Menuju konten utama

Cerita yang Tak Diceritakan Film Spotlight

Tim Spotlight adalah tim investigasi di Boston Globe, sebuah koran di Boston, Amerika Serikat. Tim itu sudah ada sejak 1970. Tahun 2001, mereka melakukan liputan tentang pelecehan seksual yang dilakukan oleh para pastor Katolik kepada anak-anak.

Cerita yang Tak Diceritakan Film Spotlight
Walter V. Robinson adalah seorang reporter investigatif pemenang hadiah Pulitzer untuk The Boston Globe. Dia bekerja sebagai reporter dan editor selama 34 tahun dan menjadi Profesor Jurnalisme di Northeastern University di Boston. [Tirto/Ulfa]

tirto.id - Tim Spotlight adalah tim investigasi di Boston Globe, sebuah koran di Boston, Amerika Serikat. Tim itu sudah ada sejak 1970. Tahun 2001, mereka melakukan liputan tentang pelecehan seksual yang dilakukan oleh para pastor Katolik kepada anak-anak.

Laporan itu pertama kali dipublikasikan pada Januari 2002. Setelah itu, Spotlight dihubungi oleh sangat banyak korban, tak hanya di Boston, tetapi juga belahan bumi lainnya seperti Australia dan beberapa negara Eropa. Sepanjang 2002, ada 600 cerita yang dipublikasikan.

Tahun 2003, tim ini mendapatkan Pulitzer, sebuah penghargaan tertinggi bagi jurnalisme di Amerika. Tahun lalu, liputan yang dilakukan Spotlight difilmkan dan film itu sendiri memenangkan banyak penghargaan di dunia perfilman, termasuk best picture untuk piala Oscar 2016.

Walter V Robinson (Robby) adalah editor yang memimpin Spotlight selama tujuh tahun. Ia yang memimpin tim saat melakukan investigasi pelecehan seksual oleh pastor. Ia pun ikut mendapat Pulitzer. Seperti apa tim spotlight di balik layar? Berikut wawancara Wan Ulfa Nur Zuhra dari tirto.id dengan Robby yang bertemu akhir pekan lalu di Kathmandu.

Adakah hal penting tentang Spotlight yang tidak diceritakan dalam film?

Film Spotlight hanya mencakup pekerjaan tim selama lima bulan. Dan film itu sendiri hanya dua jam delapan menit. Jadi, ada banyak wawancara dan kerja-kerja yang kami lakukan untuk liputan pelecehan seksual oleh pastor Katolik itu tidak ada dalam film. But that's okay.

Satu hal besar dan penting yang tidak difilmkan dengan jelas adalah ketika kami membangun database kami sendiri tentang pastor-pastor yang melakukan pelecehan seksual kepada anak-anak. Yang tidak ditunjukkan adalah, kami mencoba mengulik sistem pengadilan. Kami menemui semua pengacara yang pernah menangani kasus pelecehan seksual, semua kasus, jadi bukan hanya yang melibatkan pastor saja. Lalu, kami menemukan 1.500 perkara pelecehan seksual di Boston.

Kami kemudian melihat perkara itu satu per satu, mencari perkara mana yang korbannya adalah anak-anak. Dan kami menemukan belasan kasus yang pelakunya adalah pastor yang sudah disidangkan dan itu terbuka untuk umum. Tetapi gereja mengamankan kasus tersebut dan para hakim, atas dasar permintaan gereja, menyegel berkas-berkas itu dari publik. Itu ilegal.

Pembuatan database itu adalah langkah penting dari temuan awal kami, dan kami menghabiskan banyak waktu untuk menyelesaikannya.

Satu hal lagi, film itu hanya fokus pada empat orang pertama yang memulai investigasi. Sutradara mengakhiri film itu di mana sebenarnya itu adalah awal bagi tim. Dan setelah itu, kami menambah empat reporter lain. Dan mereka tak mendapat credit dalam film. Mereka memang tidak terlibat dalam lima bulan pertama, tetapi jika saya salah satu dari mereka, saya akan sedikit kecewa. Tetapi ini bukan keputusan saya, ini keputusan para pembuat film.

Berapa lama proses pembuatan database itu kalian lakukan?

Di film, proses pembuatan database itu hanya sekitar dua menit, atau tampak seperti satu malam atau dua malam. Tapi sebenarnya, untuk mengerjakan database saja, kami menghabiskan waktu lebih dari tiga pekan. Karena sangat sulit untuk memeriksa satu-persatu.

Seberapa besar manfaat database itu bagi liputan yang Spotlight lakukan?

Itu sangat penting. Sebelum kami membuat database, kami hanya punya 13 nama. Dan kami berpikir, itu adalah persoalan besar. Setelah kami membuat database, kami mendapatkan setidaknya 90 nama. Dan sebenarnya ada 250, itu hanya di Boston. Jadi itu sangat penting, karena pelecehan seksual oleh pastor itu ternyata adalah persoalan besar.

Di akhir film, Anda mengatakan telah mendapatkan informasi itu dari Eric MacLeish (salah satu pengacara yang menjadi narasumber), tetapi kemudian hanya memuatnya di Metro. Mengapa?

Hal pertama adalah, adegan itu tidak terjadi di kehidupan nyata, itu drama yang ditambahkan oleh pembuat film. Sutradara berusaha menunjukkan bahwa Boston Globe telah memiliki petunjuk, tetapi melewatkannya. Itu seperti hal-hal yang kita tidak sadari. Karena cerita ini, delapan tahun sebelumnya telah dimuat di Metro, saat itu saya editor di Metro. Saat mengerjakan ini untuk Spotlight, saya bahkan lupa kalau kasus ini pernah dimuat di Metro. Tahun 2001, kami bahkan tak menemukan cerita itu. Jadi adegan ketika Sacha menunjukkan artikel kepada saya itu tidak benar-benar terjadi. Artikel itu ditemukan pada 2012, bukan oleh kami, tetapi oleh penulis skenario. Kami bahkan tidak ingat.

Ketika saya menjadi editor Metro, saya punya 80 reporter. Jadi bisa saja reporter yang mengerjakan liputan itu gagal mendapatkan cerita lebih dalam, dan menyerah. Saya tidak tahu persis.

Dalam film, ada adegan ketika Anda, secara implisit tampak seperti mengancam MacLeish dengan memberinya dua opsi liputan yang akan digarap Spotlight. Seperti apa yang sebenarnya terjadi?

Begini, pertama, kami memang melakukan liputan tentang pengacara dan kantor hukum yang mendapatkan banyak uang dengan menyembunyikan kasus pelecehan ini. Kami menerbitkan liputan itu tiga bulan kemudian.

Saya tak pernah secara eksplisit mengancam, dan itu bukan gaya saya. Saya hanya berusaha tegas agar ia mau buka mulut karena kami punya bukti kalau ia terlibat. Hanya saja, seringkali, secara implisit, itu tampak seperti ancaman. Tetapi setidaknya cara itu berhasil.

Yang tampak di film tentu sudah mendapat “sentuhan Hollywood”. Saya tidak mengancam, saya hanya memberinya pilihan. Dia yang menganggap itu ancaman. Dan saya melakukannya tak hanya pada McLeash, tetapi pada banyak pengacara yang terbukti terlibat.

Kami membutuhkan konfirmasi mereka tentang berapa pastor yang terlibat. Dan pada akhirnya mereka menyadari bahwa hal itu penting dibuka. Saya tak bermaksud sinis, tetapi beberapa dari mereka tentu tahu bahwa jika kasus ini dibuka ke publik, maka akan sangat banyak korban yang menggunakan jasa mereka. Secara finansial, ini jelas menguntungkan. Dan itu yang terjadi, ada sekitar 300 korban yang menggunakan jasa MacLeish setelah Boston mempublikasikan cerita itu. Itu bernilai jutaan dolar.

Lalu di akhir film, ada Jim Sullivan, pengacara yang memberi konfirmasi tentang nama-nama pastor yang terlibat. Seperti apa detail cerita sebenarnya?

Dalam film, sosok Jim Sullivan adalah substitusi dari lima pengacara yang didatangi Michael Keaton. Faktanya, Walter Robinson, saya, mendatangi lima pengacara berbeda yang menjadi kuasa hukum para pastor. Tetapi, mereka menggabungkannya dalam satu karakter.

Jadi, di dalam film, Jim Sullivan memberi konfirmasi sekitar 70 nama. Tetapi kenyataannya, saya punya teman baik yang dengannya saya sering main golf. Dia salah satu pengacara di kantor hukum Jim Sullivan juga. Dia memberi konfirmasi 30 dari 70 nama.

Percakapan antara Anda dan Peter Conley [seorang teman SMA yang dekat dengan Cardinal] di sebuah bar, apakah itu nyata?

Ya, kurang lebih seperti itu.

Lalu saat Peter mengatakan bahwa apa yang sedang diliput Spotlight adalah agenda sang pemimpin redaksi baru yang Yahudi, tidak menikah, tidak suka baseball, dan tidak berasal dari Boston, apa yang Anda pikirkan saat itu?

Yang saya pikirkan adalah, Peter tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Latar belakang Baron, pemimpin redaksi baru pun dibesar-besarkan, padahal tak ada relevansinya. Pete tidak mengerti tentang berapa banyak pastor yang melakukan pelecehan.

