Menuju konten utama

Awal Mula Ambisi Preman Masuk Politik: Zaman Pergerakan & Revolusi

Ketika tekanan kolonial semakin berat, para preman merapat ke kubu kaum nasionalis. Di masa Revolusi mereka berambisi masuk struktur politik.

Awal Mula Ambisi Preman Masuk Politik: Zaman Pergerakan & Revolusi
Ilustrasi preman yang terlibat dalam Revolusi Indonesia. tirto.id/Lugas

tirto.id - Pada paruh pertama abad ke-20 para jago di Batavia semakin tersingkir. Dengan semakin kuatnya birokrasi kolonial dan modernisasi kepolisian, peran mereka sebagai centeng di kampung-kampung Ommelanden kian tak relevan. Citra positif mereka juga semakin luntur: menjadi sekadar pelanggar hukum.

Perampokan, kegiatan lain mereka, juga semakin sulit dilakukan. Dengan transportasi baru dan infrastruktur modern, para polisi jadi lebih mudah dan cepat meringkus mereka. Karena itu pula ruang gerak mereka jadi makin terbatas di kampung-kampung yang lebih pelosok.

Terlebih para jago kini tak hanya harus berjibaku dengan polisi, tapi juga korps Marsose yang lebih ganas. Para Marsose, yang terlatih dalam Perang Aceh, sangat piawai menyamar, membaur, dan bicara dalam bahasa yang sama dengan para jago itu. Dengan metode-metode tersebut, mereka lebih efektif menekan ruang gerak para jago dan bandit.

“Mereka pertama kali ditempatkan di Batavia pada 1916. Marsose ditempatkan untuk menyapu satu wilayah dan memastikan wilayah itu bersih dari gerombolan kriminal dan kelompok bersenjata yang menentang kekuasaan Belanda,” tulis Robert Cribb dalam Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta (2010: 41).

Risiko yang besar itu pun semakin tak sepadan dengan hasil yang diperoleh dari penggarongan. Menurut Margreet van Till dalam Batavia Kala Malam: Polisi, Bandit, dan Senjata Api (2018), hasil dari perampokan dan pembegalan juga tak lagi menggiurkan seperti tahun-tahun sebelumnya. Bank mulai dikenal luas dan warga berduit Batavia kini lebih sering menyimpan uang mereka di sana daripada di rumah.

“Ada suatu ketenangan yang relatif sehubungan serangan perampok antara 1920 dan Perang Dunia II,” tulis Van Till (hlm. 221).

Meskipun demikian para jago masih bisa bertahan berkat koneksi mereka dengan para pengusaha dan aparat kolonial. Mereka mungkin tak bisa lagi bebas jadi centeng, tapi mereka masih menjadi pemasok kuli dan pekerja rendahan. Umumnya para pekerja itu disalurkan ke pelabuhan, pekerjaan fasilitas umum, atau bidang jasa.

Toh mereka masih tetap terhubung dengan dunia hitam. Di bawah tanah, mereka masih dipercaya sebagai tenaga keamanan dan bermain-main dalam bisnis penyelundupan. Maka terciptalah relasi baru di antara pengusaha atau aparat dengan para jago di bawah tanah.

Ian Douglas Wilson dalam buku terbarunya, Politik Jatah Preman (2018: 23), menengarai relasi ini sebagai biang munculnya sebutan vrijman alias preman yang dipersepsikan sebagai pengusaha kekerasan swasta. Para preman ini bekerja di wilayah abu-abu, di dalam sekaligus di luar hukum.

Di saat yang sama, kekuatan lain muncul ke permukaan masyarakat kolonial. Asalnya dari para elite bumiputra terdidik yang berorganisasi dan kemudian mengembangkan tujuan politik: kaum pergerakan nasionalis Indonesia. Mereka ini rupanya menyadari potensi revolusioner, pengaruh, dan jejaring para preman di antara rakyat kecil.

Sekali lagi, para preman menemukan kembali ruang gerak baru untuk bertahan hidup.

Preman dan Pergerakan Nasional

Punya relasi dengan organisasi pergerakan membuat para preman kota mendekat pada politik. Mereka kini bersisian dan berbagi peran sebagai penantang dominasi politik dan ekonomi kolonial. Peran macam ini setidaknya mulai muncul sejak 1913 kala cabang Sarekat Islam (SI) berdiri di Batavia.

Aktivis-aktivis SI giat menyerukan perlawanan terhadap eksploitasi di tanah-tanah partikelir. Pemogokan dan protes atas upah rendah adalah sebagian dari gerakan rutin SI Batavia. Dalam aksi-aksi itu, para preman berperan jadi pelindung dari serangan centeng-centeng sewaan para tuan tanah.

“Meskipun program-program Sarekat Islam mulai membawa dunia hitam Jakarta secara politik jauh dari sempurna, namun Sarekat Islam mulai membawa dunia hitam Jakarta dalam perlawanan nasionalis terhadap kekuasaan kolonial Belanda,” tulis Robert Cribb (hlm. 39).

Cara-cara macam ini juga dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebagai partainya orang proletar, mereka ingin membangun basis dukungan dari buruh di Batavia. Namun Batavia saat itu bukanlah kota industri, sehingga agak sulit mengembangkan serikat buruh.

Sadar akan kekurangan itu, PKI mengalihkan usahanya untuk menjalin kontak dengan dunia hitam Batavia. Alimin, misalnya, diketahui menjalin kontak dengan kelompok-kelompok jawara Banten. Selain jadi pelindung aksi-aksi partai dari bandit-bandit sewaan penguasa kolonial, mereka juga berguna sebagai pengumpul massa.

“Mereka menyediakan dukungan akses jaringan kepada cabang-cabang lokal, informasi dan perlindungan yang tidak dapat diciptakan dengan mudah oleh partai sendiri. Gerombolan bandit juga menyediakan badan organisasi yang dinamis dan sekumpulan pendukung yang penuh semangat serta tidak mudah diintimidasi penguasa kolonial,” tulis Robert Cribb (hlm. 40).

Sebagian dari massa PKI yang berontak pada 1926 di Batavia berasal dari gerombolan preman itu. Usai pemberontakan yang gagal total tersebut, PKI dilarang dan preman-preman pendukungnya tiarap. Tapi nyatanya itu hanya sementara. Pada dekade 1930-an mereka terlibat lagi dalam pergerakan nasional, kali ini dengan partai-partai yang lebih moderat.

Preman dan Revolusi

Setelah melalui masa-masa “tenang” pada dekade 1920-an dan 1930-an, secara mendadak Hindia Belanda terguncang oleh serangan Jepang pada 1942. Jerome Tadie dalam Wilayah Kekerasan di Jakarta (2009) menyebut di masa krisis ini tiba-tiba saja gerombolan-gerombolan preman yang sebelumnya ditertibkan kembali memanfaatkan situasi. Mereka bercampur-baur dengan rakyat yang selama puluhan tahun terkungkung kolonialisme dan terlibat dalam gelombang pemberontakan dan penjarahan. Tak hanya di Batavia, kekacauan ini juga meluas hampir di seluruh negeri yang menyasar aset-aset orang Eropa dan Tionghoa.

“Kepala kelompok preman dapat memanfaatkan masa transisi itu untuk membersihkan diri. Setelah ketertiban kembali, preman hanya mempunyai peran di pasar gelap, di sini mereka berhasil memperoleh keuntungan besar berkat jejaringnya,” tulis Jerome Tadie (hlm. 235).

Namun, Van Till dalam risetnya (hlm. 223) mengamati bahwa para preman dan bandit yang mengemuka selama masa pendudukan dan kemudian ikut revolusi agaknya adalah generasi baru. Indikasinya adalah “cara kerja” mereka yang berbeda. Preman dan bandit di masa perang disebutnya lebih brutal dan sporadis.

Sementara itu, menurut Cribb, keadaan di masa pendudukan Jepang seakan-akan kembali seperti masa prakolonial. Banyak pemimpin gerombolan preman diangkat jadi polisi lokal untuk menjaga ketertiban. Sementara itu para preman kecil bersama para pemuda direkrut masuk Keibodan dan Seinendan. Di sinilah mereka mendapat pengalaman paramiliter dan sedikit wawasan perang.

“Ketika perang mulai berakhir mereka merekrut para penjahat pilihan di wilayah Jakarta sebagai pasukan perang gerilya melawan tentara Sekutu yang menginvasi Jawa. Gerombolan penjahat dengan senang hati menerima status dan perlindungan tak langsung yang diberikan oleh sponsor resmi tersebut,” tulis Cribb (hlm. 53).

Setelah Jepang kalah dan Indonesia merdeka pada 1945, relasi yang terjalin di antara tokoh pergerakan dan preman mulai menampakkan keuntungan yang nyata. Para pemimpin preman melihat peluang nyata untuk “naik kelas”. Mereka bukan lagi sekadar pasukan perlawanan, tapi juga berambisi masuk dalam struktur politik dan pemerintahan negeri yang baru lahir itu.

Infografik HL Indepth Preman Nasional

Infografik HL Indepth Preman Revolusi. tirto.id/Lugas

Firman Lubis dalam memoar Jakarta 1950-an: Kenangan Semasa Remaja (2008) menyebut masa awal kemerdekaan itu sebagai zaman penggedoran. Di mana-mana di Jakarta terjadi penjarahan dan perampokan. Lagi-lagi yang jadi sasaran adalah orang Eropa dan Cina. Tak jarang dalam gedoran itu terjadi pemerkosaan, kekerasan, hingga pembunuhan.

Zaman itu juga ditandai dengan berdirinya sejumlah laskar rakyat. Mereka jelas bukan tentara pemerintah. Siapa pun bisa ikut, mau preman atau pemuda biasa, asal mau maju perang.

“Siapa pun dapat mendirikan lasykar atau barisan rakyat waktu itu, yang penting mempunyai jiwa pemimpin, nyali besar, dan kharisma. Mereka kemudian mengangkat dirinya sebagai komandan, atau semacam warlord,” tulis Firman (hlm. 50).

Di antara tokoh-tokoh dari dunia preman yang muncul ke permukaan saat revolusi adalah penguasa Pasar Senen, Imam Sjafei, dan orang kuat Klender, Haji Darip.

Imam Sjafei atau dikenal luas sebagai Bang Pi’i sebenarnya sudah tampil sebagai pemimpin geng preman Pasar Senen sejak sebelum Jepang datang. Di masa mudanya ia membikin Perkumpulan 4 Sen yang menghimpun para preman, pedagang kecil, hingga buruh pelabuhan Tanjung Priok.

Kabarnya ia sempat mengobarkan kampanye anti-Belanda tapi kemudian ditangkap. Di masa pendudukan Jepang ia membikin lagi perkumpulan yang dinamai Oesaha Pemoeda Indonesia (OPI). Pada bulan-bulan awal kemerdekaan ia ikut mendukung Barisan Rakyat (BARA) yang dipimpin pemuda nasionalis Maruto Nitimihardjo, Syamsuddin Can, Sidik Kertapati, dan M.H. Lukman. BARA aktif mengedukasi dan memobilisasi massa di Jakarta sebelah timur.

Tadie mencatat Bang Pi’i dan OPI juga menjalin afiliasi dengan Angkatan Pemuda Indonesia (API). Bang Pi’i lalu masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan bertempur di beberapa front. Ia berhasil membujuk anak buahnya dari kalangan preman untuk masuk tentara dan membentuk Resimen Perjuangan.

“Kemudian, ia berperan serta dalam pemadaman revolusi komunis di Madiun pada 1948, dengan semangat tanpa tandingan karena tidak takut mati, dan melakukan gerilya sampai ke Jakarta dari Karawang. Ketika perang berakhir, ia menjadi anggota TNI berpangkat kapten,” tulis Tadie (hlm. 238).

Sementara itu Haji Darip adalah gembong jago yang berhasil memanfaatkan kekosongan kekuasaan setelah Jepang pergi dan lalu jadi pemimpin di daerahnya. Mulanya ia dikenal sebagai pemuka agama dan dianggap punya ilmu kebal. Saat revolusi berkecamuk ia membentuk Barisan Rakyat Indonesia.

Tadie (hlm. 237) menyebut dengan Barisan Rakyat Indonesia itulah Haji Darip menguasai apa yang disebutnya sebagai “tanah perdikan”. Wilayahnya cukup luas, membentang dari Klender di selatan hingga Pulogadung di utara dan dari Jatinegara di barat sampai Bekasi di timur. Di wilayah itu, Haji Darip memungut upeti dari setiap orang yang melintas.

“Ia berhasil memadukan kriminalitas dan patriotisme hanya dengan menjarah orang-orang yang berkulit terlalu terang (Cina, Eurasia dan Eropa) atau terlalu gelap (Ambon dan Timor). Orang yang beruntung memiliki kulit berwarna hanya membayar setara dua gulden dengan mata uang pendudukan Jepang dan memekikkan ‘merdeka’ untuk bisa lewat jalan itu,” tulis Cribb (hlm. 68).

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Ivan Aulia Ahsan