Menuju konten utama
18 Februari 2006

Ayatrohaedi, Arkeolog dan Linguis "Sandal Jepit" dari Jatiwangi

Adik sastrawan Ajip Rosidi ini menghabiskan sebagian besar usianya di kampus Universitas Indonesia. Ia dikenal sebagai sosok yang nyentrik.

Ayatrohaedi, Arkeolog dan Linguis
Ilustrasi Mozaik Ayatrohaedi. tirto.id/Sabit

tirto.id - "UI adalah dosen muda yang turun dari KRL, pagi-pagi, sehabis hujan, berjalan menghindari becek dan kena ceprot Toyota; adalah profesor yang pakai sendal; adalah mahasiswi yang repot ngurus rambutnya; adalah juru tik yang membuka amplop gaji dan isinya hanya bon."

Itu adalah baris pembuka puisi yang ditulis penyair sohor Sapardi Djoko Damono, termaktub dalam buku 40 Tahun UI: Menoleh ke Belakang Sambil Melangkah Maju (1990).

Konon, larik "profesor yang pakai sendal" merujuk pada sosok Ayatrohaedi, dosen nyentrik yang menghabiskan sebagian besar usianya di Departemen Arkeologi UI. Ya, kiprah Ayat di UI terbentang sejak 1959—tahun pertamanya sebagai mahasiswa jurusan Ilmu Purbakala dan Sejarah Kuna Indonesia—hingga 1 Januari 2005, tanggal ia resmi pensiun dengan jabatan terakhir Guru Besar Arkeologi.

Di lingkungan Fakultas Sastra UI—kini Fakultas Ilmu Budaya—Mang Ayat, sapaan akrabnya, dikenal sebagai sosok yang egaliter. Selain rutin mengenakan sandal jepit, yang belakangan ia ganti dengan sepatu sandal, Ayat juga tak sungkan ikut nimbrung dan kongko bersama mahasiswa maupun sivitas akademik lainnya, baik sesama dosen maupun karyawan biasa.

Di tengah hiruk kegiatan mahasiswa dan dosen, misalnya, ia bisa suntuk telentang membaca serial Api di Bukit Menoreh karangan SH Mintarja—kemudian melemparkan buku itu dan menggantinya dengan serial silat Khoo Ping Ho. Sementara saat berkumpul bersama pegawai rendahan, Ayat bakal anteng membicarakan sepakbola dan nomor togel.

Saking akrabnya dengan siapa pun, pernah dalam suatu riungan seorang mahasiswa menyuruh Ayat membeli rokok. Padahal, Ayat sudah berhenti merokok sejak 1977.

“Enteng saja, Mang Ayat pun pergi menjalankan suruhan mahasiswa itu. Belakangan, ketika mahasiswa itu tahu bahwa Mang Ayat adalah salah seorang guru besarnya, kontan ia minta maaf berulang-ulang. Mang Ayat dikiranya karyawan yang bisa disuruh-suruh seenaknya,” kenang Maman S.Mahayana.

Ayat lahir di Jatiwangi, Majalengka, pada 5 Desember 1939. Selepas menamatkan pendidikan di SMA Muhammadiyah Jakarta (1958), ia memutuskan untuk masuk Jurusan Purbakala karena terpikat oleh cerita-cerita Mang Olla, seorang guru Sejarah Kebudayaan Indonesia di SMA IPPI, Jakarta, yang juga tercatat sebagai mahasiswa Purbakala UI angkatan 1952.

Mang Olla dan Ayat, juga pelukis Nashar, memang pernah tinggal satu atap dan berbagi tempat tidur di bilangan Kramat Pulo, Jakarta Pusat, tepatnya di kediaman Ajip Rosidi, kakak kandung Ayatrohaedi.

“Saat itu, Nashar dan Mang Ayat kerap kedapatan mengorek-ngorek celengan si Emak,” kata Nundang Rundagi, putra ketiga Ajip Rosidi.

Meski tertarik untuk masuk jurusan Purbakala, setelah tes dilangsungkan Ayat justru tak berharap banyak bisa diterima. Pasalnya, alih-alih memberikan jawaban ilmiah soal mengapa Gajah Mada, Mahapatih Majapahit, dianggap pahlawan nasional dalam sejarah Indonesia, Ayat malah memberikan jawaban sekenanya—bahkan cenderung emosional sebab tersulut sentimen kedaerahan.

“Itu tidak benar! Berdasarkan apa yang dilakukan Gajah Mada terhadap berbagai daerah di Nusantara, sebenarnya Gajah Mada lebih layak disebut sebagai penjajah nasional. Sama sekali bukan pahlawan nasional,” tulis Ayat dalam memoarnya 65=67: Catatan Acak-acakan dan Cacatan Apa Adanya (2011).

Kecenderungan memberikan jawaban sekenanya itu—meski bukan berarti tanpa landasan—membuat Ayat kembali terheran-heran saat dirinya dinyatakan lolos mengikuti program penelitian di bidang kebahasaan yang ditaja pemerintah Indonesia dan Belanda via jalur pendidikan tinggi. Bagaimanapun, secara akademik Ayat adalah orang Arkeologi tulen, seorang widyapurbawan, meski punya minat terhadap bidang linguistik—atau widyabasa jika memakai istilah yang sering dipakai Ayat.

“Aku katakan saja, keikutsertaanku dalam seleksi itu kan hanya sekadar basa-basi agar bahasa Sunda sebagai bahasa daerah terbesar kedua di Indonesia, ada wakilnya untuk diseleksi. Bukankah sangat menggelikan, jika dari Batak ada calon, dari Banjar ada calon, dari Bugis ada calon, sementara dari Sunda tidak ada,” kata Ayat, selepas diwawancara A. Teeuw kemudian dikerumuni peserta lain yang umumnya menggeluti bahasa.

Kelak, keikutsertaan Ayat dalam program tersebut tak ubahnya batu pertama dalam kariernya di bidang linguistik. Pada 1978, Ayat meraih gelar Doktor Linguistik dari UI dengan disertasi bertajuk Bahasa Sunda di Cirebon: Sebuah Kajian Lokabahasa. Promotornya, Prof. Dr. Amran Halim, menyebut disertasi tersebut sebagai disertasi pertama di Asia Tenggara yang berkenaan dengan dialektologi.

“Sebenarnya, Ayatrohaedi ‘kan Arkeolog. Meskipun begitu, beliau sangat produktif menulis esai bahasa. Banyak esai bahasanya yang terbit di Kompas. Ketika beliau meninggal dan Kompas menerbitkan buku kumpulan esai bahasa Kompas, ada ucapan terima kasih khusus untuk Ayatrohaedi,” tutur Holy Adib, penulis buku Pendekar Bahasa (2019), saat dihubungi Tirto, Rabu (17/2).

Ucapan terima kasih khusus yang dimaksud Adib adalah obituari yang ditulis Salomo Simanungkalit dalam kumpulan 111 Kolom Bahasa Kompas (2006). Dalam tulisan berjudul “Mang Ayat dan Bahasa” itu, Salomo, redaktur rubrik Bahasa Kompas, menyebut Ayatrohaedi sebagai satu dari tiga munsyi yang rutin ia hubungi untuk dimintai tulisan.

Selain kerap mendapatkan pertanyaan kapan tulisan Ayat tayang lagi, tak jarang Salomo mendapat pertanyaan begini dari pembaca: “Setahu saya, Ayatrohaedi itu arkeolog, kok pembahasannya seperti datang dari seorang ahli bahasa, ya?”

Menurut Salomo, “Mang Ayat adalah kolumnis bahasa yang cermat dengan gaya tulis memikat. Ulasannya runtut ilmiah, tapi juga jenaka dan kadang nakal pula.”

Sebagai gambaran, dalam Inul Itu Diva? Kumpulan Kolom Bahasa Kompas (2003), Ayat menyumbang 16 tulisan. Lebih banyak ketimbang André Möller (2 tulisan), Anton M. Moeliono (3), Kees Bertens (3), Remy Sylado (8), dan Sudjoko (9).

Salah satu tulisan Ayat yang dikenang Salomo adalah “Waktu dan Jam” (Kompas, 29 Juni 2002). Di situ Ayat menyinggung kebiasaan pembawa acara atau pengamat siaran bola yang kerap menyapa penonton dengan ungkapan “selamat pagi”, sedangkan acara dimulai pukul 24.00. Ayat berpendapat, pembagian waktu berdasarkan jam terjadi pada pukul 12 malam. Berdasarkan waktu, peristiwa itu terjadi tengah malam.

“Karena pergantian hari terjadi tengah malam, tentulah harus diartikan bahwa tidak mungkin bila dua menit kemudian sebutannya sudah pagi,” terang Ayat.

Anggota Kehormatan Mapala UI, Pakar Bahasa Kuna

Memoar yang ditulis Ayatrohaedi, tebalnya 630 halaman ditambah sejumlah foto, menunjukkan betapa luas minatnya terhadap lingkup bahasa dan sastra, juga arkeologi dan seluk-beluk perkembangan Fakultas Sastra UI—entitas yang berkali-kali disebut Ayat sebagai “garba ilmiahku”.

Setelah Ayat kuliah dan Ajip pindah ke Sumedang, sang adik dititipkan di rumah M. Hasan Gayo, “kepala suku” orang Gayo di Jakarta. Keduanya terikat hubungan kekerabatan karena Widarsih, istri Hasan, adalah kakak kandung Fatimah Wirjadibrata, kakak ipar Ayat. Meski begitu, Ayat lebih banyak menghabiskan waktu di UI Salemba ketimbang di rumah saudaranya itu.

Pada masa-masa menggelandang di kampus itulah Ayat dan sejumlah temannya dari jurusan Sejarah serta jurusan Antropologi mendeklarasikan organisasi tanpa bentuk bernama Ikatan Umat Mahasiswa Gelandangan (Iumaga). Bertahun-tahun kemudian, seturut keterangan Ayat, Iumaga menginspirasi lahirnya Mapala UI.

Meski Ayat tidak tercatat sebagai anggota resmi Mapala—saat organisasi pecinta alam itu didirikan, Ayat bukan lagi mahasiswa—ia kerap diajak naik gunung oleh anggota Mapala. Pengalamannya mendaki Gunung Gede mengenakan sandal jepit, sarung, dan berpuasa, tak ayal membuatnya dijuluki “pendaki sejati” oleh anak-anak Mapala. Bahkan kedekatannya dengan Mapala UI membuat Ayat melewatkan salah satu peristiwa penting dalam hidupnya.

“Sesampainya di Bandung, aku diberi tahu bahwa anakku yang pertama, bayi perempuan, sudah lahir dengan selamat. Dua hari lebih awal dari perkiraan dokter. Perkiraan yang menyebabkan aku memenuhi ajakan kawan-kawan untuk berkemah di Ci Apus, dan yang menyebabkan aku terlambat menyambut kehadiran anak sulung itu,” catat Ayat.

Tampaknya, tulisan Ayat di bidang arkeologi (baik yang ilmiah maupun yang populer) lebih sedikit ketimbang tulisannya di bidang linguistik dan sastra. Meski begitu, kiprahnya di bidang tersebut tak bisa dilupakan begitu saja. Penelitian dan eksvakasi Candi Batujaya di Karawang—situs purbakala yang umurnya dianggap lebih tua daripada Candi Borobudur—dikerjakan Departemen Arkeologi UI kala Ayat menjadi ketuanya (1983-1987).

Semasa hidup, sebagaimana dicatat Maman S. Mahayana, Ayatrohaedi terbilang pribadi langka. Di samping keluasan ilmu dan keluwesan pergaulannya, sosok yang mendalami bidang dialektologi di Université Grenoble, Prancis (1975-1976) ini adalah satu dari lima orang Jawa Barat yang fasih membaca prasasti berbahasa Sunda Kuna.

Terkait itu, Lutfi Yondri, penulis buku Situs Gunung Padang: Kebudayaan, Manusia, dan Lingkungan (2017), punya kesan sendiri mengenai dosennya yang sering mengenakan peci tersebut.

“Berdasarkan kemampuannya membaca aksara kuna, Mang Ayat menjelaskan bahwa Gunung Padang dalam naskah-naskah Sunda buhun tidak merujuk kepada Gunung Padang yang di Cianjur, melainkan Gunung Padang yang di Ciamis,” papar Lutfi.

Peneliti Utama Balai Arkeologi Jawa Barat itu menambahkan, berbeda dengan sang kakak yang berpendapat bahwa situs Gunung Padang tak lain legenda belaka, Ayat justru meyakininya sebagai tinggalan arkeologi yang nyata. “Hal itu juga yang mendorong saya untuk meneliti situs Gunung Padang Cianjur secara ilmiah,” pungkas Lutfi.

Sebagai sastrawan, karya pertama Ayat dimuat dalam majalah berbahasa Sunda terbitan Bogor, Warga (1955). Selanjutnya, tulisan-tulisan Ayat berupa cerita pendek dan puisi menghiasai sejumlah media sekelas Tjerita, Siasat, dan Mimbar Indonesia, tiga majalah sastra yang sangat berpengaruh pada warsa 1950-an.

Kumpulan cerpen Ayat Hudjan Munggaran (1960) tercatat sebagai buku cerita pendek ketiga yang terbit dalam bahasa Sunda selepas Indonesia merdeka. Sedangkan karya terjemahannya, antara lain Puisi Negro: Sejemput Sajak Para Penyair Afrika dan Amerika Hitam (1970) serta novel Yukio Mishima Senandung Ombak (1976) tergolong karya klasik terbitan Budaya Jaya dan Pustaka Jaya.

Belum genap setahun duduk di bangku kuliah, Ayat yang memang sudah dikenal sebagai penulis sebelum menjadi mahasiswa ditugasi Nugroho Notosusanto untuk menyelenggarakan simposium sastra, salah satu mata acara pada Pekan Kesenian Mahasiswa 1960. Sedangkan setelah menjadi Guru Besar, bersama Sapardi Djoko Damono, rekan sesama dosen dan satu kompleks perumahan, Ayat kerap ditunjuk menjadi juri lomba baca puisi pada gelaran Agustusan.

“Meski skalanya lokal dan pesertanya anak-anak, jurinya sastrawan kaliber nasional,” kata Ayat.

Infografik Mozaik Ayatrohaedi

Infografik Mozaik Ayatrohaedi. tirto.id/Sabit

Hubungan Unik dengan Ajip

Dalam memoarnya, Ayat sangat terbuka menceritakan hubungannya dengan banyak nama, termasuk pertentangannya dengan sejumlah petinggi di lingkungan UI maupun Pusat Bahasa (kini Badan Bahasa). Namun untuk menjelaskan Ajip Rosidi sebagai kakaknya, Ayat baru memulainya pada halaman 604. Itu pun ringkas. Sebelum sampai pada bahasan yang amat personal itu, ia hanya menyebut pendiri Yayasan Rancagé tersebut sebagai abangku—tanpa menyebutkan nama lengkapnya.

Menurut Ayat, ia hampir tidak pernah memaparkan hubungannya dengan sang kakak kepada siapa pun karena “aku tidak termasuk orang yang suka bertengkar, apalagi dengan orang yang lebih tua, orang yang kuhormati, dan orang yang kusegani.”

Di mata Ayat, Ajip adalah sosok yang menganggap dirinya selalu benar, dan orang lain yang tak sejalan dengannya selalu berada di pihak yang salah. “Karena itu, daripada selalu disalahkan tanpa merasa salah, aku lebih memilih berhubungan dengan abangku sesedikit mungkin,” kata Ayat.

Ketika Ajip tinggal di Jepang dua dasawarsa lamanya, penyair Pabila dan Dimana (1976) ini hampir sama sekali tak tahu keadaan kakak seibu dan sebapaknya itu. Meski demikian, Titi Surti Nastiti, anak sulung Ajip yang juga berkarier di bidang Arkeologi, menjelaskan bahwa hubungan antara ayah dan pamannya baik-baik saja. Ajip juga sempat menjadi saksi saat Ayat melangsungkan pernikahan anaknya.

“Bahwa bapak saya terkesan dominan, itu wajar karena dia anak yang lebih besar. Dan menurut cerita nenek, dominasi bapak terhadap Mang Ayat memang sudah tampak sejak kecil. Jika Mang Ayat makan kemudian lauknya disisihkan, bapaklah yang menghabiskan,” ujar Titi, diiringi tawa, saat Tirto menghubunginya, Rabu (17/2).

Sebagai mahasiswa Arkeologi UI, Titi juga nyaris tidak berhubungan dengan Ayat. Alasannya, jika nilai kuliahnya bagus, khawatir dianggap buah nepotisme. Sedangkan bila nilainya buruk, berpotensi memancing komentar miring orang lain. “Masak keponakannya Ayatrohaedi dapat nilai begitu…”

Dalam soal kesehatan, kedua kakak beradik ini juga cenderung bertolak belakang. Jika Ajip amat percaya kepada dokter dan rutin keluar masuk rumah sakit bahkan sampai akhir hayatnya, Ayat justru sebaliknya.

“Mang Ayat meninggal di Sukabumi (sementara rumahnya di Depok) karena menghindari rumah sakit. Selain itu, menurut istrinya, Mang Ayat lebih memilih istirahat di Sukabumi karena bosan menjawab pertanyaan para pembesuk yang cenderung itu-itu saja,” sambung Titi, penulis Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna (2003).

Ayatrohaedi wafat pada 18 Februari 2006, hari ini 15 tahun lalu, dalam usia 67 tahun. Memoarnya yang diterbitkan Pustaka Jaya, ditulis di ruang kerjanya, diserahkan Jeffry Alkatiri kepada Ajip beberapa bulan setelah dosen serba bisa itu meninggal dunia. Ungkapan 65=67 yang menjadi tajuk memoar itu didasarkan pada usia Ayat (berdasarkan tarik masehi dan hijriyah) saat merampungkan tulisan tersebut.

“Di rumah, Mang Ayat memang cenderung sangat pendiam. Salah seorang kerabat bahkan pernah dibikin sakit hati oleh Mang Ayat karena jarang diajaknya bicara, sedangkan begitulah pembawaannya jika berada di tengah keluarga,” pungkas Titi.

Baca juga artikel terkait ARKEOLOG atau tulisan lainnya dari Zulkifli Songyanan

tirto.id - Humaniora
Penulis: Zulkifli Songyanan
Editor: Irfan Teguh