Peringatan-peringatan yang dilakukan Pete ini sering kami hadapi, juga mungkin wartawan pada umumnya. Ini semacam peringatan, “Kalau kau tulis tentang ini, reputasimu akan hancur” atau “Kalau kau tulis ini, kau mungkin akan dituntut dan berurusan dengan hukum”. Orang-orang besar tak menaruh perhatian dan tak akan gentar dengan ancaman-ancaman macam ini.

Setelah laporan pelecehan itu terbit di Globe, bagaimana reaksi gereja?

Mereka memiliki PR yang sangat buruk. Kau tahu, dalam film kami mencoba menghubungi mereka, tetapi mereka menolak memberikan penjelasan. Kami tak hanya mencobanya sekali. Tetapi beberapa kali. Satu kali, menjelang publikasi, saya menghubungi Donna [salah satu PR Cardinal], saya mengatakan, “Donna, bagaimana jika saya email kamu pertanyaannya?”. Lalu dia menjawab, “Kami bahkan tak pernah ingin tahu apa pertanyaan Globe.” Kalimat itu mengawali paragraf dari cerita.

Beberapa hari setelah laporan pertama terbit, Cardinal menggelar konferensi pers, dan mereka berbohong. Kami kemudian menulis dan membuktikan bahwa apa yang mereka katakan adalah kebohongan.

Tim Spotlight selalu merahasiakan apa yang sedang mereka kerjakan, termasuk dari rekan kerja mereka di desk lain. Begitu juga beberapa tim investigasi di media lain. Menurut Anda, seberapa penting hal itu dilakukan?

Kita tahu bahwa reporter di seluruh dunia adalah penggosip. Bayangkan jika seluruh reporter di redaksi mengetahui apa yang kami lakukan, berapa lama mereka bisa menyimpan itu sebelum media lain tahu? Itu mengapa kami selalu menjaga liputan kami sebagai rahasia. Hanya ada tiga editor di Globe yang mengetahui apa yang kami kerjakan.

Ada adegan yang menujukkan perdebatan antara Anda dan Mickael Rezendes [salah satu reporter Spotlight dengan nama panggilan Mike] tentang kapan laporan pelecehan seksual itu harus dipublikasikan. Apakah itu nyata? Mengapa Anda memutuskan untuk menahan sementara Mike ingin agar itu segera terbit?

Karena saya merasa ada banyak pekerjaan yang belum selesai dikerjakan. Mike punya catatan perkara yang dilakukan oleh satu orang pastor. Sementara kami punya petunjuk bahwa ini dilakukan oleh lebih banyak pastor. Kami perlu bukti lebih banyak. Perdebatan memang terjadi hampir setiap hari. Tidak hanya dalam pengerjaan laporan ini, tetapi laporan lainnya. Tentang kapan ini harus diterbitkan, apakah kami butuh liputan lebih lanjut, dan lain sebagainya.

Dan ketika perdebatan macam ini terjadi, hanya ada satu orang yang akan memenangkan argumentasi, orang itu adalah sang editor.

Bagaimana Anda menangani ego dari reporter dalam sebuah tim investigasi?

Saya yang membangun tim ini, dan membangunnya dengan dasar bahwa reporter yang baik adalah yang bisa mengatasi egonya. Beberapa reporter hanya mau bekerja sendiri dengan satu byline. Saya membentuk Spotlight tidak hanya berdasarkan pada reporter yang unggul secara pekerjaan, tetapi juga reporter yang bisa menurunkan ego dan bekerja bersama.

Saya memang pemimpin dalam tim dan harus membuat keputusan. Tetapi semua itu terjadi tentu karena saya lebih senior dan memiliki lebih banyak berpengalaman. Peran saya sebagai editor juga bukan hanya mengedit tulisan yang sudah ada. Saya turun tangan melakukan liputan, melakukan analisis untuk mempertajam laporan. Ya begitulah seharusnya seorang editor.

Apa standar yang Anda pakai untuk memilih siapa yang layak masuk dalam sebuah tim investigasi?

Saya butuh satu orang reporter yang memahami database dan mahir menggunakan berbagai tools database, jadi saya pilih Matty Carroll yang sangat lihai menggunakan spreadsheet dan mengolah data. Lalu saya ingin seorang reporter yang yang memiliki pengalaman meliput politik cukup baik. Ini karena investigasi kami seringkali melibatkan pemerintah. Itu sebabnya saya memilih Mike.

Kemudian, saya melihat seorang reporter muda, yang berusia sekitar 27 tahun bernama Sacha. Dia masih semuda Anda ketika saya merekrutnya. Yang menarik perhatian saya dari Sacha adalah ketika ia menulis satu berita 500 kata. Tidak begitu panjang, tetapi sangat kaya informasi dan semuanya penting. Lalu saya menyadari, dia adalah reporter yang sangat berharga. Dia juga memahami pengadilan dan pewawancara terbaik dalam tim. Anda bisa lihat dalam film, bagaimana Sacha mampu berempati dan mendapat banyak informasi dari para korban.

