Menuju konten utama
13 Mei 1998

Bagaimana Amuk Melanda Jakarta & Berubah Menjadi Kerusuhan Rasial?

Menjelang Soeharto lengser, Jakarta membara. Mengapa kaum Tionghoa menjadi sasaran amuk massa?

Bagaimana Amuk Melanda Jakarta & Berubah Menjadi Kerusuhan Rasial?
Ilustrasi kerusuhan di Jakarta 13 Mei 1998. tirto.id/Sabit

tirto.id - Huru-hara Mei 1998 sangat mengejutkan penduduk kota Jakarta. Setelah krisis moneter yang berawal di Thailand dan negara-negara lain di Asia Tenggara pada 1997, kebakaran besar hutan telah menimbulkan dampak di Singapura, Malaysia, Sumatra, dan Kalimantan. Musim kemarau sepanjang tahun 1997 telah mengganggu stabilitas wilayah itu.

Seperti dijelaskan Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks dalam An Economic History of Indonesia, 1800-2010 (2012: 200), di Indonesia krisis itu terjadi paling lama dan menyebabkan kemacetan ekonomi luar biasa serta jatuhnya harga saham di bursa. Dalam konteks ketidakpuasan terhadap rezim Orde Baru yang makin lama makin merata, tuntutan reformasi tampak semakin nyata. Mahasiswa pun mengorganisasi demonstrasi yang kemudian kian meluas ke hampir seluruh penjuru negeri.

Menurut James T. Siegel dalam “Thoughts on the Violence of May 13 and 14, 1998, in Jakarta” yang dimuat di buku Violence and the State in Suharto’s Indonesia (2001: 90-123), titimangsa 12 Mei 1998, unjuk rasa dipimpin oleh mahasiswa Universitas Trisakti, salah satu universitas swasta favorit di Jakarta. Hingga saat itu, mereka belum bergabung dengan mahasiswa-mahasiswa dari kampus lain.

Tatkala para demonstran sudah berada di luar kampus dan bersiap untuk bergerak ke arah gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), rombongan itu ditahan di depan bekas kantor Wali Kota Jakarta Barat yang terletak 100 meter dari Universitas Trisakti. Serdadu dan polisi yang ditempatkan di jembatan layang menembaki mahasiswa sehingga menewaskan enam orang. Itulah awal dari huru-hara.

Hari-hari yang Membara

Pada 13 Mei 1998, tepat hari ini 23 tahun lalu, kerusuhan dan penjarahan terjadi tak jauh dari Universitas Trisakti, khususnya di Jalan K.H. Hasyim Asy'ari, di sekitar pusat pertokoan Roxy.

Esok harinya, kerusuhan dan pengrusakan meluas. Perusakan itu antara lain terjadi di poros timur-barat yang mencakup Jalan Daan Mogot, Jalan Kyai Tapa, dan Jalan K.H. Hasyim Asy'ari serta poros utara-selatan mulai dari Medan Merdeka hingga Glodok melewati Jalan Gajah Mada dan Jalan Hayam Wuruk. Lokasi lainnya adalah Pasar Baru, Jalan Gunung Sahari, hingga Jalan Pangeran Tubagus Angke dan Kapuk.

Deretan bangunan yang terbakar di jalan-jalan itu mencerminkan gerak maju para perusuh dan memperlihatkan tatanan arah yang berbentuk garis—seperti dalam peristiwa Malari 1974 dan Kerusuhan 27 Juli 1996.

Namun, kerusuhan Mei 1998 berbeda dari segi keluasan. Kerusuhan itu melanda semua kota madya. Memang benar tampak jejak linier di sana-sini, tapi yang mencolok ialah sebaran wilayah yang terkena dampaknya (perusakan genting terjadi juga di wilayah pinggiran Tangerang, Bekasi, dan Depok).

Di Jakarta Selatan, daerah pinggiran Kebayoran Baru mengalami pengrusakan. Begitu pula Kebayoran Lama, Ciledug, Jalan Fatmawati, dan Jalan Tendean. Perusuh juga menyasar pusat perdagangan Pasar Minggu di mana berhimpun pasar, stasiun kereta api, dan pusat pertokoan.

Di Jakarta Timur, kerusuhan terjadi di empat kawasan utama: pertama, di poros utara-selatan yang menghubungkan Jatinegara dan Pasar Kramat Jati. Kedua, di Klender terjadi kebakaran yang menewaskan ratusan orang. Ketiga, di Jalan Kali Malang. Keempat, di Rawamangun.

Di Jakarta Pusat, tercatat sejumlah wilayah yang mengalami huru-hara: Senen dan Jalan Suprapto di sekitar Tanah Tinggi dan di sekitar Pasar Cempaka Putih, Tanah Abang, dan Jalan Diponegoro. Wilayah lainnya adalah Jalan Gunung Sahari, Pasar Baru, Mangga Besar, Jalan Hayam Wuruk, dan Jalan Gajah Mada.

Di Jakarta Utara, Tanjung Priok dan Sunter terkena dampak sedikit, tapi Teluk Gong dan Kapuk Raya paling membara. Sementara itu, Pluit dan daerah sekitarnya tidak separah tetangganya. Terakhir, Kota Madya Jakarta Barat mengalami kerusakan sangat parah di jalan yang menuju Grogol dan Universitas Trisakti. Selain itu, menjalar pula hingga Jalan Pangeran Tubagus Angke dan Cengkareng.

Peristiwa itu mengakibatkan bahala. Jumlah korban tewas berbeda, bergantung pada sumber, antara tiga ratus dan lebih dari seribu jiwa. Sebagian besar terbakar dalam kebakaran kantor dan terutama pusat perbelanjaan. Contohnya di pertokoan Sentral, Klender, dua ratus orang terjebak dalam api; di pertokoan Glodok juga dikeluarkan puluhan jenazah. Pada masa itu, surat kabar terutama mewartakan para penjarah yang terjebak kebakaran yang disulut oleh orang luar pada saat pertokoan sedang penuh.

Jérôme Tadié dalam Wilayah Kekerasan di Jakarta (2009: 43-53) mendedahkan bahwa kerugian material juga sangat besar: jumlah gedung yang rusak atau runtuh bervariasi menurut sumber yang berbeda. Tim Trisakti, misalnya, selama survei mencatat sekira 700 gedung yang terdiri atas berbagai jenis: 218 toko, 165 ruko, 155 bank, 81 gedung perkantoran, 32 pusat pertokoan, dua menara apartemen (Pluit), 21 rumah dan beberapa gedung, hotel, serta bengkel. Data itu mencatat kerusuhan meletus di sepanjang jalan utama tempat perdagangan.

Tionghoa Dijadikan "Kambing Hitam"

Wilayah pecinan juga mengalami kerusakan. Daerah Glodok, yang dibangun pada 1740 setelah kerusuhan anti-Tionghoa di Batavia, mengalami pengrusakan, termasuk rumah pertama taipan sekaligus teman dekat Soeharto, Liem Sioe Liong. Demikian pula wilayah Kota sampai Senen, lewat Mangga Besar dan Pasar Baru. Itulah wilayah hunian Tionghoa pertama.

Daerah lain yang juga mengalaminya adalah Ciledug, demikian juga dari Grogol sampai Cengkareng, sepanjang jalan Daan Mogot. Perusakan terjadi pula di perumahan yang lebih baru di Pluit.

Penduduk keturunan Tionghoa saat itu dijadikan bulan-bulanan. Banyak toko menerakan di pintunya tulisan “Milik pribumi”, barangkali agar bisa terhindar dari amukan para perusuh. Pemerkosaan perempuan Tionghoa juga terjadi, khususnya di Pluit dan sekitarnya.

