Menuju konten utama

Australia Day adalah Sejarah Invasi Kulit Putih atas Aborigin

Bagi orang Aborigin, Australia Day adalah perayaan atas kolonialisme. Mereka menyebutnya Invasion Day.

Australia Day adalah Sejarah Invasi Kulit Putih atas Aborigin
Sekelompok orang mengibarkan bendera Australia. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Sekitar 600 demonstran sudah berkumpul sejak pukul 05.30 di Kings Domain Resting Place, Linlithgow Avenue, Melbourne bertepatan dengan perayaan Australia Day pada 26 Januari 2019. Bila mayoritas masyarakat Australia menjadikan Australia Day sebagai momen perayaan dan pesta, maka tidak untuk ke-600 orang ini.

Bagi mereka dan ribuan orang lain, Australia Day cuma justifikasi atas kesewenang-wenangan yang telah dilakukan pemerintah terhadap penduduk lokal, yakni suku Aborigin dan Torres Strait Islander. Perayaan itu juga dianggap hanya mempertontonkan kesenjangan sosial, melanggengkan marjinalisasi, dan menyimpang dari nilai kemanusiaan.

Laporan Guardian (17/7/2018) menunjukkan anak-anak Aborigin 25 kali lebih rentan untuk dikirim ke penjara anak-anak dibandingkan anak-anak non-Aborigin. Statistik juga memperlihatkan tingkat kematian anak-anak Aborigin dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan non-Aborigin. Diskriminasi dalam pelayanan kesehatan membuat penduduk Aborigin berumur 10 tahun lebih pendek ketimbang penduduk non-Aborigin.

Di Kings Domain Resting Place, dimakamkan 38 jasad orang Aborigin yang sebelumnya dijadikan koleksi museum maupun pribadi. Secara simbolis, jasad tersebut merupakan representasi atas seluruh suku Aborigin yang ada di Victoria. Upacara pun dilakukan di dekat kuburan mereka sebagai wujud penghormatan terhadap orang-orang Aborigin yang telah mengorbankan nyawa dalam menentang rasisme dan kolonialisme di Australia.

The Founding of Australia

Sketsa berjudul “The Founding of Australia” karya Algernon Talmadge. FOTO/New England Regional Art Museum

Diperkirakan 675.000 orang Aborigin menjadi korban sejak pendaratan orang kulit putih pertama di Australia pada 1778 hingga pembantaian Coniston yang menewaskan puluhan orang pada 1928.

Selanjutnya, massa bergerak menuju Parliament House di Spring Street, guna membaurkan diri dengan ribuan massa lainnya, yang datang dari berbagai negara dan suku bangsa. Tepat pada pukul 10.30, para demonstran bergerak menuju Bourke Street, Swanston Street, dan Flinders Street. Ketiga jalan tersebut merupakan jantung Kota Melbourne.

Menariknya, aktivitas ekonomi tetap berlangsung seperti biasa, berbarengan dengan demonstrasi. Namun kendaraan tidak diperkenankan melintas. Bis dan tram juga dialihkan melewati jalur lain.

Mayoritas demonstran mengenakan baju hitam dengan sablonan bendera Aborigin merah-hitam-kuning di tengah. Puluhan ribu bendera Aborigin dibentangkan dan dikibarkan di arena demonstrasi. Para demonstran meneriakkan yel-yel “Always was, Always will be Aboriginal Land.” Banyak juga yang membawa spanduk dan poster bertuliskan “No Pride in Genocide.”

Itulah bentuk protes maksimal yang bisa dilakukan orang-orang Aborigin terhadap perayaan Australia Day, yang mereka anggap dilakukan di atas darah orang-orang Aborigin dan Torres Strait Islander. Tema besar gerakan tahun ini adalah menuntut dihapuskannya Australia Day.

Merayakan Invasi

Perayaan Australia Day dilakukan setiap 26 Januari di seluruh Australia. Tanggal 26 sengaja dipilih, bertepatan dengan mendaratnya 11 kapal Inggris di Port Jackson (kelak dikenal sebagai Sydney Cove), New South Wales, pada 1788. Kesebelas kapal tersebut dikirim oleh Captain Arthur Philip yang ditunjuk pemerintah Inggris untuk mendirikan koloni baru di wilayah tersebut.

Sekitar 1.400 orang, sebagian besar merupakan tahanan dan kriminal, turut serta dalam pelayaran itu. Perjalanan memakan waktu lebih dari 8 bulan. Selama perjalanan armada ini sempat beberapa kali singgah di Tenerife, Rio de Janeiro, dan Cape Town.

Setibanya di Port Jackson, seperti dicatat Alan Frost dalam The First Fleet: The Real Story (2012), bendera Union Jack pun dikibarkan, sebagai penanda bahwa daerah tersebut "resmi" mereka anggap sebagai koloni. Padahal saat itu sudah ada penduduk lokal yang mendiami wilayah tersebut.

Perayaan besar-besaran pun mulai dilakukan. Awalnya, peristiwa tersebut dinamakan First Landing Day. Namun pada 1888 perwakilan dari Tasmania, Victoria, Queensland, Western Australia, South Australia, dan New Zealand bersepakat untuk bergabung dalam sebuah negara yang kemudian dinamakan Australia. Momentum tersebut kemudian diperingati sebagai Anniversary Day atau Foundation Day.

Baru pada 1935, istilah Australia Day mulai digunakan secara serentak di seluruh negara bagian Australia. Sementara itu, karnaval dan parade besar-besaran baru mulai diadakan sejak 26 Januari 1994.

Bagi kaum Aborigin dan Torres Strait Islander, perayaan Australia Day justru dianggap sebagai hari ketika tanah mereka dirampas dan kemerdekaan mereka direnggut. Pada 1938, Aborigines Progressive Association di bawah pimpinan Jack Patten mendeklarasikan Australia Day sebagai Day of Mourning and Protest. Lebih dari 100 orang berkumpul di jantung Kota Sydney, mengecam perayaan Australia Day yang saat itu sudah berumur 150 tahun.

Demonstrasi Sydney Town Hall

Para demonstran yang berkumpul di depan Town Hall Sydney pada 26 Januari 1938, guna menuntut hak penuh mereka sebagai warga negara. FOTO/State Library of New South Wales

Dalam orasinya, seperti dikutip The Australian Abo Call (No. 1, April 1938), Jack Patten menyerukan: "Pada hari ini, kaum kulit putih berpesta, tetapi kami kaum Aborigin tidak memiliki alasan untuk merayakan 150 tahun Australia [...] Tanah ini merupakan tanah leluhur kami 150 tahun lalu, tetapi kini kami semakin dipukul mundur ke belakang [...] Kaum kulit putih berpura-pura bahwa kaum Aborigin adalah kaum rendahan yang tidak dapat diperbaiki. Jawaban kami untuk stereotip itu adalah 'Beri kami kesempatan!' [...] Kami menuntut hak penuh sebagai warga negara."

Demonstrasi tersebut menjadi salah satu gerakan mula-mula yang dengan berani dan lantang menyuarakan nasib golongan Aborigin yang tertindas. Hampir tiga dasawarsa kemudian, pada 1967, perubahan kecil baru dirasakan kaum Aborigin. Pemerintah Australia di bawah Perdana Menteri Harold Holt mengamandemen Pasal 51 dan Pasal 127 dalam konstitusi Australia. Sebelumnya, pasal ini mendiskreditkan kaum Aborigin dalam kehidupan bernegara.

Sejak demonstrasi 1938, terminologi Invasion Day atau Survival Day pun mulai berkumandang. Terminologi tersebut bahkan terus-menerus digaungkan pada demonstrasi saat ini. Dalam perayaan 200 tahun Australia Day pada 1988, sekitar 40.000 orang dari segala golongan tumpah ruah di jalanan Kota Sydney. Mereka menuntut pemerintah untuk memperbaiki nasib golongan Aborigin.

Para demonstran juga menyinggung isu kepemilikan tanah penduduk Aborigin. Tanah mereka terus-menerus dirampas pemerintah Australia sejak 1788. Aktivis Gary Foley mendeskripsikan demonstrasi tersebut sebagai suatu peristiwa di mana kaum kulit hitam dan kulit putih Australia bersatu dalam harmoni. Mereka sama-sama berjuang bagi terwujudnya kesetaraan di Australia, tanpa terkecuali.

Poster Aborigin

Poster yang berisi seruan kepada penduduk Aborigin untuk memprotes perayaan ‘Australia Day’ pada 26Januari 1938. FOTO/Australian Institute of Aboriginal and Torres Strait Islander Studies

Gerakan lebih masif mulai menjalar ke kota-kota lain, terutama sejak 21 Juni 2007. Saat itu pemerintahan John Howard melakukan intervensi di Northern Territory dengan dalih "melindungi anak-anak Aborigin dari kekerasan seksual dan fisik." Melalui intervensi tersebut, pemerintah Australia berhak mengambilalih tanah milik Aborigin selama lima tahun. Akibatnya, banyak penduduk lokal terpaksa meninggalkan tanah mereka.

Lebih parah lagi, Howard menjustifikasi kebijakan tersebut dengan menggambarkan suku Aborigin sebagai golongan yang lemah, baik secara ekonomi maupun sosial. Karena itu, bagi Howard, intervensi memang harus dilakukan guna memperbaiki kondisi mereka.

Sejak dilaksanakan secara besar-besaran pada 2015, demonstrasi bertajuk Invasion Day mampu menarik ribuan orang di berbagai kota untuk turut berpartisipasi. Berawal hanya dari 400 orang, jumlah mereka meningkat menjadi 6.000 orang pada 2016. Setahun berselang, jumlah tersebut bertambah dua kali lipat menjadi 12.000.

Pada 2018, jumlahnya berkisar antara 40.000 hingga 60.000 di Kota Melbourne saja. Sementara di tahun 2019, diperkirakan lebih dari 100.000 orang turun ke jalan-jalan di Melbourne, Sydney, Brisbane, Canberra, Perth, Darwin, Hobart, dan Adelaide.

Solidaritas terhadap gerakan ini juga datang dari London. Puluhan demonstran berkumpul di Westminster Bridge guna memprotes perayaan Australia Day. Mereka bahkan sempat mengibarkan spanduk berukuran 25 meter bertuliskan "Abolish Australia Day".

Inforgrafik Sejarah Australia Day

Inforgrafik Sejarah Australia Day. tirto.id/Fuad

Agar Aborigin Tak Lagi Jadi Liyan

Lidia Thorpe, mantan anggota parlemen Victoria (2017-2018), sekaligus perempuan Aborigin pertama yang memegang posisi tersebut, berorasi dalam pelaksanaan Invasion Day 2019.

“Negeri ini (Australia) rehat sejenak untuk festival balapan kuda, final Australian Football League (AFL), ulang tahun Ratu Elizabeth, dan peringatan Australian and New Zealand Army Corps (ANZAC) Day. Namun kita tidak pernah memiliki waktu untuk sejenak merenungkan apa yang dirasakan orang pertama di negeri ini, dan penderitaan yang mereka alami akibat kolonisasi!”

Bagi Shan Windscript, mahasiswi doktoral sejarah di University of Melbourne, keikutsertaannya dalam Invasion Day 2019 merupakan wujud solidaritas kepada orang-orang Aborigin yang telah mengalami penindasan selama ratusan tahun. “Sekalipun kecil, ini adalah kontribusi saya untuk mengatakan ‘tidak’ atas imperialisme dan kolonialisme yang masih dialami penduduk Aborigin dan Torres Strait Islander!” ujarnya kepada saya lewat pesan singkat, Minggu (27/1/2019).

Ia juga berharap agar Australia Day dihapus dan pemerintah Australia mau mengakui ketidakadilan yang telah mereka perbuat terhadap kaum Aborigin, ketimbang menutup-nutupinya. “Semoga gerakan ini juga dapat menginspirasi kaum-kaum tertindas di negara lain untuk berani bergerak melawan fasisme dan rasisme.”

Sementara itu, Jimmy Yan, juga mahasiswa doktoral sejarah University of Melbourne, mengungkapkan tujuan utama demonstrasi ini bukan sekadar pengakuan konstitusional bagi orang-orang Aborigin, tapi juga dekolonisasi di segala lini. Dalam konteks Australia, dekolonisasi itu bisa berwujud tidak lagi memosisikan kaum Aborigin sebagai kelompok liyan. "Demonstrasi ini juga menjadi momentum politik bagi orang-orang Aborigin dan Torres Strait Islander, untuk kelak dapat menentukan nasibnya sendiri," tuturnya melalui pesan singkat pada Minggu (27/1/2019).

Beberapa kota di Australia tak tinggal diam terkait aksi tersebut. Pada 2016, Kota Fremantle di Western Australia memutuskan untuk memotong tradisi tahunan Australia Day dan sebagai gantinya mengadakan pawai kebudayaan selang dua hari kemudian. Sementara itu, beberapa wilayah di Victoria, seperti Moreland, Darebin, dan Yarra mengusulkan untuk mengubah tanggal perayaan. Tindakan serupa juga dilakukan pemerintah Kota Hobart di Tasmania.

Namun, mengingat Australia tidak pernah mengalami revolusi atau kemerdekaan dari kolonialisme, pemerintah seperti kesulitan mencari tanggal alternatif untuk perayaan Australia Day. Perubahan signifikan pun masih jauh panggang dari api. Demonstrasi Invasion Day tampaknya akan tetap menjadi agenda tahunan hingga beberapa tahun ke depan.

==========

Ravando Lie adalah kandidat doktor sejarah di University of Melbourne, Australia. Ia menekuni studi peranakan Tionghoa dan menulis buku Dr. Oen: Pejuang dan Pengayom Rakyat Kecil (2017). Saat ini sedang menyusun disertasi tentang surat kabar Sin Po dan nasionalisme Indonesia.

Baca juga artikel terkait RASISME atau tulisan lainnya dari Ravando Lie

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Ravando Lie
Editor: Ivan Aulia Ahsan