Menuju konten utama

Bagaimana Facebook Membentuk Wajah Dunia Abad 21

Facebook tak hanya media sosial yang paling populer hari ini dengan 1.590 juta pengguna. Ia juga punya kekuatan yang besar untuk membentuk wajah dunia di abad 21, merentangkan pengaruhnya di ranah sosial, ekonomi, hingga politik. Dari mengubah gaya berhubungan antar orang, menyediakan pasar baru, hingga memfasilitasi revolusi di sebuah negara.

Bagaimana Facebook Membentuk Wajah Dunia Abad 21
Ilustrasi pengguna Facebook. TIRTO/Andrey Gromico

tirto.id - Nohemi Gonzalez adalah siswa sekolah desain asal California yang bermukim di Paris untuk menjalani program pertukaran pelajar. Ia tak memiliki afiliasi politik apapun apalagi ikut dengan gerakan-gerakan radikal. Namun, niatnya mencari ilmu berakhir dengan nasib buruk, Juni lalu ia tewas akibat serangan teroris ISIS di jantung ibukota Perancis.

Keluarganya marah. Pada Selasa (14/6/216) mereka menuntut sejumlah perusahaan media sosial (medsos) ternama karena dianggap telah “memberikan bantuan material kepada kelompok radikal ISIS”. Salah satu platform medsos yang disasar adalah Facebook, medsos dengan pengguna aktif terbanyak dengan 1.590 juta pengguna. Mereka meminta supaya pengadilan menindak tegas perusahaan-perusahaan yang melanggar Undang-Undang Anti-Terorisme Amerika Serikat (AS).

Facebook kemudian menanggapi, “Tidak ada tempat untuk para teroris atau konten yang mempromosikan dan mendukung terorisme dalam Facebook, dan kami bekerja sekeras mungkin untuk menghilangkan konten-konten semacam itu segera setelah kami berhasil menemukannya,” demikian sebagaimana dikutip The Guardian.

Sayang, niat baik Facebook belum didukung dengan realisasi penuh. Kenyataannya, medsos seperti Facebook memang menjadi alat yang efektif untuk menjaring anggota kelompok radikal seperti ISIS. Propagandanya masif, dan anak-anak muda di berbagai belahan dunia sebagai pengguna akun-akun medsos tertarik untuk mendukung, baik secara moral maupun terjun ke lapangan. Metode perekrutan ini pernah diangkat Noor Huda Ismail dalam filmnya berjudul Jihad Selfie.

Mark Zuckeberg dan kawan-kawan memang tak sekadar menciptakan sebuah medsos. Disadari atau tidak, banyak aspek kehidupan yang berubah dengan kemunculan Facebook. Dalam kurang dari dua dekade sejak kemunculannya, Facebook telah mengubah wajah kehidupan modern di awal abad 21 dan merentang dari ranah kehidupan sosial, bisnis, hingga politik. Kasus perekrutan anggota jaringan ISIS hanyalah segelintir dari fenomena Facebook. Faktanya, Facebook juga menyumbang perubahan-perubahan lain—terlepas dari itu baik maupun buruk.

Redefinisi “Teman”, Hilangnya Privasi, dan Berkumpulnya Profit

Relasi pertemanan menjadi basis hubungan antar pengguna akun Facebook, tetapi sekaligus ada perubahan di dalamnya. Di Facebook, para pengguna bisa meng-unfriend seseorang. Status hubungan di Facebook hanya berjarak satu klik saja. Berbeda dengan di dunia nyata, di mana orang yang tak lagi kita anggap teman tak bisa diberi jarak sejauh-jauhnya. Konsekuensinya, relasi pertemanan di Facebook tak bisa seintim di dunia nyata.

Meski terkesan kering, tetapi Facebook membuat jalinan pertemanan menjadi egaliter serta meniadakan hierarki. Seorang teman satu kelas saat kuliah dulu dan kini telah menjadi CEO sebuah perusahaan start-up dengan gaji melimpah bisa tetap berada dalam status yang sama dengan Anda yang biasa-biasa saja maupun dengan teman kelas lain yang masih pengangguran.

