Menuju konten utama
Pandemi COVID-19

Babak Belur Industri Tekstil: Ekspor & Penjualan Terganjal Corona

Pukulan yang diterima sektor tekstil juga semakin paripurna lantaran industri hulu ternyata juga kena imbas dari pandemi Corona atau COVID-19 ini.

Babak Belur Industri Tekstil: Ekspor & Penjualan Terganjal Corona
Ilustrasi Industri tekstil. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Industri tekstil babak belur akibat virus Corona yang merata di seluruh dunia. Pandemi COVID-19 ini bahkan telah menyebabkan penurunan permintaan secara paripurna mulai dari hulu hingga hilir, skala besar maupun kecil.

Permintaan domestik dan ekspor yang jadi andalan industri tekstil harus undur diri kala daya beli masyarakat menurun dan pembatasan aktivitas manusia di Indonesia sampai negara tetangga.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Rizal Rakhman mengatakan penurunan performa industri ini memang tidak terelakan. Ia menyebutkan ekspor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) secara keseluruhan ke global sudah turun 30-40 persen, padahal Januari 2020 saja sudah ada penurunan 10,2 persen secara year on year (yoy) saat Corona belum ramai.

Rizal menyebutkan banyak negara melakukan pembatalan pemesanan. Kisarannya mencapai 60-80 persen. Selebihnya pesananan tetap jalan dan untungnya masih ada yang mau menyelesaikan kontraknya.

Kalau pun ada negara yang mau, ekspor juga tidak mudah. Pasalnya di dalam negeri ada pembatasan dan sejumlah pelabuhan tutup, kata Rizal.

“Rata-rata lockdown jadi banyak cancel order ya,” ucap Rizal saat dihubungi reporter Tirto, Sabtu (11/4/2020).

Di sisi lain, produsen juga terjepit karena pasar dalam negeri ikut kelam. Pandemi Corona memaksa perayaan Idulfitri atau Lebaran tidak semeriah dulu. Peritel pakaian sampai sentra tekstil seperti Tanah Abang harus tutup mengikuti kebijakan pemerintah mencegah penyebaran Corona.

Kalau pun mereka buka, kata dia, tidak banyak konsumen akan membeli karena adanya penurunan pendapatan yang disusul anjloknya daya beli. Saat pasar sepi dan tutup, praktis tidak ada yang bisa menyerap produksi tekstil.

“Lebaran kita udah enggak ngitung. Pasar sudah enggak bisa didongkrak. Masyarakat enggak akan berpikir beli baju. Urusannya makanan, obat, dan tagihan,” ucap Rizal.

Imbasnya, kata Rizal, produksi menjadi turun drastis. Biasanya saat situasi normal utilisasi atau tingkat pemakaian kapasitas produksi bisa emncapai 70-80 persen di luar hari raya. Sebulan jelang Lebaran saja, utilisasi mereka tinggal di bawah 40 persen.

Penurunan produksi ini bukan pilihan. Ia bilang pelaku usaha tekstil harus menjaga cashflow mereka agar tetap bertahan sampai Corona berakhir. Belum lagi saat mereka mengalami penurunan permintaan biaya seperti listrik, iuran BPJS, dan bunga bank tetap berjalan.

Tidak hanya industri besar, Industri Kecil Menengah (IKM) juga turut terdampak beserta sentra-sentra produksi lokal.

Ketua Asosiasi Pertekstilan Majalaya H. Aep Uwo menyatakan IKM juga sama terpukulnya karena hasil produksi mereka tidak ada yang bisa dijual bahkan dilempar ke pasar.

Ia bercerita ekspor produk tekstil ke Malaysia sudah berhenti karena negara itu menerapkan lockdown. Kalau pun mereka mau tetap ekspor, ada kendala transportasi karena adanya pembatasan sosial.

Di domestik, kata Aep, mereka juga terpukul karena anjloknya permintaan menyusul tutupnya gerai retail pakaian ternama sekaligus pasar seperti Tanah Abang di Jakarta, Pasar Baru di Bandung, dan Surabaya.

“Udah enggak ada kisaran penurunan. Jeblok aja. Penjualan dalam negeri dan ekspor bisa turun di atas 50 persen padahal modal udah pada enggak ada,” ucap Aep saat dihubungi reporter Tirto, Sabtu (11/4/2020).

Keadaan tambah sulit karena permintaan pelaku usaha IKM untuk keringanan kredit seperti yang dijanjikan Presiden Joko Widodo malah tidak terealisasi. Ia bahkan menilai, “Prosesnya bertele-tele. Belum ini-itu. Enggak nyambung.”

Gara-gara situasi ini, Aep sempat bingung saat Kementerian Perindustrian meminta aktivitas produksi tetap berjalan dengan dalih mencegah PHK.

Menurutnya ide itu agak aneh lantaran saat ini hampir tidak ada pasar yang tersedia dan tak ada keringanan yang diberikan pemerintah. Ia berkata, “Masak disuru harus tetap jalan, bayangkan.”

Memukul Hilir sampai Hulu

Pukulan yang diterima sektor tekstil juga semakin paripurna lantaran industri hulu ternyata juga kena imbasnya.

Asosiasi Produsen Serat Dan Benang Filamen Indonesia (APSyFl) yang memproduksi bahan baku ikut terdampak karena penurunan pasar domestik di hilir telah mencapai 70 persen. Masalahnya sumbangsih pasar domestik itu mencangkup 80 persen total produksi hulu.

Saat ini mereka masih bisa hidup dari sisa 30 persen. Itu pun karena 10-15 persennya adalah permintaan bahan baku Alat Pelindung Diri (APD) yang sedang diburu semua orang.

APSyFl juga mencatat ekspor yang porsinya sekitar 15-20 persen dari total produksi saja sudah turun 50-60 persen bahkan mungkin 70 persen. Pasalnya tujuan ekspor seperti Eropa sedang menutup diri atau lockdown dan sebagian lagi untungnya masih bisa masuk ke Jepang.

“Marketnya enggak bisa lagi. Kita ini aja hidupnya dari APD dan sisa pasar. Sedikit ekspor dan sedikit local,” ucap Sekretaris Jenderal APSyFl Redma Wirawasta saat dihubungi reporter Tirto, Sabtu (11/4/2020).

Industri Tekstil Butuh Stimulus

Pada 23 Maret 2020 , API dan APSyFI sudah mengajukan usulan stimulus untuk meringankan berbagai biaya yang harus mereka tanggung kala industri tekstil sedang berdarah-darah.

Beberapa stimulus itu mencangkup keringanan pembayaran pokok kredit, penurunan bunga, modal kerja, sampai usulan pemangkasan PPh badan hingga 50 persen. Lalu ada juga usulan keringanan biaya listrik dan gas seperti penundaan pembayaran.

Namun sampai saat ini, Rizal mengaku belum satu pun digubris pemerintah. Untuk keringanan pinjaman misalnya, setahu dia hal itu baru ditujukan buat UMKM, tetapi bukan industri besar. Stimulus paket kedua berupa keringanan PPh pasal 21, pasal 25, dan Pasal 22 juga tidak banyak membantu karena efeknya tak seberapa.

“Kalau tidak diberikan, kita tidak bisa survive habis Lebaran. Sepertinya PHK sudah di depan mata,” ucap Sekjen API Rizal.

Sekjen APSyFI Redma mengatakan pandemi Corona sudah mengganggu cashflow dari hulu sampai hilir. Karena itu, berbagai stimulus ini menurutnya cukup mendesak.

Ia memperkirakan kondisi anjloknya permintaan di sektor tekstil akan berlanjut sampai Juni dan baru benar-benar normal November-Desember 2020.

“Intinya kita masih pingin bayar tenaga kerja maka kita minta relaksasi. Tapi sampai sekarang belum ya, katanya masih dikaji,” ucap Redma.

Baca juga artikel terkait VIRUS CORONA atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Bisnis
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz