Menuju konten utama

Babak Baru Kasus TWK KPK usai Temuan Ombudsman: Berujung ke Jokowi?

Babak baru pasca temuan malaadministrasi Ombudsman RI soal TWK KPK, Presiden Jokowi berpotensi menjadi hakim terakhir terkait polemik ini.

Babak Baru Kasus TWK KPK usai Temuan Ombudsman: Berujung ke Jokowi?
Presiden Jokowi. foto/Setneg

tirto.id - Polemik mengenai Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dalam rangka alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi Aparatur Sipil Negara memasuki babak baru pasca temuan malaadministrasi Ombudsman RI. Kali ini, Presiden Joko Widodo berpotensi menjadi hakim terakhir terkait polemik ini.

"Maka jika PPK [pejabat pembuat komitmen] KPK tidak mengindahkan tindakan korektif atau tidak melaksanakan tindakan korektif yang disampaikan di depan tadi, maka kepada Presiden, kami menyampaikan saran untuk take over, mengambil alih kewenangan yang diberikan kepada pejabat pembina kepegawaian KPK terkait pengalihan status pegawai KPK untuk kemudian saran kebijakan ini jadi dasar bagi presiden untuk melakukan substansi yang sudah kita sampaikan," kata anggota Ombudsman RI Robertus Na Endi Jaweng secara virtual pada Rabu (21/7/2021).

Pada Rabu lalu, Ombudsman RI menyampaikan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) dugaan malaadministrasi dalam proses TWK. Hasilnya, Ombudsman menemukan banyak malaadministrasi, mulai dari tahap penyusunan dasar peraturan TWK KPK, pelaksanaan TWK, dan penetapan hasil TWK.

Pengalihan status pegawai KPK adalah amanat dari Undang-Undang 19 tahun 2019 tentang KPK. Sebagai aturan turunan tentang teknis pengalihan status, KPK menyusun Peraturan KPK 1 tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK Menjadi ASN (Perkom 1/2021).

Anggota Ombudsman Robertus Na Endi Jaweng mengatakan, sejak disusun pertama kali pada Agustus 2020 dan melewati sejumlah rapat lanjutan, sama sekali tidak ada klausul tentang TWK. Klausul itu baru masuk pada akhir pembahasan, tepatnya 5 Januari 2021 dan pada 28 Januari ditetapkan TWK akan dilaksanakan bekerja sama dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Robert menyimpulkan TWK adalah selundupan.

"Mengutip notulensi yang kami baca dari hasil rapat di tanggal 5 itu, munculnya klausul terkait mekanisme asesmen TWK ini adalah bentuk penyisipan, penyisipan ayat, pemunculan ayat baru yang itu munculnya di bulan-bulan terakhir proses ini," kata Robert secara virtual pada Rabu (21/7/2021).

Ombudsman pun menemukan adanya penyimpangan prosedur dan penyalahgunaan wewenang Dalam penyusunan Perkom 1/2021. Pangkalnya ialah rapat harmonisasi rancangan Perkom 1/2021 pada 26 Januari 2021.

Jika membaca Permenkumham 23/2018, rapat harmonisasi aturan internal sebuah lembaga, cukup dipimpin oleh Direkur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan (Dirjen PP) Kemenkumham sehingga konsekuensinya, peserta rapat cukup level pejabat pimpinan tinggi (JPT), setara kepala biro atau sekjen.

Namun, pada rapat harmonisasi hari itu, yang hadir adalah para menteri dan kepala lembaga: Menkumham, MenpanRB, Ketua KPK, Kepala BKN, dan Kepala LAN. "Mungkin kalau harmonisasi untuk rancangan undang-undang yang akan dibawa ke DPR para pimpinan lembaga bisa saja kemudian hadir," kata Robert. "Tapi ini adalah peraturan KPK".

Dari situ, Ombudsman menyimpulkan adanya penyimpangan prosedur.

Tak berhenti di situ, kendati rapat itu diikuti para menteri dan pimpinan lembaga, tetapi berita acara rapat itu justru ditandatangani oleh Kepala Biro Hukum KPK dan direktur di Ditjen PP Kemenkumham. Padahal dua orang itu tidak ikut rapat harmonisasi. Ombudsman menyimpulkan ada penyalahgunaan wewenang.

Selain itu, penyusunan Perkom 1/2021 pun tidak melibatkan pegawai KPK. Padahal Peraturan KPK 12/2018 menyatakan pembentukan aturan internal wajib memperhatikan aspirasi pegawai KPK.

Kemudian, dalam pelaksanaan TWK, Ombudsman menemukan maladministrasi yang sangat serius, yakni dugaan manipulasi surat.

Sebelum digelar KPK dan BKN semestinya menyusun kerangka kerja yang akan menjadi protokol dalam pelaksanaannya. Namun, sampai pada pelaksanaannya pada 9 Maret 2021, kerangka kerja itu belum dibuat. Kerangka kerja itu baru ditandatangani oleh KPK dan BKN pada 8 April 2021 dan 26 April 2021, lebih dari sebulan pasca pelaksanaan TWK.

Sadar telah melakukan pelanggaran, KPK dan BKN memanipulasi surat itu dengan melakukan backdate, alias menulis surat itu ditandatangani pada 27 Januari 2021. Dengan demikian, seolah-olah kerangka kerja itu disusun 3 bulan sebelum TWK.

"Bisa dibayangkan kalau barangnya ditanda tangan pada April, kegiatannya dilaksanakan pada Maret, ini adalah apa namanya penyimpanan prosedur yang buat kami cukup serius dalam tata kelola administrasi suatu lembaga," kata Robert.

BKN pun ternyata tidak kompeten dalam melaksanakan TWK, mereka tidak memiliki alat ukur, instrumen, dan asesor. Alih-alih melapor kepada KPK selaku penyelenggara TWK, mereka justru menggunakan instrumen yang dimiliki oleh Dinas Psikologi Angkatan Darat yang pelaksanaannya merujuk pada Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/1078/XII/2016 tentang Penelitian Personel bagi PNS/TNI di Lingkungan TNI. BKN pun tidak memiliki salinan keputusan itu sehingga BKN tidak tahu kualifikasi dari asesor yang melaksanakan TWK, misal sertifikasi kompetensi maupun sertifikasi asesor.

Dengan demikian, BKN hanya menjadi observer dan asesmen TWK dilakukan oleh Dinas Psikologi AD, Badan Intelijen Strategis TNI, Pusintel AD, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, dan Badan Intelijen Negara.

Dari aspek tahapan penetapan hasil, Ombudsman berpendapat Surat Keputusan KPK Nomor 652 tahun 2021 yang menonaktifkan 75 pegawai yang tidak lolos TWK, adalah bentuk maladministrasi.

Alasannya, putusan MK nomor 70/PUU-XVII/2019 terang menyatakan proses alih status tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk menjadi ASN. Selain itu, Peraturan KPK Nomor 1 tahun 2021 tidak mengatur tentang konsekuensi jika pegawai tidak lulus TWK. Presiden pun sudah mengeluarkan pernyataan hasil TWK tidak boleh menjadi alasan pemecatan pegawai KPK.

"KPK telah melakukan tindakan maladministrasi berupa tidak patut menerbitkan SK karena bertentangan dengan putusan MK Nomor 70/PUU-XVII/2019 dan bentuk pengabaian KPK sebagai lembaga negara yang masuk dalam rumpun kekuasaan eksekutif terhadap pernyataan Presiden sebagai kepala pemerintahan," kata Robert.

Presiden Jokowi Harus Turun Tangan

Selain menyampaikan dugaan maladministrasi, Ombudsman juga menyampaikan sejumlah langkah korektif yang harus dilakukan pimpinan KPK. Pertama, memberikan hasil tes TWK kepada masing-masing pegawai sebagai upaya keterbukaan informasi dan upaya mendorong perbaikan dari masing-masing pegawai.

Langkah korektif berikutnya, KPK harus memberikan hasil TWK sebagai bahan masukan guna perbaikan di masa mendatang, bukan dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai. Kemudian, 75 pegawai yang dinyatakan tidak memenuhi syarat harus diberikan kesempatan untuk memperbaiki diri melalui pendidikan kedinasan tentang wawasan kebangsaan.

Terakhir, Ombudsman meminta 75 pegawai yang dinyatakan tidak memenuhi syarat untuk segera diangkat menjadi ASN.

"Harapan ke depan karena tindakan korektif ini Ombudsman kemudian memberikan waktu bagi KPK dan BKN selama 30 hari untuk merespons dan tentu saja melaksanakan tindakan-tindakan korektif. Kita berharap akan berhenti di sana, sangat penting untuk KPK taat hukum, taat asas, dan sesuai dengan fungsi dan tugas untuk menyampaikan itu," kata Anggota Ombudsman Robertus Na Endi Jaweng secara virtual pada Rabu (21/7/2021).

Jika tindakan korektif itu tidak dilakukan, maka Ombudsman akan menaikkan statusnya menjadi rekomendasi dan pimpinan KPK wajib melaksanakannya dalam tenggat waktu 60 hari.

Apabila masih tidak dilaksanakan, maka rekomendasi itu akan dibawa ke Presiden Joko Widodo. Presiden diharapkan mengambil alih kewenangan pembinaan ASN dari Ketua KPK dan melaksanakan rekomendasi Ombudsman. Selain itu, Presiden juga diharapkan membina kembali Ketua KPK, Kepala BKN, Menteri PAN-RB, dan Menkumham.

Robert mengatakan, ada dua alasan kenapa masalah ini bisa berujung ke presiden. Pertama, KPK adalah lembaga yang berada di bawah rumpun eksekutif. Kedua presiden adalah pejabat pembina kepegawaian tertinggi. Kewenangan pembinaan kepegawaian yang dimiliki menteri, kepala daerah, atau kepala lembaga, hanyalah delegasi kewenangan milik presiden.

Koalisi organisasi masyarakat sipil pun menuntut Presiden memimpin langsung pelaksanaan LAHP Ombudsman dan mengawasi pelaksanaan tindakan korektif yang harus dilakukan oleh KPK. Jika tindakan korektif tak kunjung dilakukan maka Presiden harus mengambil alih kewenangan dan melakukannya sendiri.

"[Presiden] mengambil alih proses dengan melaksanakan rekomendasi jika Pimpinan KPK dan BKN tidak melaksanakan tindakan korektif sebagaimana hasil LAHP ORI," tertulis dalam keterangan tertulis mereka pada Rabu (21/7/2021).

Koalisi bahkan menuntut Presiden untuk menghentikan sementara Ketua KPK Firli Bahuri. Menurut koalisi, pelanggaran yang terjadi sudah sangat serius, bahkan ada indikasi Firli memaksakan TWK untuk menghalangi penyidikan perkara korupsi tertentu yang tengah ditangani KPK, di antaranya korupsi bantuan sosial COVID-19, korupsi pajak, dan korupsi ekspor benih lobster.

Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari mengatakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Manajemen PNS, Presiden bisa langsung melantik 75 pegawai KPK tersebut menjadi ASN. Namun, jika mau mengikuti alur kerja Ombudsman, maka Presiden bisa memberikan pernyataan terbuka kepada pimpinan KPK untuk melaksanakan tindakan korektif yang disarankan Ombudsman.

"Tentu saja akan sangat baik jika kemudian Ombudsman lebih menunggu dulu sikap pimpinan KPK untuk mematuhi rekomendasi Ombudsman," kata Feri.

"Jika memang setelah itu tidak dipatuhi barulah Ombudsman menyampaikan kepada presiden sebagai pimpinan tertinggi lembaga dalam proses penyelenggaraan berbagai kegiatan di ranah eksekutif termasuk di KPK".

Feri mengatakan, Ombudsman adalah lembaga khusus yang bertugas memberitahukan telah terjadi penyimpangan administratif dalam penyelenggaraan negara. Karenanya, rekomendasinya harus dilaksanakan. Jika tidak dilaksanakan, maka terbuka ruang untuk membawa persoalan ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan rekomendasi Ombudsman akan menjadi alat bukti yang sangat kuat.

Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri mengaku telah menerima dan mempelajari LAHP Ombudsman. Ia menyatakan, KPK menghormati saran-saran yang diberikan oleh Ombudsman dan menegaskan KPK adalah lembaga yang patuh hukum, dengan demikian Presiden tak perlu sampai turun tangan.

"Sebagai lembaga negara yang taat hukum, KPK akan menghormati setiap putusan hukum. Dan, KPK akan memberitahukan kepada publik," kata Fikri pada Rabu (21/7/2021).

Baca juga artikel terkait TWK KPK atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Maya Saputri