaan. Potongan tangan manusia dipertunjukkan pada otoritas kulit putih sebagai bukti berapa banyak orang sudah dibunuh dan disiksa, semata-mata demi menekan warga agar tunduk pada rezim eksploitatif Leopold II.

Kekejaman ini pada akhirnya diketahui oleh dunia internasional. Di bawah tekanan, Leopold II terpaksa menyerahkan (baca: menjual) teritori pribadinya itu kepada pemerintah Belgia pada 1908. Sejak itu, Kongo menjadi koloni Belgia sampai merdeka pada 1960.

Sebagai koloni Belgia selama kurang lebih 50 tahun, Kongo kembali diperas habis-habisan. Akan tetapi, eksploitasi kali ini dibingkai dalam narasi perkembangan ekonomi yang pesat dengan sokongan perusahaan-perusahaan swasta Eropa. Pemain utamanya adalah korporat tambang mineral Inggris-Belgia, Union Minière du Haut Katanga (UMHK). Mengutip artikel “Belgium’s reckoning with a brutal history in Congo” (2020) karya Neil Munshi yang terbit di Financial Times, UMHK sempat menjadi penghasil tembaga dan kobalt terbesar di dunia. Separuh dari pendapatan Kongo berasal dari UMHK, yang juga mengontrol 70 persen ekspor dari Kongo. UMHK turut menjadi bagian utama dari raksasa perbankan Belgia, Société Générale de Belgique, yang pada satu waktu pernah menguasai 70 persen ekonomi Kongo.

Belgia Membuka Luka Lama

Menurut Guy Vanthemsche dalam Belgium and the Congo, 1885-1980 (2012), kolonialisme Kongo di bawah pemerintah Belgia diawali dengan “program amnesia kolektif”. Setelah kematian Leopold II pada 1909, pandangan kolonialis brutal sang raja justru berkembang menjadi narasi resmi di kalangan elite pemerintah kolonial. Menurut Vanthemsche, Leopold II bahkan mulai dikenang layaknya “tokoh yang dikultuskan”. Patung-patung dan monumen didirikan untuk menghormati jasanya dalam membesarkan Belgia.

Pembicaraan tentang warisan kelam Leopold II baru mengudara lagi di penghujung abad ke-20, ketika buku King Leopold’s Ghost karya Hochschild dirilis. Klaim Hochschild yang menghebohkan berkaitan dengan jumlah kematian penduduk Kongo pada era Leopold II, yang diperkirakan mencapai 10 juta jiwa. Terlepas dari itu, karena ketiadaan sensus penduduk, jumlah pasti korban memang bukan perkara mudah untuk disepakati di kalangan sejarawan.

Sebagaimana diwartakan Guardian pada 1999, sejumlah kalangan di Belgia merespons buku Hochschild dengan gusar. Beberapa eks-pegawai era kolonial yang masih hidup, mengklaim hanya segelintir orang-orang Kongo yang tangannya buntung, dan malah menuding orang Kongo sendiri sebagai pelaku kekejaman tersebut. Royal Belgian Union for Overseas Territories menyerukan bahwa tidak ada kengerian yang melebihi aksi Hitler dan Stalin, atau pembantaian terhadap populasi suku-suku asli Indian, Tasmania dan Aborijin. “Legenda orang kulit hitam sudah diciptakan oleh pembuat polemik dan jurnalis Inggris dan Amerika yang mendapatkan energinya dari imajinasi novelis dan penulis-ulang sejarah,” demikian mereka berkomentar. Sejarawan senior Belgia, Jean Stengers, tidak menampik kekerasan yang terjadi, namun mengelak klaim kematian korban versi Hochschild yang menurutnya dilebih-lebihkan.

Masih dilansir dari Guardian, antropolog Belgia yang kritis terhadap isu ini, Daniel Vangroenweghe, mengakui bahwa studinya selalu disorot oleh tokoh-tokoh senior, sampai diselidiki di parlemen Belgia. Pada 1985, Vangroenweghe pernah menerbitkan buku berjudul “Rood Rubber—Karet Merah” yang mengungkap kesadisan rezim Leopold II di Kongo.