Yang berbeda adalah cara melihatnya. Prof Robin Dunbar yang meneliti perilaku berhubungan di dunia maya menaksir seseorang hanya memiliki maksimal 150 orang teman di lingkaran sosialnya. Begitu pula di Facebook, sebagaimana ia ungkapkan di kepada The New Yorker, ia khawatir bahwa mudahnya memutuskan hubungan di Facebook akan berdampak pada pola yang serupa di dunia nyata. Padahal tipe hubungan di kedua dunia itu memiliki perbedaan yang cukup kompleks.

Misal, di dunia nyata hubungan pertemanan memiliki seni tersendiri untuk menjadi dekat dan terbuka. Di Facebook, tiba-tiba semua informasi tersedia di depan mata. Menurut Pew Research Centre, sebagaian besar pengguna Facebook tak ragu membagikan info pribadi secara mendetail. Sebanyak 91 persen memasang foto profil asli, 71 persen membagi informasi kota tempat tinggal, dan 61 persen membagikan email dan nomor telepon.

Lebih dari 80 persennya tak ragu membagikan apa yang menjadi ketertarikan mereka. Film, buku, tokoh favorit, hingga aliran kepercayaan dan ideologi. Sadar atau tidak, informasi ini menjadikan berbagai perusahaan yang bekerja sama dengan Facebook untuk menjaring konsumennya. Contohnya, Anda membagikan buku-buku favorit, lalu di kemudian hari saat membuka beranda, di sisi kanan Anda menemukan banyak tautan iklan tentang buku maupun penerbit. Tak ada yang kebetulan di Facebook. Segalanya terpasang berdasarkan alogaritma dengan tujuan utamanya adalah pemasaran.

Maka secara tak langsung, Facebook juga kini menjadi pasar bagi jutaan orang yang bekerja memasarkan produknya. Calon konsumennya adalah para pengguna aktifnya yang melimpah itu, dalam perbandingan yakni 1 dari 7 orang di dunia. Facebook sebagaimana penuturan Michael Tinmouth, ahli strategi medsos yang bekerja untuk Vodafone dan Microsoft, adalah alat pemasaran yang tak pernah ada sebelumnya.

“Para pelaku pemasaran memiliki pemahaman berbeda tentang merek-merek yang disukai konsumen hari ini. Data dan analisis yang tersedia untuk Anda amat luar biasa. Anda tahu siapa calon pelanggan Anda, siapa teman mereka, dan bagaimana ketertarikan mereka terhadap merek Anda,” ungkapnya.

Para pengiklan berinvestasi dalam jumlah yang besar kepada Facebook. Pada 2015, Facebook dilaporkan memiliki pendapatan atas iklan mencapai $3,32 miliar, naik 46 persen dari tahun-tahun sebelumnya. Ini pertanda bahwa Facebook sejak lama telah sadar akan pasar baru yang telah ia ciptakan dan akhirnya memiliki daya tawar yang tinggi.

Infografik Revolusi Facebook

Wajah Politik Baru dan Konsolidasi Massa Aksi

Pilpres 2014 menjadi saksi kemeriahan politik yang melanda seantero tanah air. Tak seperti pemilihan presiden di tahun-tahun sebelumnya, orang-orang yang cenderung apatis dan pragmatis tiba-tiba banyak yang menceburkan diri untuk mendukung pasangan favoritnya.

Menjelang hari H, publik masih ingat betapa meriahnya Konser Salam Dua Jari yang diselenggarakan di Gelora Bung Karno pada 5 Juli 2014 dan secara signifikan meningkatkan dukungan kepada pasangan Jokowi-JK. Keduanya akhirnya memenangkan pertarungan. Kepada siapa keduanya mesti berterima kasih? Medsos terpopuler di Indonesia yang membincangkan riuh dan bermaknanya konser itu hingga detik-detik pemilihan: Facebook.

Fenomena Facebook dijadikan sebagai salah satu ujung tombak memenangkan hati pemilih terjadi di banyak tempat. Wajah politik yang sebelumnya konvensional berubah medan pertarungan ke dunia maya. Pasukan pendukung membanjiri Facebook dengan akun-akun bikinan sesaat demi mempopulerkan calon yang diusung. Efeknya negatifnya: fitnah menyebar kemana-mana, cerita hoax mengalir tak henti-henti. Namun, sebagaimana disepakati banyak pengamat, begitulah bentuk demokrasi di dunia maya. Bebas, tangkas, dan ofensif.

Demokrasi yang demikian pada tahun 2008 lalu berhasil memenangkan Barack Obama sebagai orang nomor satu AS. Sang manajer kampanye, Jim Messina, dilirik baik oleh Partai Buruh maupun Konservatif Inggris untuk bertarung di pemilihan tahun 2015. Kedua partai terbukti bisa meraup suara banyak, buntut dari manuver yang luar biasa aktif dan ofensif di Facebook.

Selama kampanye, Partai Konservatif dikabarkan telah menghabiskan dana sebesar 120.000 poundsterling per bulan untuk perang di Facebook sebab sadar bahwa langkah itu mampu menggaet para pemilih mengambang dengan efektif. Strategi ini diklaim jauh lebih efektif ketimbang strategi turba (turun ke bawah) Partai Buruh dengan ilustrasi “berbicara langsung kepada 1 juta orang”.

Tak lupa, Facebook juga berperan besar dalam revolusi politik di negara-negara Timur Tengah atau yang kemarin populer dengan sebutan Arab Spring, dan juga di kawasan Eropa. Twitter memang menjadi saluran yang lebih populer dalam rangka menyebarkan semangat serta informasi terkait revolusi, namun pengorganisiran demonstrasi dan aksi lapangan lebih banyak dikonsolidasikan lewat Facebook.

Olga Onuch dari Manchester University menjelaskan pada The Guardian bahwa setengah massa aksi Euromaiden di Ukraina pada bulan November 2013 silam dikarenakan konsolidasi di Facebook. Satu jam usai Ukraina menolak kerja sama ekonomi dengan Uni Eropa, kabar itu menyeruak di Facebook. Tak hanya kemarahan yang muncul di dunia maya, tetapi juga ajakan protes bersama di alun-alun Ukraina.

Banyak responden penelitian Onuch yang berkata bahwa selama masa protes berlangsung mereka mengandalkan Facebook sebagai sumber informasi yang lebih terpercaya ketimbang media pada umumnya. Facebook bisa langsung mengabarkan yang sesungguhnya terjadi di lapangan dengan apa adanya baik berupa gambar maupun video. Ketelanjangan tanpa framing ini akhirnya membuat wajah dunia pers di abad 21 ini berubah: Facebook juga difungsikan sebagai portal berita baru.

Menurut Pew Research Centre: 71 persen pengguna usia 18-24 tahun memanfaatkan Facebook sebagai sumber berita utama. Begitu pun bagi 63 persen dari total pengguna dari semua usia. Sekurang-kurangnya, sepertiga pengguna Facebook memposting sesuatu yang berkaitan dengan politik dan pemerintahan. Mereka bisa sangat kritis ataupun sebaliknya: rajin menjilat penguasa.

Atas kecepatan dan aksesibilitasnya menjangkau banyak orang, Facebook lebih bisa diandalkan sebagai saluran breaking news ketimbang media konvensional. Semua kini orang bisa jadi reporter. Semua orang bisa jadi pembuat opini maupun menjadi kolumnis. Sebagian yang menjadi viral kemudian dengan mudah dijadikan sumber rujukan bagi pekerja media. Ini turut mengubah cara pekerja media hari ini dalam mencari sumber. Lebih efisien memang, tapi kemudian diragukan pula validitasnya.

Kejayaan Facebook masih belum menunjukkan tanda-tanda akhir hingga 12 tahun sejak ia berdiri. Banyak medsos baru bermunculan, namun Facebook masih disukai oleh sebagian besar kalangan atas kelengkapan manfaatnya itu. Pada akhirnya, Facebook bukan sekedar medsos. Ia adalah dunia (baru) itu sendiri—meski sesungguhnya maya belaka.

Baca juga artikel terkait MEDSOS atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti