Menuju konten utama

Bad Times at the Royale: Perayaan Kejahatan dan Banjir Darah

Darah, skandal, uang rampokan, penebusan dosa masa lalu. Semua tumpah ruah di El Royale.

Bad Times at the Royale: Perayaan Kejahatan dan Banjir Darah
Adegan film Bad Times At the El Royale. FOTO/Fox

tirto.id - Bagi sebagian orang, El Royale bersinonim dengan kemewahan. Sementara bagi yang lain, El Royale adalah tempat di mana segala dosa manusia berkumpul jadi satu.

El Royale, yang berdiri di Lake Tahoe, adalah hotel tua dan jarang dikunjungi. Ia lebih tepat dibilang museum ketimbang penginapan. Tapi, untuk mereka yang tak ingin berkendara di tengah malam menyusuri rute Nevada-California dan butuh penginapan yang layak lagi murah, El Royale jadi rujukan utama.

Kendati tua dan sedikit terabaikan, El Royale bukan hotel ecek-ecek. Bangunannya masih tampak baik. Beberapa interior, dari lampu antik, mesin jukebox, bar, hingga deretan kursi tetap terjaga mulus. Semuanya tertata rapi, bersih, dan jauh dari kesan kumuh.

Satu hari, El Royale kedatangan tamu. Tak ada yang aneh dari tamu-tamu hari itu. Namun, kedatangan mereka membuka semua tabir rahasia yang selama ini tertutup rapat-rapat seiring menuanya usia El Royale.

Dulu Kabin, Sekarang Hotel

Keputusan untuk menggunakan tempat sebagai pijakan cerita bukan barang yang baru bagi sang sutradara, Drew Goddard. Enam tahun silam, Goddard juga memakai metode yang sama di Cabin in the Woods. Waktu itu, ia memilih kabin yang terletak di tengah belantara hutan sebagai episentrum cerita.

Di tangan Goddard, kabin yang harusnya jadi tempat istirahat dari rutinitas kota berubah jadi tempat yang mengerikan. Semua tingkah laku para penghuni kabin diawasi secara seksama oleh kamera-kamera yang tersembunyi di balik lemari kaca hingga pajangan rusa yang sudah diawetkan. Ada “manajemen” besar, semacam korporasi, yang berdiri di belakang layar mengatur strategi. Menyeret penghuni kabin ke dalam permainan bersimbah darah demi guyuran laba yang mengalir ke kas perusahaan.

Resep yang sama diulang Goddard dalam film barunya, Bad Times at the Royale (selanjutnya El Royale). Di El Royale, gerak-gerik para tamu rupanya diawasi oleh alat perekam yang disembunyikan di belakang kaca kamar hotel, sesuai perintah “manajemen hotel.” Banyak peristiwa yang terekam; pecandu narkoba yang mengotori kaca dengan kotorannya sendiri sebelum akhirnya tewas karena overdosis, politisi ternama yang menganiaya pekerja seks, hingga skandal-skandal lainnya.

El Royale mengisahkan sebuah peristiwa yang menyatukan tujuh karakter tanpa keterkaitan satu sama lain. Masing-masing karakter datang ke El Royale dengan maksud pribadi dan dipersatukan oleh keadaan. El Royale adalah cerita tentang upaya manusia menebus dosa-dosanya (beberapa di antaranya kelam) di masa lalu.

Sejak awal, fondasi El Royale telah dibangun dengan baik, tanpa banyak basa-basi. Goddard hanya perlu waktu kurang dari setengah jam untuk membeberkan latarbelakang El Royale—pemahaman bahwa film ini bakal bercerita tentang rahasia, dosa, dan memori.

Kepiawaian Goddard makin terlihat saat meramu konflik El Royale. Goddard tak terpaku pada satu pakem yang lurus. Ia meloncat dari satu fragmen ke fragmen lainnya sehingga membikin penonton—setidaknya saya—merasa penasaran dengan apa yang akan terjadi setelahnya. Kendati dipecah ke dalam beberapa bagian, cerita yang disusun Goddard tetap bisa ditarik benang merahnya. Singkatnya: El Royale punya cara bertutur yang baik.

infografik misbar bad times at the royale

Antiklimaks di Akhir

Ada tujuh karakter dalam El Royale. Masing-masing mendapat porsi yang cukup untuk dikisahkan latar belakangnya. Ini pula yang membuat tiap karakter di El Royale punya peran yang jelas sehingga meminimalisir pertanyaan-pertanyan di benak penonton seperti “Siapa dia?” atau “Kenapa dia bisa datang?”.

Karakter Pastor Daniel Flynn (Jeff Bridges), misalnya, aslinya adalah bandit kelas kakap. Ia menyamar menjadi pendeta agar tak sering diajak ngobrol oleh orang lain sehingga identitasnya aslinya tetap terjaga. Flynn datang ke El Royale untuk mengambil uang hasil curiannya satu dekade lalu yang disimpan saudara laki-lakinya (muncul sebagai adegan pembuka) di sebuah kamar.

Ada pula Darlene Sweet (Cynthia Erivo), penyanyi kulit hitam yang mengalami diskriminasi di industri musik karena dianggap tak cantik dan tak bersuara merdu. Goddard juga menghadirkan karakter Laramie Seymour Sullivan (Jon Hamm), agen rahasia pemerintah yang menyamar sebagai penjual vacuum cleaner yang menginap di El Royale demi “sebuah misi”—menyadap kamar VVIP untuk menyerang musuh politik pemerintah.

Nama-nama setelahnya juga tak kalah menarik: Emily Summerspring (Dakota Johnson), perempuan kulit putih yang menyelamatkan adiknya—tapi digambarkan seperti “menculik”—Rose (Cailee Spaeny) dari Billy Lee (Chris Hemsworth), pemimpin sebuah sekte yang percaya bahwa kedamaian di dunia bisa diwujudkan dengan segala cara, entah itu dengan menyebarkan pesan kebaikan atau menciptakan keonaran. Miles Miller (Lewis Pullman) adalah penjaga hotel yang pernah terjun ke medan perang dan lantas jadi pecandu untuk mengobati traumanya perangnya.

Menariknya, cerita tiap karakter menggambarkan Amerika Serikat saat itu—persisnya dekade 1960-an hingga awal 1970-an—ketika Perang Vietnam, segregasi rasial, peredaran obat-obatan terlarang, hingga perlawanan anak muda terhadap Presiden Nixon jadi topik pembicaraan sehari-hari.

Dengan segala cerita dari tiap karakter tersebut, Goddard berhasil menyediakan jawaban mengapa El Royale dipilih sebagai latar belakang konflik dalam film ini. Anda akan dengan mudah menyatukan kepingan-kepingan cerita menjadi satu gambar utuh.

Misalnya konflik antara Darlene dan Flynn. Dalam satu adegan, Darlene memukul kepala pendeta gadungan itu dengan botol karena ia paham jika Flynn bukanlah pendeta. Apalagi, Flynn berupaya membiusnya lewat vodka. Namun, Flynn membius Darlene karena ingin masuk ke kamarnya dan mengambil tas berisi uang hasil curian yang ditinggalkan rekannya 10 tahun silam. Flynn yakin bahwa tas tersebut disimpan di bawah tempat tidur Darlene.

Namun, Darlene dan Flynn akhirnya malah berkomplot untuk mengeluarkan tas itu dari kamar dan hotel tanpa ketahuan Emily. Menurut keduanya, Emily berbahaya karena memegang senapan dan membunuh Sullivan. Padahal, Emily hanya ingin melindungi adiknya dari terjangan Billy Lee yang dianggap telah merusak sang adik dengan bermacam omong kosongnya.

Pilihan untuk menjadikan Billy Lee sebagai tokoh jahat di akhir film pun lahir dari perhitungan yang matang. Billy datang ke El Royale untuk membawa kembali Rosie yang “diculik” Emily. Sesampainya di sana, tujuan Billy tak lagi sekadar Rosie, melainkan juga menyasar Darlene dan Flynn. Sebab, Billy melihat keduanya berupaya kabur dengan tas berisi segepok uang di dalamnya.

Sayangnya, segala kelancaran bertutur El Royale tidak diimbangi penutup yang ciamik. Awalnya, saya berharap penutup El Royale bisa segahar The Cabin in the Wood yang menampilkan monster super-beringas yang bersiap membantai seluruh isi dunia. Alih-alih mengulang kejeniusan Cabin Woods, Goddard justru memakai pendekatan picisan. Tak ada klimaks; yang ada cuma khotbah moral dari Darlene kepada Billy untuk tidak semena-mena terhadap mereka yang lemah.

Pesan moral memang tak dibutuhkan, mengingat sederet keburukan umat manusia yang nampak sepanjang film sudah sesuai dengan premis cerita di awal. Penonton, apalagi di tahun 2018, tak perlu nasihat semacam itu. Kecuali jika sejak awal Goddard ingin menjadikan El Royale mimbar khotbah belaka.

Baca juga artikel terkait FILM HOLLYWOOD atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Film
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf