Menuju konten utama

Aturan PPKM Mikro Terbaru Dikritik dan Alasan Jokowi Tolak Lockdown

Pemerintah tetap memberlakukan aturan PPKM Mikro meski dikritik. Bahkan ketika kasus Corona meledak, Presiden Jokowi tetap menolak lockdown.

Aturan PPKM Mikro Terbaru Dikritik dan Alasan Jokowi Tolak Lockdown
Petugas kepolisian meletakkan papan informasi saat melakukan penutupan jalan dalam rangka pembatasan mobilitas warga guna menekan penyebaran COVID-19 di kawasan Bulungan, Jakarta, Senin (21/6/2021). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/wsj.

tirto.id - Anggota Komisi IX DPR RI Kurniasih Mufidayati menyayangkan sikap Presiden Joko Widodo tidak memberlakukan lockdown atau karantina wilayah. Mengingat lonjakan kasus harian COVID-19 dalam seminggu terakhir cukup mengkhawatirkan.

"Semoga pemerintah hadir mewujudkan UU Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang dibuat pada masa kepemimpinan Pak Jokowi juga," ujarnya kepada Tirto, Jumat (25/6/2021).

Menurut politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, Presiden Jokowi abai terhadap masukan dari DPR untuk mempertimbangkan masukan-masukan dari epidemiolog untuk menerapkan karantina wilayah.

Jokowi memilih menerapkan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro lantaran tidak akan mematikan ekonomi masyarakat.

"Kita doakan bersama. Semoga pemerintah tergugah hatinya untuk bertanggung jawab melihat rakyat sudah banyak yang terpapar dan meninggal karena pandemi saat ini," ujar Mufida.

Aturan PPKM Mikro Dikritik

Sebelumnya usulan karantina wilayah datang dari epidemiolog, salah satunya epidemiolog dari Centre for Environmental and Population Health, Griffith University Australia, Dicky Budiman.

Menurutnya, pemerintah mesti ambil langkah cepat dan tepat. "Kita harus segera menyiapkan opsi darurat dalam bentuk PSBB atau karantina wilayah," ujar Dicky kepada reporter Tirto, Senin (21/6/2021).

Menurut Dicky, jika memang pemerintah tak menerapkan PSBB atau lockdown maka PPKM mikro harus diimplementasikan dan diawasi dengan ketat.

"Kalau kita enggak memilih lockdown atau PSBB, ya sudah pembatasannya ini benar-benar diimplementasikan dan dipantau dengan ketat," katanya.

Sementara itu, epidemiolog dari Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Masdalina Pane juga sempat mengkritisi penerapan PPKM Mikro yang tidak tepat dalam kondisi lonjakan kasus yang marak belakangan ini.

"PPKM mikro itu efektif dalam kondisi normal. Kalau kondisinya normal tidak ada strain baru [varian baru COVID-19], tidak ada peningkatan kasus yang begini besar karena strain baru, itu baru efektif," ujarnya.

Menurut Masdalina, secara epidemiologi pembatasan dan intervensi menyeluruh perlu dilakukan setidaknya di 25 kabupaten/kota, yang di antaranya di luar daerah zona merah yang dibikin pemerintah yang dinilainya bias.

"Jadi seharusnya intervensi itu difokuskan ke 25 kabupaten/kota itu baru selesai kita. Intervensi mulai dari atas. 25 kabupaten/kota itu kacau balau, intervensi itu tidak bisa sepotong-sepotong," ujarnya.

Lonjakan kasus COVID-19 atau virus Corona usai Idulfitri masih terus terjadi, per Kamis, 24 Juni 2021 penambahan kasus positif COVID-19 mencapai 20.574. Penambahan ini merupakan yang tertinggi sejak kasus pertama diumumkan pada Maret 2020 lalu.

Penambahan kasus hari ini memecahkan rekor penambahan tertinggi pada hari sebelumnya yang yakni 15.308 kasus. Padahal Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memperkirakan lonjakan kali ini baru akan mencapai puncaknya pada akhir Juni atau awal Juli 2021.

Baca juga artikel terkait PPKM MIKRO atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Maya Saputri