Menuju konten utama

Babak Baru Cina-AS, Google Menceraikan Huawei

Ada kekhawatiran bahwa Cina akan memata-matai AS lewat Huawei.

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memberikan pernyataan setelah langkah-langkah untuk menghentikan penutupan pemerintah AS sebagian yang diajukannya gagal mendapatkan persetujuan Senat, di Ruang Kabinet Gedung Putih di Washington, AS, Kamis (24/2/2019). ANTARA FOTO/REUTERS/Kevin Lamarque

tirto.id - Google, raksasa internet sekaligus pemilik Android, memutuskan memutus kerjasama lisensi Android pada Huawei. Sebagaimana dilansir Reuters, pemutusan hubungan bisnis itu mencakup kerjasama perangkat keras dan layanan teknis antara dua perusahaan ini.

Sikap keras Google kepada Huawei merupakan tindak-lanjut atas ditandatanganinya keputusan Presiden Donald Trump tentang pelarangan perusahaan-perusahaan Amerika Serikat membeli peralatan telekomunikasi asing jika terindikasi membahayakan keamanan nasional. Dan Huawei, menurut AS, masuk dalam daftar perusahaan asing yang membahayakan keamanan nasional.

Menurut pandangan AS, pemerintah Cina memiliki kemungkinan memaksa perusahaan seperti Huawei memasang backdoor atau celah pada produk yang dipasarkan di AS dan dapat digunakan memata-matai. AS curiga Huawei punya hubungan istimewa dengan pemerintah Cina. Menurut Paman Sam, pendiri Huawei Ren Zhengfei pernah ikut serta dalam Kongres Partai Komunis pada 1982 dan Huawei dianggap memiliki Komite Partai Komunis di tubuh perusahaan.

Laporan berjudul “Investigative Report on the U.S. National Security Issues Posed by Chinese Telecommunications Companies Huawei and ZTE” (PDF) yang dirilis parlemen AS mengungkap Huawei memasarkan diri sebagai ‘penyedia solusi ICT global terkemuka’ yang berkomitmen menyediakan jaringan yang dapat diandalkan dan aman. Sepanjang penyelidikan, Huawei secara konsisten membantah memiliki hubungan dengan pemerintah Cina dan mempertahankan sikap sebagai perusahaan swasta, tak ada urusan dengan negara.

Namun, banyak pemikir di AS menyarankan sebaliknya. Selain dipercaya pernah ikut Kongres Partai Komunis, Zhengfei si pendiri Huawei pun diyakini sebagai mantan Direktur Akademi Teknik Informasi Pembebasan Rakyat (PLA). Organisasi itu terkait dengan 3PLA, divisi intelijen sinyal Cina.

Panji Pratama, Public Relation Manager Huawei Indonesia, belum mau memberi komentar terkait situasi ini dengan dalih menunggu arahan Huawei pusat. Di lain sisi, Jason Tedjasukmana, Head of Corporate Communication Google Indonesia, hanya mengirim tautan kicauan akun resmi Android yang menyatakan bahwa pengguna perangkat Android Huawei masih didukung oleh Google, khususnya pada Google Play dan Google Play Protect.

Putusnya hubungan kerjasama dengan Google nampaknya akan berpengaruh keras pada Huawei. Dalam tiga tahun terakhir, Huawei tengah memperoleh hasil manis berjualan ponsel Android.

Pada kuartal 1-2017, Huawei mengapalkan 34,5 juta unit ponsel Android. Setahun berselang, angkanya meningkat menjadi 39,3 juta unit. Lantas, pada 2019 ini, mereka sukses mengapalkan 59,1 juta unit, menjadikan Huawei sebagai perusahaan pemilik 19 persen pangsa pasar Android dunia.

Huawei, dalam statistik sederhana, adalah produsen ponsel pintar nomor dua di dunia. Kalah dari Samsung, tapi unggul dari Apple.

Dengan kinerja apik terkait urusan Android, penghasilan perusahaan terdongkrak. Pada 2018, menurut laporan Techcrunch, Huawei memperoleh pendapatan sebesar $107 miliar. Dari jumlah itu, lebih dari setengahnya disumbang divisi consumer yang memegang kendali ponsel Android. Tertahannya hubungan dengan Android jelas mengancam mereka.

Huawei memang tidak ditinggal secara total oleh Android. Telepon pintar versi open source, tanpa dukungan Google, dapat digunakan Huawei. “Komunitas Android, bagaimanapun, tidak memiliki basis legal pelarangan penggunaan Android oleh perusahaan manapun, termasuk Huawei,” kata pemimpin Huawei Eric Xu. Ia juga menegaskan bahwa Android adalah properti open source.

Sayangnya, Android dikendalikan oleh Google. Jika ngotot menggunakan Android, Huawei sukar memperoleh pembaruan, juga berbagai layanan “pre-installed” dari Google yang menjadi kekuatan.

Mau tak mau, Huawei harus menggunakan cara lain atau “Plan B” agar bertahan dalam belantika bisnis ponsel dunia. Plan B itu ialah menciptakan sistem operasi mobile-nya sendiri. Bisakah?

Sistem Operasi Huawei: Wacana dan Wacana

Jauh sebelum Google memutus kerjasama, Huawei dikabarkan tengah mengembangkan sistem operasi mobile-nya sendiri. Pada Mei 2015, sistem operasi yang dikembangkan itu konon dinamai Kirin OS, senada dengan nama System-on-Chip buatan mereka, “Kirin”. Kala itu, kabar beredar bahwa pembuatan sistem operasi sendiri ditujukan untuk “mengurangi candu pada Android.” Namun, hingga setahun berselang, tidak ada tanda-tanda kemunculan Kirin OS.

Pada Juni 2016, kabar soal sistem operasi itu muncul kembali, tapi dengan menanggalkan penamaan Kirin OS. Saat itu, Huawei dikabarkan tengah merancangnya di sebuah negara Skandinavia yang diisi teknisi-teknisi eks-Nokia. Nokia, mantan raja ponsel dunia, memang berpengalaman soal OS. Tercatat, merekalah pemilik Symbian, raja yang digusur Android. Dan mirip dengan alasan pertama, penciptaan sistem operasi sendiri dikerjakan sebagai antisipasi “tatkala hubungan dengan Google memanas”.

Terakhir, dua bulan sebelum Google bersikap tegas pada Huawei, kabar soal sistem operasi ciptaan Huawei mengemuka kembali. Sayangnya, tidak ada rincian apapun soal sistem Huawei tersebut. Richard Yu, Pemimpin Divisi Consumer Huawei, hanya menegaskan kembali bahwa penciptaan sistem operasi merupakan Plan B bagi perusahaannya. Plan A, atau pilihan utama, “tetap bekerja dengan ekosistem yang telah dikembangkan Google dan juga Microsoft.”

Sayangnya, bukan sistem operasi buat ponsel yang muncul, tapi malah LiteOS, sistem operasi bagi Internet-of-Things (IoT) seperti jam tangan pintar atau perangkat-perangkat sejenis. Karena keterbatasan kemampuan perangkat, LiteOS didesain ramping dan mungil. Kernel atau inti sistem operasi ini hanya sebesar 10 kilobyte. Jauh dari yang dibutuhkan ponsel, dengan segala fiturnya, untuk bekerja.

Tercatat, kabar soal sistem ala Huawei sudah beredar sejak 2012. Sayangnya, hingga Google memutus kerjasama atas aturan yang diteken Trump, sistem operasi Huawei sebagai kenyataan masih dipertanyakan.

Menciptakan sistem operasi bukan semata menulis baris-berbaris kode. Android kini didaulat sebagai sistem operasi publik paling populer di dunia. iOS, si pesaing, tidak bisa disebut publik. Ia hanya menjadi sistem operasi eksklusif Apple. Tidak yang lain.

Di ranah publik, ada Windows Phone, Ubuntu Touch, Tizen, hingga Firefox OS. Sial, semuanya kalah oleh Android. Mengapa? Ada dua kunci keunggulan Android dibandingkan pesaingnya: aliansi dan aplikasi.

src="https://mmc.tirto.id/image/2018/12/12/huawei--mild--nadya.jpg" width="840" alt="" /

Si Robot Hijau di Pundak (Banyak) Raksasa

“Kami tidak menciptakan GPhone (Google Phone). Kami hanya membuat 1.000 orang bisa menciptakan GPhone-nya sendiri,” kata Andy Rubin, pencipta Android, pada 2007 silam kepada The New York Times.

Android merupakan penantang iOS, yang lebih dahulu hadir. Namun, alih-alih termaktub eksklusif dalam ponsel Google, Android bisa digunakan pada perangkat apa pun.

“Sistem operasi ini bisa dijalankan pada perangkat berlayar kecil, lebar, ber-keyboard QWERTY, non QWERTY, berkonsep slider ataupun tidak. Pokoknya, semuanya bisa,” tegas Rubin kemudian.

Sistem operasi yang segala bisa memang sukar diciptakan Google sendiri. Untuk mendukung sistem operasinya sukses, Google lalu menciptakan aliansi bernama Open Handset Alliance. Ia adalah aliansi berisi perusahaan-perusahaan teknologi top dunia, seperti Broadcom, Intel, Qualcomm, Texas Instruments, HTC, LG, Motorola, hingga Samsung yang bertujuan satu: mau mendukung dan memakai Android.

Jelas, dukungan yang diberikan perusahaan-perusahaan teknologi dunia itu bukan tanpa syarat. Kondisi paling utama ialah perusahaan-perusahaan itu bisa menentukan cita-rasa Androidnya sendiri.

“Ketika Anda membiarkan suatu produk terbuka, biarlah industri yang memutuskan bagaimana produk itu bekerja,” urai Rubin.

Maka, Android-pun menyebar dengan cepatnya. Ponsel pintar, yang dahulu identik berharga mahal, sebagaimana diwartakan The New York Times, bisa ditekan untuk dijual kurang dari $200.

Lambat laun, ekosistem Android pun tumbuh. Hingga Maret 2019, terdapat 2,6 juta aplikasi berbasis Android yang tersedia di Play Store, mengalahkan ekosistem iOS yang hanya memiliki 1,8 juta aplikasi.

Ketersediaan aplikasi yang melimpah membuat sistem-sistem operasi baru yang muncul sukar berkembang. Pengguna ponsel akan sukar berinteraksi dengan perangkatnya akibat masih sedikitnya ketersediaan aplikasi. Ini membuat Android (dan iOS) berada di atas angin.

Akhirnya, selepas 10 tahun berlalu sejak kelahirannya, Android jadi sistem operasi mobile paling berjaya di dunia. Hingga April 2019, robot hijau memegang kendali 74,85 persen pangsa pasar sistem operasi mobile. Dalam konferensi Google I/O 2019, terdapat 2,5 miliar perangkat berbasis Android aktif hari ini. Dengan 7,5 miliar manusia yang kini tercatat tinggal di bumi, artinya Android digenggam oleh sepertiga populasi manusia.

Baca juga artikel terkait PERANG DAGANG AS-CINA atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Maulida Sri Handayani
-->