Menurut Jemma Purdey dalam Kekerasan Anti-Tionghoa di Indonesia 1996-1999 (2013), di antara pelbagai stereotip yang tersebar, pada umumnya komunitas Tionghoa dianggap tidak bisa berasimilasi dengan suku-suku lain. Itu tampak dari beberapa contoh para konglomerat Tionghoa—mereka tidak disukai karena mereka bisa begitu kaya akibat kongkalikong dengan penguasa, terutama para kroni Soeharto.

Jadi, orang Tionghoa merupakan sasaran "kambing hitam" yang ideal: mereka tidak dianggap sesama sekaligus dibenci karena kaya raya. Maka, amuk 1998 dapat diinterpretasikan sebagai kerusuhan yang menyasar populasi Tionghoa karena dianggap sebagai salah satu pendukung rezim Soeharto. Pemicuan kerusuhan di Universitas Trisakti itu masuk juga ke dalam pola destabilitasi rezim karena di sanalah, sebagaimana tetangganya, Universitas Tarumanegara, sebagian besar mahasiswanya adalah keturunan Tionghoa.

Infografik Kerusuhan Mei Jakarta

Infografik Kerusuhan di Jakarta 13 Mei 1998. tirto.id/Sabit

Tapi, situasi pada Mei 1998 tidaklah homogen dan monolitik. Banyak wilayah pecinan yang tak tersentuh: misalnya perumahan di Kapuk, Kembangan, Sunter, Kelapa Gading, dan Cilincing. Apakah hanya simbol ekonomis pada komunitas itu yang diinginkan untuk dikacau, ataukah perbedaan itu mungkin merupakan hasil dari tingkat pembauran mereka? Itulah yang tampak pada contoh Jalan Suprapto, di sekitar Tanah Tinggi: beberapa toko dan pasar dirusak, tetapi penduduk keturunan Tionghoa, yang banyak menetap di sekitarnya, tidak disasar sama sekali.

Oleh karena itu, distribusi kerusuhan dalam jaringan kota Jakarta mengungkapkan struktur tertentu dalam ruang Jakarta yang telah dimanfaatkan untuk kepentingan individual ataupun politis. Kerusuhan menjalar di kawasan yang sangat padat, yang penduduknya pada umumnya berpenghasilan rendah.

Peran kampung ditonjolkan dan “jalan kerusuhan” antara Senen dan Salemba dapat ditafsirkan begini: bersebelahan dengan kampung yang tergolong paling padat, wilayah itu “memasok” massa yang diperlukan untuk menciptakan kerusuhan.

Pada Malari 1974, kuli Tanjung Priok, pengemudi becak, dan pedagang asongan telah memainkan peran itu; pada Kerusuhan 27 Juli 1996, giliran penduduk kampung di sekitar Jalan Pramuka; tahun 1998, kampung Jakarta kembali memainkan peran penting, menimbulkan ketakutan dan ekses, apalagi penduduknya mudah sekali dimanipulasi.

Menurut Kees van Dijk dalam A Country in despair: Indonesia between 1997 and 2000 (2001), tujuan kerusuhan adalah untuk mendiskreditkan protes mahasiswa. Pada 1974 memang berhasil, tetapi tahun 1998 gagal.

Wilayah perdagangan juga tempat simbolis, seolah-olah ada reaksi atau usaha mengejar ketinggalan terhadap kesenjangan sosial yang meningkat di Jakarta. Peningkatan kesenjangan itu merupakan hasil pembangunan yang dipercepat selama 20 tahun dan dihentikan oleh krisis ekonomi. Wilayah pecinan merupakan komponen terakhir dari tempat simbolis—tanda permasalahan etnis dan, lebih jauh lagi, problem ekonomis-politis yang mengkristal pada satu etnik tertentu.

==========

Muhammad Iqbal adalah sejarawan, pengajar IAIN Palangka Raya, dan editor penerbit Marjin Kiri. Baru-baru ini ia menulis buku berjudul Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai 27 Januari 1953.

Baca juga artikel terkait KERUSUHAN 1998 atau tulisan lainnya dari Muhammad Iqbal

tirto.id - Politik
Penulis: Muhammad Iqbal
Editor: Ivan Aulia Ahsan