Menuju konten utama

"Baca Buku Pengantar Sosiologi, Kamu Belajar Marxis Ya?"

Rezim Orde Baru Soeharto melarang beredarnya terjemahan buku seorang peneliti militer bernama Harold Crouch alias Haris Amir.

Ilustrasi pembakaran buku. iStockphoto/Getty Images

tirto.id - Haris Amir terlahir sebagai Harold Arthur Crouch di Melbourne, Australia, pada 18 Juli 1940. Di kota yang sama, ia kuliah politik di Melbourne University. Pada 1968, ketika Jenderal Soeharto resmi jadi Presiden RI, Crouch menggantikan Herbert Feith sebagai pengajar di Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Indonesia. Setelah tiga tahun, Harold pulang kampung dan kuliah lagi di jurusan Politik dan Studi Asia Tenggara.

Asia Tenggara memang tempat Crouch berkelana. Di Indonesia ia sangat tertarik menggeluti isu-isu militer. Lain halnya di Malaysia: ia menemukan jodohnya, Khasnor Johan, seorang sejarawan Malaysia.

Crouch akhirnya mendalami Islam dengan cara yang cerdas. Bukan dari kata-kata ustaz, tapi lewat bacaan. “Guru (ngaji) sering memberikan perintah begini begitu. Saya tidak bisa menerima pengajaran seperti itu. Saya lebih suka memahami,” kata Crouch dalam Saya memilih Islam: Kisah Orang-Orang yang Kembali ke Jalan Allah III (2001, hlm. 79). Namun, meski dia terkesan mengabaikan guru ngaji, tapi dia punya pemikir Islam Indonesia favorit: Nurcholis Madjid dan Harun Nasution.

Setelah bertahun-tahun kuliah, lahirlah tesis The Indonesia Army in Politics: 1960-1971. Tesis tersebut menjadi fondasi disertasinya yang belakangan bikin jengkel Soeharto dan barisan jenderalnya, yakni The Army and Politics in Indonesia (1978). Disertasi ini yang pertama kali diterbitkan Universitas Cornell ini bicara soal peran besar Angkatan Darat yang pernah dipimpin Soeharto sebelum dan sesudah jadi presiden. Salah satu bab membahas kepentingan ekonomi Angkatan Darat dan pengebirian partai-partai Politik. Buku itu juga menyinggung pembantaian massal dan pemenjaraan tanpa pengadilan terhadap orang-orang yang diduga komunis.

The Army and Politics in Indonesia diterbitkan dalam edisi bahasa Indonesia pada 1986. Hersri Setiawan, mantan tapol Pulau Buru, menyebutkan dalam Memoar Pulau Buru (2004, hlm. 613) bahwa ia dan Th Sumartana-lah yang menerjemahkan buku tersebut. Versi Indonesianya diberi judul Militer dan Politik di Indonesia. Reputasi Hersri Setiawan cukup membuat kaum fanatik Orde Baru benci pada buku karya Indonesianis asal Australia ini.

“Karya ini—tergolong 'klasik' untuk memahami proses terjunnya militer ke dunia politik Indonesia—terbit pertama tahun 1986 namun dilarang rezim Orde Baru,” tulis Asvi Warman Adam dalam Pelurusan Sejarah Indonesia (2007, hlm. 128). Asvi juga menyebut: “Terjemahan yang dilakukan Th Sumartana bagus, sehingga buku ini enak dibaca.”

Setelah buku Crouch beredar, seperti dicatat A. Budi Susanto dan A. Made Tony Supriatma dalam ABRI: siasat kebudayaan, 1945-1995 (1995, hlm. 114), banyak jenderal Orde Baru yang menerbitkan autobiografi atau biografi. Tentunya buku-buku ini juga menyinggung sejarah kemunculan Orde Baru.

Namun, yang ditulis oleh orang-orang Orde Baru biasanya kontras dengan dengan penulis asing. Untuk itu, harus ada yang dikorbankan atau dihilangkan. "Karena rasa khawatir akan terjadi penafsiran yang tidak sesuai," tulis A. Budi Susanto dan A. Made Tony Supriatma,"buku dari Harold Crouch dengan judul: Militer dan Politik di Indonesia terpaksa dilarang dilarang beredar.”

Militer dan Politik di Indonesia dilarang ketika Jenderal Leonardus Benjamin Moerdani menjabat Panglima ABRI. Jaksa Agung saat itu adalah Mayor Jenderal Hari Soeharto. Jaksa Agung sebelum Hari pernah sukses melarang buku Pramoedya Ananta Toer: Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Selama bertahun-tahun nampaknya Kejaksaan Agung kebagian tugas memberangus buku-buku yang mereka anggap bahaya.

Sudah menjadi kodrat jika buku terlarang akan mengundang rasa penasaran pecinta buku, apalagi para pembaca muda yang biasanya berusaha mendapatkan buku terlarang dengan cara apapun.

Diantara kolektor buku karya Harold Crouch itu adalah mahasiswa mbeling bernama Budiman Sudjatmiko, anggota Partai Rakyat Demokrat (PRD) yang dicap PKI oleh Orde Baru.

Suatu kali, Budiman diperiksa aparat. Sambil membanting buku Militer dan Politik di Indonesia ke arah Budiman, si petugas bertanya: “Kamu tahu kalau ini buku terlarang?”

“Wah saya tidak tahu, Pak. Memang apa bahaya buku itu, Pak?” balas Budiman, seperti diceritakannya di Anak-anak Revolusi Volume I (286-287). Seingat Budiman, buku itu dilarang karena membahas kebobrokan militer Orde Baru. Budiman paham jika si penyidik itu pun tidak tahu alasan mengapa buku itu harus dilarang.

Infografik Buku diLarang di era orba

Infografik Buku diLarang di era orba

Budiman sudah tampil berani dengan pertanyaannya itu. Tapi bukan Orde Baru namanya jika kalah ngotot. Otak boleh kosong tapi bacot harus menang.

“Pokoknya buku ini dilarang, titik!” bentak si penyidik.

“Pak, saya dapat buku itu di Perpustakaan di Yogyakarta, yang belum sempat saya kembalikan. Jika bapak menganggap buku itu terlarang, sebaiknya buku ini bapak singkirkan dari semua perpustakaan di Indonesia. Masa saya ditahan gara-gara pemerintah lupa menyingkirkan buku itu dari perpustakaan,” kata Budiman.

Penyidik masih ngotot. Ketika melihat buku lain, Pengantar Sosiologi, sang petugas menyerang lagi: “kamu belajar Marxis, ya!”

Setelah Orde Baru tumbang, Budiman dan semua orang terbebas dari larangan baca buku Crouch yang akhirnya bisa terbit lagi.

Baca juga artikel terkait PELARANGAN BUKU atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Windu Jusuf