Tak lama setelah buku karya Hochschild diterbitkan, Vangroenweghe sempat menanyakan pandangan Perdana Menteri Belgia kala itu, Jean-Luc Dehaene. “Masa lalu kolonial sudah berlalu semuanya. Betul-betul tak ada lagi hubungan emosional yang kuat. Hal ini tidak menggugah orang-orang. Ini bagian dari masa lalu. Sejarah,” demikian Vangroenweghe mengutip jawaban PM Dehaene.

Perdebatan publik tentang tindakan Leopold II terhadap penduduk Kongo pun sempat meredup, sampai akhirnya ramai kembali pada pertengahan tahun 2020 ketika Black Lives Matter digaungkan. Ribuan demonstran turun ke jalanan di Belgia untuk mengkampanyekan anti-rasisme, dan pada waktu yang sama, menyerukan agar patung-patung Leopold II disingkirkan.

Di tengah ingar-bingar itu semua, parlemen Belgia berencana membentuk komisi khusus untuk memeriksa masa lalu kolonial Belgia—menyerupai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang pernah didirikan di Afrika Selatan untuk mengungkap fakta-fakta selama era apartheid.

Merangkum informasi dari laman Justice Info, komisi khusus ini terdiri atas 10 pakar ilmu sejarah, politik, sampai pengacara. Tugas pertama mereka adalah memaparkan analisis situasional tentang kejadian sejarah di Kongo pada era Leopold II (1885-1908), kolonialisme Belgia di Kongo (1908-1960), Rwanda dan Burundi (1919-62). Bekerjasama dengan sejumlah asosiasi yang mewakili komunitas korban dari tiga negara eks-koloni tersebut, mereka akan mencoba mengungkap dampak struktural kolonisasi terhadap negara-negara ini, menghitung dampak ekonominya, lalu membuat rekomendasi dan proposal untuk rekonsiliasi.

Seiring dengan pemerintah Belgia mulai menggali masa lalu kolonialnya, Republik Demokratik Kongo (RDK) tengah menyambut peringatan 60 tahun kemerdekaannya dari Belgia, tepatnya tanggal 30 Juni. Pada momen inilah, Raja Philippe dari Belgia menulis surat kepada Presiden RDK, Felix Tshisekedi.

Raja Philippe mengakui “aksi-aksi kekerasan dan kekejaman” yang terjadi pada era Negara Bebas Kongo (ketika Kongo menjadi aset pribadi Leopold II pada 1885-1908). Philippe melanjutkan, “penderitaan dan penghinaan” juga disebabkan oleh pendudukan kolonial (1908-60). “Saya ingin menunjukkan penyesalan terdalam atas luka masa lalu, atas rasa sakit yang dihidupkan lagi hari ini oleh diskriminasi yang masih sangat marak di masyarakat kita,” demikian potongan isi surat sang raja dikutip dari Associated Press.

Meskipun belum bisa dikategorikan sebagai pernyataan maaf formal atas nama pemerintah Belgia, langkah ini amat bersejarah; pertama kalinya anggota kerajaan mau menunjukkan penyesalan secara terbuka atas riwayat kelam kolonialisme Belgia.

Masyarakat Belgia kebingungan memahami sejarah kolonial negerinya. Melansir survei yang dilakukan Universitas Antwerp dan Museum Afrika Tengah di Tervuren pada Juli 2020, Brussels Times mengungkapkan sebanyak 50 persen responden memandang baik kolonisasi Kongo oleh Belgia. Namun demikian, 3 dari 4 responden menganggap pemerintah Belgia perlu meminta maaf pada Kongo atas masa lalu kolonialnya. Di balik itu semua, skor responden tentang pengetahuan era kolonial tergolong rendah.

Menurut peneliti Zeger Verleye, masih dikutip dari Brussels Times, ketidakpahaman publik tentang sejarah kolonial Belgia di Kongo berkaitan dengan kurangnya materi pelajaran dan durasi pengajarannya di sekolah. Verleye juga berpendapat, masyarakat tampaknya kurang paham hubungan antara sejarah Kongo di bawah kekuasaan pribadi Raja Leopold II (1885-1908) dan era kolonial (1908-1960). Kesewenang-wenangan Leopold II di Kongo memang dipandang buruk, akan tetapi pada waktu yang sama, Kongo sebagai koloni Belgia dipandang bagus karena perekonomiannya tumbuh pesat. Hasilnya, seperti ditunjukkan melalui survei, jadi kontradiktif: kolonialisme dianggap sebagai warisan positif buat Kongo, tapi responden juga ingin Belgia meminta maaf pada Kongo dan menghapus segala simbol yang berkaitan dengan era kolonial.

infografik Kebrutalan Belgia di Kongo

infografik Kebrutalan Belgia di Kongo. tirto.id/Quita

Rasisme Mengakar Kuat

Seiring kampanye Black Lives Matter menggeliat, Belgia dihadapkan pada kenyataan bahwa praktik rasisme masih marak di dalam negeri. Tahun 2019 silam, sekelompok pakar dari PBB yang tergabung dalam U.N. Working Group of Experts on People of African Descent, mengkritisi rasisme dan diskriminasi rasial yang masih dialami orang-orang keturunan Afrika di Belgia.

Menurut mereka, bukti-bukti menunjukkan bahwa diskriminasi rasial yang mereka alami adalah kejadian yang “endemik di lembaga-lembaga Belgia”. Alasannya, bisa diduga, tak jauh-jauh dari riwayat kolonial Belgia. “Akar penyebab pelanggaran HAM pada masa kini terletak pada kurangnya pengakuan terhadap lingkup kebenaran dari kekerasan dan ketidakadilan kolonisasi,” demikian dikutip dari laporan mereka.

Pakar-pakar dari PBB ini lantas menyarankan reparasi atau pemberian ganti rugi kepada orang-orang Kongo sebagai cara menuju rekonsiliasi dan penyembuhan. Pemerintah Belgia juga perlu memohon maaf atas kekejaman pada era kolonialisme, imbuh mereka.

Pada 2018, publik sempat dihebohkan dengan video keluh kesah seorang presenter siaran ramalan cuaca bernama Cécile Djunga. Seperti diwartakan Guardian, Djunga adalah satu-satunya orang berkulit hitam yang bekerja sebagai presenter TV di Belgia. Djunga, yang orangtuanya adalah imigran asal Angola dan Kongo, pernah dikomplain oleh koleganya karena “terlalu hitam” dan yang bisa dilihat darinya hanyalah pakaian yang dikenakannya. Selama setahun bekerja, Djunga bercerita, dirinya sudah muak dengan “berton-ton pesan rasis dan menghina”.

“Di Belgia, masyarakat tak tahu apapun tentang kolonisasi atau imigrasi. Mereka rasa ini semua salahnya orang asing. Saya kira, di Belgia kita punya masalah, dalam hal kita tak pernah menjelaskan kebenaran tentang kolonisasi, dan itulah yang harusnya diajarkan di sekolah-sekolah,” ujar Djunga.

Sudah empat dekade berlalu sejak Belgia meloloskan UU Anti-Rasisme. Namun, sebagaimana diwartakan Euractiv, keluhan akan perlakuan rasis dan diskriminatif pada tahun 2020 justru meningkat 49 persen dibandingkan dengan 2019. Hasil ini didapat dari Unia, lembaga publik independen yang mengkampanyekan kesempatan setara dan anti-diskriminasi.

Unia juga akan dilibatkan dalam konferensi antar-kementerian untuk berkoordinasi melawan rasisme dan Semitisme. Inisiatif ini digagas oleh mantan PM Sophie Wilmès tahun 2020 silam. “Pertanyaan kunci pada tingkat politik adalah untuk mengakui dan mengenali fakta adanya masalah diskriminasi struktural di masyarakat kita,” ujar Patrick Charlier dari Unia kepada Euractiv.

Akan tetapi, Unia terancam tak akan disubsidi lagi oleh pemerintah Flandria (Flanders), negara bagian di Belgia yang kental dengan basis politik konservatif sayap kanannya. Dalam pemilu 2019, partai anti-imigran Vlaams Belang menang sebagai kekuatan politik terkuat kedua di sana, persis di bawah partai nasionalis sayap kanan New Flemish Alliance (NVA) yang gencar mengkampanyekan pemisahan Flanders dari Belgia. Pada 2023 nanti, pemerintah Flanders memutuskan untuk mengakhiri kontraknya dengan Uina dan mendirikan lembaga sendiri untuk mengurusi perkara diskriminasi rasial.

Baca juga artikel terkait KOLONIALISME atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Windu Jusuf