Apakah ada kecemburuan dari reporter lain di Globe terhadap tim Spotlight? Kau tahu, tim investigasi tentu tampak ekslusif dan tak punya deadline harian.

Spotlight sudah ada sejak 1970. Mereka yang masuk dalam tim selalu menghadapi rotasi, jadi tidak selamanya. Sacha hanya terlibat empat tahun, saya enam tahun. Yang terjadi bukanlah kecemburuan, tetapi memicu semangat para reporter untuk bisa pantas menjadi tim Spotlight.

Menurut Anda, Idealnya, berapa jumlah reporter dalam sebuah tim investigasi?

Saya pernah memiliki tiga reporter. Pernah empat reporter. Sekarang, Spotlight punya enam reporter. Tetapi mereka tidak bekerja pada satu projek yang sama. Jadi sebagian bekerja pada satu proyek liputan, sebagian mengerjakan liputan yang berbeda. Lama pengerjaan bervariasi. Bisa tiga bulan, tiga minggu, atau setahun, itu tergantung jenis liputan yang dikerjakan. Terlalu banyak orang dalam tim juga akan merepotkan. Dan satu hal yang paling penting adalah, beri mereka libur dua pekan setelah menyelesaikan liputan mendalam itu.

Tentang investigasi secara general.

Apa pendapat anda tentang undercover dalam investigasi? Bolehkan wartawan menyamar?

Beberapa jurnalis melakukan itu dengan alasan situasi yang sulit dan tidak memungkinkan mereka mengaku sebagai wartawan. Masalahnya adalah, ketika mereka menerbitkan laporan itu, mereka meminta pembaca untuk memercayai kredibilitas dan integritas mereka, bahwa mereka adalah penyampai kabar yang jujur, bahwa mereka bisa dipercaya, dan ketika mereka tidak jujur dalam mendapatkan informasi, pembaca bisa berpikir bahwa informasi itu tidak bisa dipercaya.

Jadi, secara general, di Amerika, baik itu di media swasta, pemerintah, ataupun asosiasi jurnalis, para wartawan tak dibenarkan melakukan itu. Itu memalukan.

Pernah ada liputan di Chicago tahun 1970 yang cukup terkenal tentang korupsi dan pungutan liar dari para pengawas kebersihan dan kelistrikan di kota itu kepada para pemilik restoran. The Mirage Scandal, begitu orang-orang mengenal laporan investigasi yang dilakukan Chicago Sun Time itu.

Tim investigasi ini membangun bar, dan mereka mengisi bar dengan para reporter. Jadi bartender dan pelayannya adalah reporter. Di beberapa sudut, tersembunyi fotografer beserta kameranya. Lalu para pengawas datang satu demi satu, dan terungkap semua pungutan liar itu. Itu cerita luar biasa yang memberikan dampak luar biasa. Banyak petugas kemudian ditindak dan masuk penjara. Tetapi Pulitzer tak menganggap liputan itu pantas mendapat penghargaan sebab mereka gagal jujur tentang identitas mereka untuk mendapatkan isi cerita itu.

Kita tahu Pulitzer adalah penghargaan tertinggi bagi jurnalis di Amerika dengan standar etika ketat dan disusun sejak 45 tahun lalu. Selain tak etis, menyamar atau merekam tanpa izin juga rentan terkena persoalan hukum. Di Amerika, merekam tanpa sepengetahuan dan izin narasumber dan kemudian hasil rekaman itu kau publikasikan, adalah melanggar hukum.

Di beberapa negara, itu legal. Tetapi meskipun legal, menurut saya itu tetap tak etis. Tim Spotlight selalu meminta izin jika ingin merekam, walaupun itu wawancara via telepon.

Bagaimana dengan sumber anonim? Seperti apa pengalaman Tim Spotlight berurusan dengan sumber anonim?

Kami punya banyak sumber anonim yang memberikan kami informasi. Tetapi hati-hati, sumber anonim bisa saja membawamu dalam masalah. Kami mematuhi syarat sumber anonim dan memegang teguh itu.

Kalau mereka punya informasi, pastikan mereka punya bukti dokumen. Terima saja dokumen itu, tetapi verifikasi ulang. Kami biasanya tegas kepada sumber-sumber anonim ini. Jika ia yang datang pada kami, kami akan bilang, “Cerita ini bisa kami publikasikan jika kau bisa dikutip dengan nama, jika tidak, kami tidak bisa menuliskannya.”

Jika dia tak memenuhi syarat sumber anonim, kami tak akan memuat pernyataan-pernyataan tanpa bukti dan data jika ia tak mau namanya dikutip.

Baca juga artikel terkait WAWANCARA atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti