Menuju konten utama

Babak Baru Kasus Pemerkosaan di Luwu Timur Usai Terduga Lapor Balik

Komnas Perempuan mendesak polisi memprioritaskan kasus kekerasan seksual anak daripada laporan balik terduga pelaku.

Ilustrasi Kekerasan Seksual. FOTO/iStockphoto

tirto.id - SU mengadukan RS kepada Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulawesi Selatan pada 16 Oktober 2021 atas dugaan pencemaran nama baik. Hal ini merupakan buntut dari penayangan artikel Project Multatuli berjudul “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan,” yang terbit 10 hari sebelumnya.

RS dalam artikel tersebut ditulis ‘Lydia’, nama samaran, merupakan bekas istri SU sekaligus ibu dari tiga anak yang diduga diperkosa oleh SU, kini ia menjadi terlapor perkara. SU membenarkan pengaduan tersebut.

“Itu tanda tangan saya,” kata SU ketika dikonfirmasi reporter Tirto, Minggu (17/10/2021). Pada bagian kiri bawah Surat Tanda Penerimaan Pengaduan memang terdapat 'Tanda Tangan Pengadu' yang dibubuhkan nama terang SU, lengkap dengan gelar Sarjana Teknik.

Ia mengadukan RS karena perempuan itu diduga mencemarkan nama baiknya melalui internet dan transaksi elektronik. SU mendapatkan tautan itu dari pesan singkat di WhatsApp dari rekannya yang bernama Firawati. “Kemudian saya membaca berita tersebut, yang isi beritanya adalah menuduh saya selaku mantan suami RS selaku terduga pelaku pemerkosaan terhadap ketiga anak saya,” begitu bunyi alasan pelaporan dalam surat tersebut.

Di kalimat akhir surat, SU berharap kepolisian menindaklanjuti pengaduannya. Agus Melas, kuasa hukum SU, mengatakan RS pernah melaporkan suaminya dengan dugaan pencabulan, tapi polisi menghentikan kasus itu karena tidak cukup dua alat bukti.

“Tiba-tiba saja viral. Viralnya diawali dengan narasi dari Project Multatuli. Kalau kami membaca narasi itu seolah menjadi pemantik warganet untuk menanggapi,” ujar Agus ketika dihubungi Tirto, Senin (18/10/2021).

Banyak warganet yang menanggapi dengan tuduhan kepada kliennya. “Seolah-olah itu menjadi proses pengadilan klein kami, yang sebenarnya belum sampai ke situ (proses hukumnya).” Karena pertimbangan namanya tercoreng SU melaporkan balik RS.

Sementara, barang bukti pelaporan SU yakni hasil cetak dokumen pemberitaan dan media sosial. Hingga hari ini kliennya belum dipanggil untuk pemeriksaan pertama, juga pengaduan ini menjadi ‘pintu masuk’ bagi penyidik Polda Sulawesi Selatan untuk mengembangkan perkara lain.

Agus mengaku kondisi psikis kliennya tertekan akibat pemberitaan ini. SU yang menjabat sebagai auditor Inspektorat Pemerintah Kabupaten Luwu Timur pun hendak cuti karena tak fokus dalam pekerjaannya.

Upaya Kriminalisasi Narasumber Media

Pengaduan SU disorot publik. Ketua AJI Makassar Nurdin Amir menilai, upaya SU merupakan ancaman kriminalisasi pada narasumber sebuah berita. Jika kriminalisasi narasumber terus-menerus terjadi, maka hal ini akan menimbulkan chilling effect. Efek kriminalisasi berdampak terhadap hak masyarakat mendapatkan informasi, sebab narasumber menjadi takut berbicara di media dan kemudian informasi menjadi terabaikan.

“Pelaporan (terhadap) narasumber Project Multatuli tidak tepat, dan menjadi ancaman serius bagi kebebasan pers. Ketika narasumber dipidana, artinya membunuh pers itu sendiri. Pelaporan ini adalah serangan terhadap kebebasan pers dan demokrasi,” ujar Nurdin dalam keterangan tertulis, Minggu (17/10).

UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mengatur soal pers memang dihadirkan untuk melindungi kebebasan pers. Kebebasan pers merupakan bagian dari kebebasan berpendapat yang diatur dalam Pasal 28E UUD 1945. Payung hukum pers yang dipakai untuk melindungi narasumber merupakan poin penting. Narasumber dan pers merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Kriminalisasi terhadap narasumber adalah serangan kepada pers dan terhadap kebebasan berpendapat, kata dia.

Jika narasumber Project Multatuli berlanjut di ranah kepolisian dan tidak dijadikan sebagai sengketa pers, maka akan menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers di Indonesia.

“Kami mendesak penyidik Dit Reskrimsus Polda Sulsel tidak semestinya menerima laporan sengketa pemberitaan yang menjadi ranah Dewan Pers. Kasus ini tidak bisa dibiarkan, karena akan berdampak kepada narasumber lain untuk hati-hati atau membatasi bicara kepada media,” kata Nurdin.

Advokat Publik LBH Makassar Abdul Azis Dumpa mengatakan pelaporan narasumber ke polisi itu salah alamat karena yang dilaporkan adalah produk jurnalistik yang dilindungi UU Pers. Bila ada yang keberatan terhadap produk jurnalistik, maka harus menempuh langkah-langkah melalui permintaan hak jawab atau hak koreksi, atau penyelesaian lewat mekanisme di Dewan Pers.

Kepolisian yang menerima laporan harus mengarahkan pelapor untuk mengadukan keberatannya kepada Dewan Pers. Hal itu tertuang dalam Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dengan Polri Nomor 02/DP/MoU/II/2017 dan Nomor: B/15/II.2017 tentang Koordinasi dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan. [PDF]

“Dalam nota kesepahaman antara Polri dan Dewan Pers, di Pasal 4 ayat (2) menegaskan pihak kepolisian harus mengarahkan kasus yang dilaporkan ke polisi agar diselesaikan melalui Dewan Pers terlebih dahulu,” kata Azis.

Saling Lapor & Profesionalisme Polisi Dipertaruhkan

Juru Bicara Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti berpendapat memang wajar ada saling lapor dan ini termasuk dalam asas persamaan di hadapan hukum, sehingga tidak boleh ada diskriminasi.

“Polisi bertugas untuk melayani, melindungi, mengayomi masyarakat dan menegakkan hukum guna mewujudkan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat. Oleh karena itu dalam rangka melaksanakan tugasnya, polisi berwenang menerima laporan dan/atau pengaduan,” ucap dia kepada reporter Tirto, Senin (18/10/2021).

Berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, pada Pasal 3 dan Pasal 4 menjelaskan tentang Laporan Polisi. [PDF]

Pasal 3 ayat (1) menyebutkan “Penyelidik berwenang menerima laporan/pengaduan baik secara tertulis, lisan maupun menggunakan media elektronik tentang adanya tindak pidana.”; sedangkan Pasal 4 ayat (1) menyebutkan “Setelah lLporan Polisi dibuat, Penyidik/Penyidik Pembantu yang bertugas di SPKT/SPK pada tingkat Polda/Polres/Polsek atau pejabat penerima laporan yang bertugas di Satker pengemban fungsi Penyidikan pada tingkat Mabes Polri, segera melakukan pemeriksaan terhadap pelapor dalam bentuk berita acara wawancara saksi pelapor.”

Yang paling penting, kata Poengky, penyidik dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan harus profesional dan sesuai dengan fakta yang ada. “Adanya permintaan kepada polisi untuk menolak laporan, justru akan berdampak hukum pada polisi. Misalnya (Polri) dianggap diskriminatif dan melanggar asas persamaan di depan hukum.”

Asas imparsial mewajibkan semua laporan masyarakat harus diterima dan ditindaklanjuti. Persoalan apakah itu memenuhi syarat hukum atau tidak, tugas dan kewenangan kepolisianlah yang melakukannya, kata pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies Bambang Rukminto.

“Kalau bukti dan saksi sudah terpenuhi, biar pengadilan yang menentukan. Hanya saja karena laporan ini terkait dengan kasus lain, akan lebih bijak bila dituntaskan bersamaan,” ujar dia ketika dihubungi reporter Tirto, Senin (18/10/2021).

Bambang sebut, tak masalah bila polisi menerima laporan dari terduga pelaku, yang terpenting adalah tindak lanjut dari pengaduan tersebut. “Pada tindak lanjut itulah akan terlihat kepiawaian dan profesionalisme kepolisian,” kata dia.

Kalau tidak profesional dan piawai, kata dia, polisi akan bertindak gegabah dan mengutamakan salah satu laporan. Padahal kasus di Luwu Timur tersebut saling terkait. Maka polisi dikejar untuk mencari dan mengungkap bukti-bukti dengan transparan.

Perihal desakan publik yang inginkan polisi tak menerima laporan SU, Bambang menyatakan masyarakat seringkali hanya melihat yang tampak di permukaan, sementara kepolisian diberikan kewenangan untuk mendalami fakta-fakta hukum perkara.

Adalah hak terduga pelaku untuk membikin pengaduan dan kewajiban kepolisian untuk menerima aduan publik, siapa pun itu. Dus kepolisian pun berwenang untuk menghentikan tindak lanjut laporan bila tak memenuhi syarat-syarat hukum, di situlah pelapor juga harus ikut proaktif terhadap pengaduannya.

Lantas, kata dia, kode etik kepolisian bekerja secara independen, tanpa tekanan siapa pun atau tanpa tendensi di luar penegakan hukum, serta transparan. Sehingga hasil penyelidikannya bisa dipertanggungjawabkan secara hukum.

“Terkait laporan terduga pelaku itu memenuhi unsur pidana atau tidak, polisi bisa mengambil langkah diskresi untuk menindaklanjuti atau tidak, tergantung bukti-bukti yang ada, bukan karena tekanan dari masyarakat,” kata Bambang.

Pengutamaan Penanganan Perkara

Siti Aminah Tardi, Komisioner Komnas Perempuan, juga menyarankan kepolisian untuk mengutamakan pelaporan RS terhadap SU soal dugaan pemerkosaan tiga anak kandungnya. Pengaduan RS dibuat 9 Oktober 2019, atas dugaan pencabulan, tapi dalam prosesnya, penyelidikan perkara itu dihentikan penyidik karena tidak terdapat cukup bukti.

“Pengaduan dugaan pencemaran nama baik tidak diprioritaskan (oleh polisi), yang harus diprioritaskan adalah kasus kekerasan seksualnya terlebih dahulu,” kata dia dalam konferensi pers daring, Senin (18/10/2021).

Pelaporan balik SU terhadap RS adalah upaya membungkam korban dan ibu korban. Aminah pun setuju bahwa narasumber harus dilindungi.

“Kami menjadikan kasus ini sebagai catatan betapa sulitnya (pengusutan) kasus kekerasan seksual. Kami meminta kepolisian menggunakan hak jawab dan hak korektif terhadap setiap bentuk [produk] jurnalistik,” imbuh Aminah.

Berdasar data Catatan Akhir Tahun Komnas Perempuan 2021, pencabulan menempati urutan pertama yaitu 412 kasus. Tindak pidana pencabulan yang didefinisikan “segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji semua itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan lain sebagainya.”

Dengan demikian, pengertian pencabulan sendiri lebih merupakan serangan seksual yang bersifat fisik, namun tidak sampai terjadi penetrasi. Namun juga tindak pidana pencabulan dalam pemberlakuannya digunakan sebagai pasal subsidaritas tindak pidana pemerkosaan sulit dibuktikan.

Pada 2019, RS pernah mengadukan langsung dugaan pencabulan yang dialami oleh tiga anaknya kepada Komnas Perempuan. RS mengadukan: ARP (perempuan, usia 7 tahun), RR (laki-laki, usia 5 tahun), AAR (perempuan, usia 3 tahun), korban pemerkosaan yang diduga dilakukan oleh ayah kandung. Dugaan ini diketahui setelah RS mendengar keluhan anak-anaknya yang kesakitan di bagian vagina dan dubur.

Puskesmas mendiagnosis bahwa ARP dan AAR mengalami abdominal and pelvic pain (R10) atau kerusakan pada organ vagina akibat dari pemaksaan persenggamaan, dan RR mengalami internal thrombosed hemorrhoids atau kerusakan pada bagian anus akibat pemaksaan persenggamaan. Namun polisi menghentikan penyelidikan kasus ini.

Baca juga artikel terkait PEMERKOSAAN ANAK DI LUWU TIMUR atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz
-->