Menuju konten utama

Ramai-ramai Mengejar Pajak Google

Google dikejar-kejar otoritas pajak di banyak negara, termasuk di negara asalnya, Amerika Serikat. Kejar-kejaran ini bukan hal baru, ia adalah lagu lama yang kembali didendangkan. Dan bukan hanya Google yang seharusnya dikejar.

Ramai-ramai Mengejar Pajak Google
Menkeu Sri Mulyani Indrawati bersama Seskab Pramono Anung memaparkan masalah kewajiban pajak Google Indonesia, di Jakarta. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma

tirto.id - Juli 2013 lalu, para menteri keuangan dari negara-negara anggota G20 bertemu di Moskow, Rusia. Upaya penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional menjadi satu hal penting yang dibahas dan diupayakan untuk diberantas.

Perusahaan-perusahaan teknologi asal Amerika Serikat, terutama perusahaan internet global (OTT) seperti Google menjadi sorotan. Mereka beroperasi di banyak negara, tetapi hanya membayar pajak di negara tertentu yang pungutan pajaknya kecil atau bahkan memindahkannya ke negara yang tak memungut pajak sama sekali.

Sejak 2008, Google telah mendirikan perusahaan di Bermuda, salah satu negara surga pajak. Dengan adanya perusahaan di Bermuda itu, Google memindahkan keuntungannya dan telah menghemat sekitar $1 miliar per tahun.

Menurut laporan Bloomberg, pada 2012, Google berhasil menghindari pembayaran pajak senilai $2 miliar dengan memindahkan $10 miliar pendapatan atau 80 persen dari laba sebelum pajaknya ke Bermuda.

Tahun ini, persoalan pajak Google kembali ramai dibicarakan dan diberitakan. Mei lalu, kantor Google di Paris digrebek tim penyidik pajak bersama kepolisian karena menolak melanggar pajak.

Sebelumnya, Pemerintah Perancis meminta Google membayar pajak beserta denda yang jumlahnya mencapai $1,12 miliar atau sekitar Rp15 triliun. Namun, permintaan itu tak direspons oleh Google.

Di Indonesia, Google juga terus dicecar. Google Indonesia dinilai mengemplang pajak sebab keberadaannya di Indonesia hanya bukanlah badan usaha tetap (BUT) sehingga belum menjadi wajib pajak.

Padahal, Indonesia adalah ladang bisnis Google. Menurut Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, pada 2015 transaksi bisnis periklanan di dunia digital mencapai $850 juta. Angka ini setara Rp11,6 triliun. Sebesar 70 persennya didominasi perusahaan internet global, Google satu di antaranya.

Google sudah memiliki kantor perwakilan di Indonesia sejak 2013. Ia bertempat di Sentral Senayan, Jakarta Selatan. Berdasarkan catatan Direktorat Jederal Pajak, ia telah terdaftar sebagai badan hukum dalam negeri dan merupakan dependent agent dari Google Asia Pacific Pte Ltd di Singapura. Pendaftaran tersebut tercatat sejak 15 September 2011 di KPP tanah Abang III dengan status penanaman modal asing (PMA).

Namun, saat Ditjen Pajak melayangkan surat untuk melakukan pemeriksaan, Google menolak. Bulan lalu, surat itu dikembalikan. Penolakan itu membuat Ditjen Pajak akan melakukan investigasi. “Ini merupakan indikasi adanya tindak pidana,” ujar M Haniv, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, Kamis (15/9) lalu.

Mengejar pajak dari Google memang bukan perkara mudah sebab statusnya yang bukan BUT tak mewajibkan Google membayar pajak di Indonesia. “Kami akan coba melakukan negosiasi agar mereka mau membayar pajak, terutama dari isu fairness atau keadilan, karena upaya ini berhasil di Inggris,” kata Haniv seperti dikutip dari Antara.

Selama ini, yang meraup pajak dari Google untuk operasinya di kawasan Asia Pasifik adalah Singapura. Ini karena pajak di Singapura memang terendah di Asia Tenggara. Pajak korporasi di Negeri Merlion itu hanya 17 persen. Bandingkan dengan Indonesia yang 25 persen. Pajak perorangan di Singapura juga jauh lebih rendah dari Indonesia.

Indonesia tentu tak terima sebab penghasilan Google jauh lebih banyak didapat di Indonesia dibandingkan Singapura. Pengguna akun Gmail, Youtube, atau Google+ juga lebih banyak di Indonesia dibandingkan dengan Singapura.

Selain Perancis dan Indonesia, negara lain yang juga mengejar dan menagih pajak dari Google adalah Inggris dan Italia. Inggris menagih pajak senilai $185 juta atau setara Rp2,43 triliun. Sedangkan Italia meminta pembayaran pajak sebesar $327 juta atau Rp4,2 triliun.

Akal-akalan menghindari pajak tak hanya dilakukan oleh Google. OTT asing lainnya juga tentu melakukan skema serupa, twitter dan facebook misalnya. Dua perusahaan ini juga memiliki pengguna bejibun di Indonesia dan meraup keuntungan dari iklan di Indonesia. Dari negara asalnya saja, Amerika Serikat, perusahaan-perusahaan ini berusaha menghindari pajak korporasi yang mencapai 35 persen. Caranya tentu dengan membuat perusahaan offshore di negara-negara surga pajak.

Ditjen Pajak menyatakan akan menjadikan OTT lain sebagai sasaran investigasi. Namun, pihaknya akan fokus ke Google terlebih dahulu.

Baca juga artikel terkait EKONOMI atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti