Menuju konten utama

Awan Mendung Bisnis Jaguar Land Rover

Jaguar Land Rover sempat digdaya setelah terpuruk. Sayang, dalam setahun terakhir, bayang-bayang kegagalan seolah menghantui perusahaan ini lagi.

Awan Mendung Bisnis Jaguar Land Rover
Land Rover Range Mobil Rover diparkir di Moscow-City. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Sebelum jatuh ke tangan Tata Motors, Jaguar dan Land Rover sudah berkali-kali pindah kepemilikan. Namun yang membuat kedua merek Inggris ini bersatu adalah Ford. Produsen mobil asal Amerika Serikat itu telah mengakuisisi Jaguar sejak 1989, sementara Land Rover baru bergabung tahun 2000, setelah sebelumnya diambilalih BMW dari British Aerospace.

Sayang, pada 2008, bisnis Ford berjalan kurang baik. Chief Executive and President Ford Motor Company Alan R. Mulaly kemudian menyatakan jika Jaguar dan Land Rover akan lebih berkembang di bawah pemilik baru mereka.

Maka, ketika Tata Motors, salah satu konglomerat asal India, bernegosiasi dengan nilai pembelian lebih dari yang diharapkan pasar, Ford memberikan lampu hijau. Mereka menyetujui penjualan Jaguar Land Rover (JLR) kepada Tata di harga 2,3 miliar dolar AS, demikian seperti dilansir dari The New York Times.

Usai resmi mengakuisisi jenama asal Inggris itu, Tata Motors berjanji akan menjaga identitas kedua merek dan tidak melakukan perubahan, seperti yang sudah dijaga selama bertahun-tahun. "Tata Group akan berusaha melestarikan dan membangun warisan dan daya saing dari kedua merek," kata Chairman of Tata Sons and Tata Motors Ratan N. Tata.

Kepemilikan JLR oleh Tata Motors sempat diragukan penggemar jenama asal Inggris ini. Tata dinilai tak memiliki pengalaman mengelola brand mobil mewah. Lebih buruk lagi, Tata tidak memiliki teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk mengimbangi pengembangan produk-produk Jaguar Land Rover.

Terlebih, ada kekhawatiran di antara publik Inggris bahwa JLR akan runtuh, jika berkaca dari pengalaman MG Rover yang dijual ke Nanjing Automobile pada 2005. Menjual JLR ke Tata sama saja memberikan pukulan bagi rakyat Inggris.

Masa 18 bulan pertama JLR di bawah Tata merupakan masa yang sulit. Krisis ekonomi global yang terjadi pada 2008 tidak hanya menghambat penjualan mobil, tapi juga akses JLR ke kredit.

Di bawah Tata, JLR untuk pertama kalinya bertanggung jawab atas uangnya sendiri, dan sebagai perusahaan baru tentu mereka butuh banyak sekali uang. Prospek JLR menjadi tampak suram ketika tidak bisa menegosiasikan kesepakatan yang cocok untuk akses ke kredit.

Mengutip dari Auto News, JLR mencatat kerugian sekitar 540 juta dolar AS pada tahun fiskal 2008–2009. Situasi ini memaksa Tata untuk menyuntikkan dana lebih dari 1,2 miliar dolar AS ke JLR.

"Itu benar-benar waktu yang sulit, resesi paling sulit dalam ingatan manusia. Saat kami mulai mengembangkan strategi kami, Ratan Tata berkata, 'terus jalan', dan dia memberi kami sumber daya untuk melakukannya," cerita CEO JLR Ralf Speth, masih dari Auto News.

Dari Buntung Jadi Untung

Sepuluh tahun sejak pindah kepemilikan, JLR akhirnya berhasil melampaui harapan banyak orang. Kehidupan di bawah Tata Motors terbukti sangat berbeda. Kesepakatan penjualan JLR pada 2008 disebut telah menjadi kemenangan tidak hanya bagi Tata, namun juga bagi JLR, dan bahkan untuk Ford.

Penjualan JLR secara global dari 2008–2017 disebut meningkat 146 persen, dari 252.036 kendaraan menjadi 621.109 kendaraan. Selama delapan tahun berturut-turut perusahaan juga meraih keuntungan sebesar 15,9 miliar dolar AS.

JLR juga menjadi produsen kendaraan terbesar di Britania Raya dengan mempekerjakan lebih dari 19.000 pekerja di empat pabrik dan dua kantor utama. Model Range Rover, sementara itu, menjadi kendaraan mewah yang paling banyak diekspor. Model ini mewakili 85 persen dari semua mobil mewah yang diproduksi Inggris pada 2016.

Kedua merek Inggris ini juga masih menggunakan beberapa komponen mesin dan bodi dari Ford. Kontribusi ini menjaga pabrik-pabrik Ford di Eropa dalam memaksimalkan kapasitas produksi sekaligus memberi kesempatan pabrikan asal AS ini memperoleh kembali keuntungan yang diinvestasikan pada Jaguar dan Land Rover selama bertahun-tahun.

Di bawah kepemilikan Tata Motors, JLR juga berhasil menambah fasilitas produksi. Dari sebelumnya tiga pabrik pada 2008, menjadi delapan pabrik sampai 2018. Sebanyak lima pabrik berlokasi di Inggris, sisanya ada di Cina, Brazil, dan Slovakia.

Kombinasi dari pengambilan keputusan manajemen yang cepat, serta desain produk yang selaras dengan selera konsumen yang percaya penuh pada kepemimpinan JLR menjadi faktor berhasilnya Tata Motors selama mengelola Jaguar dan Land Rover.

Dalam 10 tahun pertamanya, keberhasilan JLR, misalnya, didukung oleh kader manajerial tingkat pertama yang dilatih Ford dan BMW. Sementara terkait strategi bisnis, masih dari Auto News, Ralf, berujar bahwa JLR berkomitmen meningkatkan penjualan tahunan menjadi 1 juta kendaraan. Meski begitu, ia menekankan pada capaian profit ketimbang mengejar volume penjualan.

"Kami harus memastikan bahwa kami sangat menguntungkan. Ini bukan jumlah volume, tapi merupakan jalan ke depan untuk mempertahankan pertumbuhan," kata Speth.

Kembali ke Masa Sulit?

Meski mendapat raihan positif selama 10 tahun, bisnis JLR di bawah Tata disebut masih mengkhawatirkan. Ini setidaknya tampak ketika dalam satu tahun terakhir, Jaguar Land Rover mendadak menjadi beban bagi Tata Motors.

Pada 2018, JLR menerima kerugian terbesar dalam sejarah perusahaan. The Guardian melaporkan pabrikan asal Inggris itu merugi sekitar 3,6 miliar paun atau sekitar 4,5 miliar dolar AS. Ada sejumlah faktor yang menyebabkan situasi ini terjadi.

Pertama, melemahnya pasar Cina yang merupakan salah satu pasar utama perusahaan. Kedua, jatuhnya penjualan mobil diesel. Ketiga, adanya ketidakpastian terkait Brexit. Dampaknya, perusahaan tersebut mengumumkan rencana untuk memangkas 4.500 karyawan tahun ini dan berencana menghemat anggaran sebanyak 1,25 miliar paun atau setara 1,5 miliar dolar AS.

Infografik Perjalanan Jaguar Land Rover

Infografik Perjalanan Jaguar Land Rover. tirto.id/Nadya

Sebagai salah satu pasar otomotif terbesar, penjualan di Cina mendapat porsi yang lumayan buat pabrikan. Pakar otomotif dari Manchester Business School Prof Karel Williams, berujar JLR harus merevisi target penjualan untuk mengurangi biaya operasional.

"Pasar Cina jelas merupakan masalah dan di semua pasar mereka yang lain mereka menghadapi peningkatan persaingan di segmen SUV," ungkapnya.

Selain kalah bersaing di segmen SUV, Karel juga mengatakan JLR punya tugas sulit mengelola transisi ke kendaraan listrik. Pabrikan asal Inggris ini dinilai masih meratapi kegagalan usai jatuhnya penjualan mobil diesel.

"Cina akan mencoba untuk secara serius pindah ke mobil listrik, dan pabrikan Jerman tidak akan dengan mudah menyerahkan posisi mereka sebagai 'penakluk' selama 30 tahun terakhir,” kata Williams.

Laporan Bloomberg juga menyebutkan, di Cina, JLR tidak hanya memiliki masalah dengan jaringan distribusi, tetapi harga mobil mereka di sana disebut terlalu mahal untuk model sekelasnya.

Professor dari Aston Business School, David Bailey berujar, jika situasinya terus demikian, JLR akan sulit bersaing karena segmen kendaraan ini diisi oleh kompetitor yang lebih kuat. "JLR juga mencoba bersaing secara langsung dengan BMW di setiap segmen, yang merupakan hal yang mustahil. Di Cina, BMW empat kali lebih besar," tuturnya.

Perubahan peta bisnis di beberapa pasar terbesar membuat Jaguar Land Rover harus menyesuaikan kembali strategi mereka. Menilik sejarahnya yang selalu berpindah kepemilikan, akankah pabrikan asal Inggris ini akan kembali dijual di waktu mendatang?

Baca juga artikel terkait INDUSTRI OTOMOTIF atau tulisan lainnya dari Dio Dananjaya

tirto.id - Otomotif
Penulis: Dio Dananjaya
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara