Menuju konten utama

Babad Lahan Gambut Terakhir di Jawa yang Dihuni Harimau

Bangsa ini banyak menyimpan peristwa sejarah dalam ingatan yang diwariskan, namun ada catatan-catatan kecil yang tercecer.

Babad Lahan Gambut Terakhir di Jawa yang Dihuni Harimau
Jalan menuju Rawa Lakbok. FOTO/Istimewa

tirto.id - Saya memanggilnya Pak Doli. Terakhir kali bertemu dengannya di pertengahan 2014. Di kali terakhir itu beliau sudah sangat tua, usianya sudah mencapai 90 tahun lebih. Pada lebaran 1438 H yang baru lewat, saya sudah tidak melihatnya. Rumahnya berjarak 100 meter dari rumah saya. Beliau adalah mantan wedana wilayah enam Jampangkulon, Kabupaten Sukabumi.

Waktu bapak saya meninggal, Pak Doli datang dipapah seorang anaknya. Saat duduk di dekat jenazah, beliau mengeluarkan pena dan kertas, lalu bertanya kepada seseorang ihwal titimangsa. Pak Doli mencatat tanggal, bulan, dan tahun wafat bapak.

Selain mencatat tanggal kematian warga, beliau juga mencatat berbagai peristiwa yang terjadi seperti gempa bumi, banjir, badai, pembangunan masjid, perbaikan jalan, dll. Arsip catatannya tersimpan rapi, merekam masa-masa yang telah lewat, sebuah ikhtiar untuk membantu mengawetkan ingatan tentang sejarah kampung. Bisa jadi apa yang dikerjakannya adalah kebiasaan yang dibawa sejak beliau masih aktif sebagai wedana, sebagai pamong praja pemimpin kewedanaan.

Scripta manent verba volant (yang tertulis mengabadi, yang terucap berlalu bersama angin). Tak ada yang abadi kata orang-orang. Itu benar belaka. Tapi bagaimana pengetahuan dan peristiwa diwariskan dari generasi ke generasi? Salah satunya lewat tulisan.

Orang-orang boleh menggugat kutipan Pramoedya Ananta Toer: “menulis adalah bekerja untuk keabadian”, tapi selama buku masih dicetak, tulisan masih dibaca, dan manuskrip masih dicari, artinya proses pewarisan masih berlangsung, orang-orang masih akan memerlukan catatan. Manusia dipungkas mati, tulisan masih dibaca yang hidup.

Di Yogyakarta, Muhidin M. Dahlan dan koleganya pernah membuat proyek mencatat sejarah kampung yang melibatkan banyak pemuda. Hasil kerja ini kemudian dibukukan dalam Ngeteh di Patehan: Kisah Beranda Belakang Keraton Yogyakarta yang terbit pada 2011. Buku setebal 520 halaman ini memuat banyak hal yang berkaitan dengan kampung Patehan, kampung yang berada di dekat Alun-Alun Kidul Yogyakarta.

“Pada mulanya adalah soal kesadaran memberi makna dan perspektif baru di mana warga berpijak, bernapas, dan melakukan kerja rutinnya tiap hari,” tulis Muhidin yang menjadi supervisi proyek tersebut.

Sementara Faiz Ahsoul yang menjabat sebagai koordinator riset menjelaskan lima poin tujuan dibuatnya proyek tersebut. Salah satunya, sebagaimana disampaikan kepada Agus M. Irkham (penulis buku Gempa Literasi: Dari Kampung untuk Nusantara, Pendar-pendar Kepedulian, dll) adalah “Mengampanyekan tradisi membaca dan menulis sejarah sebagai bagian dari kehidupan kolektif masyarakat yang memiliki multifungsi dan bisa dipelajari dalam proses belajar bersama.”

Apa yang dilakukan oleh Pak Doli di kampung saya dan Muhidin beserta koleganya di Yogyakarta, bisa jadi masih belum dilakukan oleh orang banyak (untuk tidak menyebutnya langka).

Sekali waktu di pengujung 2015, saya tengah melakukan observasi sosial dan sejarah di Kecamatan Cigugur, Kabupaten Pangandaran. Tim yang saya tergabung di dalamnya kesulitan mendapatkan catatan sejarah kecamatan tersebut. Kami hanya mendapatkan ketikan empat lembar kertas berukuran A4 dari seorang guru SMP yang isinya cerita lisan yang yang diwariskan turun-temurun. Ya, hanya empat lembar dan sebagian diliputi oleh kisah supranatural.

Jika menengok ke belakang, terkait dengan kesadaran mencatat peristiwa, ada satu naskah tentang pembukaan sebuah hutan dan rawa yang menjadi lahan pertanian dan permukiman, yang kiranya bisa menjadi contoh bagaimana lintasan peristiwa tak menguap begitu saja.

Lakbok namanya. Wilayah ini sekarang masuk ke dalam Kabupaten Ciamis. Kecamatan ini merupakan daerah yang mempunyai lahan gambut terakhir yang masih tersisa di Pulau Jawa. Tahun 1933, Betje Polak (peneliti asal Belanda) menyimpulkan bahwa Lakbok memiliki lahan gambut yang terbentuk berkat materi kayu dan hutan hujan.

“Lahan gambutnya kini sebagian besar dilapisi sedimen liat, lapisan gambutnya masih terawat dengan baik dan menunjukkan vegetasi yang tersisa seperti pakis, daun, pohon, dan semak-semak,” kata Hans Joosten, Profesor Studi Lahan Gambut dan Paleoekologi dari Institut Botani dan Lanskap, Jerman.

Sebelum menjadi permukiman dan lahan pertanian seperti sekarang, Lakbok merupakan hutan dan rawa yang kemudian dibuka mulai 1925 yang dipimpin Bupati Sukapura, R.A.A. Wiratanuningrat. Peristiwa dibukanya hutan dan rawa Lakbok ini diabadikan oleh R. Muh. Sabri Wiraatmadja dalam sebuah naskah. Sejatinya naskah ini tidak mempunyai judul, namun kemudian di lingkungan keluarga pengarang disebut Babad Lakbok.

Muh. Sabri Wiraatmadja yang lahir di Manonjaya, Tasikmalaya, pada 1875 adalah seorang mantan Kalipah, pembantu Kepala Penghulu di Padaherang (sekarang masuk wilayah Kabupaten Pangandaran). Babad Lakbok ditulis berangsur mulai 1925 dan selesai tahun 1937, bertepatan dengan meninggalnya Bupati Sukapura, R.A.A. Wiratanuningrat yang menjadi inisiator pembukaan hutan dan rawa tersebut.

Naskah ini terdiri dari 561 pada (satuan bilangan dalam pupuh), ditulis kronologis, dan merupakan cerita faktual berkala, bukan dongeng ataupun roman sejarah. Pupuh yang digunakan oleh R. Muh. Sabri Wiraatmadja adalah kinanti, sinom, asmarandana, dangdanggula, pangkur, durma, magatru, dan maskumambang. Setiap kali R.A.A. Wiratanuningrat datang ke Padaherang, naskah ini selalu dilantunkan di hadapannya.

H.D. Bastaman dalam Seri Sundalana 3 yang diterbitkan Pusat Studi Sunda membagi naskah Babad Lakbok ke dalam 18 bagian. Ia menjelaskan bahwa mula-mula naskah dibuka dengan memuji Tuhan Yang Maha Suci dan selawat kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga nabi, dan para sahabat nabi dengan tujuan agar naskah yang ditulis dapat terbaca oleh generasi berikutnya. Hal ini tentu menjelaskan upaya pewarisan, bahwa penulis pasti mati dan tulisan bisa saja dilupakan, namun setidaknya tulisan adalah ikhtiar estafet antar generasi.

Hutan Lakbok sendiri berbatasan dengan rawa yang tidak pernah kering, didiami hewan-hewan buas dan beracun. Rawa ditutupi eceng gondok dan bermacam rerumputan, yang kalau datang musim hujan, hutan dan rawa terlihat bersatu seperti lautan berwarna hijau. Air yang menggenangi rawa berasal dari tiga sungai, yaitu Citanduy, Ciséél, dan Putrahaji.

Dalam rangka mengeringkan rawa, air yang selamanya menggenang kemudian dialirkan ke daerah Cilacap. Dalam buku Onom jeung Rawa Lakbok, disebutkan bahwa pengaliran air ini pernah menimbulkan masalah antara Bupati Cilacap dengan Bupati Sukapura terkait batas administratif dan tanggung jawab pengelolaannya. Perlahan rawa mulai mengering, dan sebelum dimanfaatkan menjadi lahan pertanian serta permukiman, Bupati Sukapura melakukan survei lapangan terlebih dahulu.

Ketika hutan dan rawa Lakbok sudah siap untuk dibuka, masyarakat tidak ada yang berani untuk memulainya, karena status tanah tersebut milik pemerintah. Hal itu kemudian membuat Bupati Sukapura membuat kebijakan, atas izin dari atasannya, membagi-bagikan tanah Lakbok kepada masyarakat yang disambut gembira oleh mereka. Momentum pembagian tanah inilah yang menjadi awal masuknya orang Jawa Tengah ke Lakbok.

Setelah tanah dibagi-bagikan, masyarakat kemudian berlomba bercocok tanam. Persedian air yang banyak ditambah kondisi tanah gambut yang mengandung unsur hara tinggi, membuat Lakbok menjelma menjadi wilayah subur dengan hasil bumi yang melimpah. Untuk mensyukuri karunia tersebut, bupati dan masyarakat mengadakan selamatan atau kenduri.

Mulai 1929, untuk mendukung laju ekonomi dan mobilisasi warga di sekitar Lakbok, Wedana Pangandaran, Raden Prawirasastra, membangun ruas jalan yang menghubungkan Paledah dengan Mangunwijaya. Selain itu, Bupati Sukapura pun membuat jembatan di atas sungai Ciséél yang terbuat dari bambu betung. Pengerjaan jalan dan jembatan itu dilakukan oleh masyarakat secara gotong royong dan penuh kegembiraan.

Apa arti kata "Lakbok"? Menurut R. A. Danadibrata dalam Kamus Bahasa Sunda yang diterbitkan oleh Kiblat Buku Utama, "Lakbok" merupakan bahasa Sunda kuna yang artinya maung nu gedé pisan (harimau yang sangat besar). Nama ini dilekatkan terkait dengan sebuah peristiwa yang hampir memakan korban jiwa manusia. Hutan dan rawa yang dijadikan permukiman dan lahan pertanian membuat para binatang terdesak dan pergi menjauh, salah satunya yaitu lakbok. Harimau besar yang mulai kehabisan tempat bersembunyi itu kabur ke hutan Cimadang di daerah Padaherang dan menyerang manusia sampai ada tiga orang yang terluka.

Infografik lakbok dan perburuan harimau

Camat Padaherang sigap mengambil sikap. Ia mengumpulkan rakyatnya untuk memburu harimau itu dengan cara memasuki hutan dari segala penjuru mata angin, sambil memukul bebunyian dan bersorak agar harimau keluar dari persembunyiannya. Dua anjing yang ikut berburu melengking kesakitan karena diserang harimau sampai mati. Melihat bagaimana dua anjing meregang nyawa, orang-orang lari berhamburan menyelamatkan diri. Sebagian yang keberaniannya di atas rata-rata juga perlahan ikut mundur. Hanya satu orang yang benar-benar bergeming, yaitu Ki Arsadiwangsa.

Ia bersiap dengan senapan hendak menghajar harimau. Sebelum bedil meletus, si raja hutan keburu menyerangnya. Pundak dan lengan Ki Arsadiwangsa diterkam, dicakar, dan diinjak. Pemberani itu tak berdaya, ia hanya bisa berteriak minta tolong. Beruntung seseorang segera datang dan membantunya, ia bernama Mas Surawinata. Dengan keberanian luar biasa, Mas Surawinata mengarahkan moncong bedil tepat di kuping harimau. Pelor menerjang, tembus menghunjam kepala. Setelah lakbok rubuh, Ki Arsadiwangsa yang sempat terhinakan menghajarnya dengan popor senapan.

Pertengahan September 1936, ketika sedang menikmati hasil dari kerja keras para pangreh praja dan masyarakat dengan keberlimpahan rezeki, tiba-tiba Lakbok diserang angin topan. Peristiwa itu hanya berlangsung setengah jam, namun kerusakan yang ditimbulkannya cukup parah. Tidak lama setelah itu, Bupati Sukapura yang memimpin pembukaan Lakbok kemudian sakit. Beredar desas desus di masyarakat bahwa musibah angin topan tersebut adalah kila-kila atau pertanda. Setahun kemudian Lakbok kembali diterjang musibah, kali ini adalah banjir besar karena sungai Citanduy meluap.

Di tahun yang sama dengan musibah banjir besar, R.A.A. Wiratanuningrat, sang bupati yang banyak berjasa dalam pembukaan dan pengambangan wilayah Lakbok meninggal dunia. Jenazahnya dibawa ke Manonjaya dan dikuburkan di permakaman Tanjunglaya, yaitu permakaman keluarga dan para bupati trah Sukapura. Dengan meninggalnya R.A.A. Wiratanuningrat, maka naskah Babad Lakbok pun berakhir.

Naskah tersebut berakhir di pada 561, dan dipungkas oleh R. Muh. Sabri Wiraatmadja dengan pupuh Maskumambang (pupuh yang menggambarkan kesedihan, nelangsa, dan kesusahan):

“...Muga-muga Allah anu Maha Adil maparinan Rahmat, ka arwah anu geus mulih, Kangjeng Wiratanuningrat.”

(...Semoga Allah yang Maha Adil melimpahkan Rahmat, kepada arwah yang sudah berpulang, Kangjeng Wiratanuningrat).

Baca juga artikel terkait SUNDA atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Humaniora
Reporter: Irfan Teguh
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Zen RS