Menuju konten utama

Aturan Menggantung dan Nasib Buntung Pengemudi Ojek Online

Untuk memperoleh pendapatan yang layak, pengemudi ojek online harus bekerja dari pagi buta hingga tengah malam.

Aturan Menggantung dan Nasib Buntung Pengemudi Ojek Online
Sejumlah pengemudi ojek daring yang tergabung dalam Gerakan Bersama seluruh Driver Online (GERAM Online) melakukan aksi damai di depan Gedung Sate, Bandung, Senin (16/10/2017). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

tirto.id - "Banyak banget yang mencibir. Tetapi, lagi-lagi hasil akhir yang membuktikan. Setelah tahu penghasilan yang saya dapat per hari, malah banyak yang ikut daftar,” kata Faridz Budhi.

Faridz adalah seorang manajer sebuah resort di Puncak, Jawa Barat, saat “demam” awal ojek online (ojol) pertengahan 2015 sedang ramai-ramainya, ia memutuskan banting setir menjadi salah satu driver ojek online atau daring yang saat itu sedang naik daun. Penghasilan dengan gaji “dua digit” ia tinggalkan demi profesi baru yang bisa memberikan asa tambahan kesejahteraan.

Kala itu, ojek online seolah menjadi primadona baru, aksi pindah pekerjaan demi penghasilan yang menjanjikan menyilaukan mata banyak orang. Namun, semua khayalan tentang pekerjaan yang menjanjikan kesejahteraan perlahan makin sirna, saat pelbagai persoalan bermunculan bagi para driver mulai ditolak ojek pangkalan, pemotongan insentif dari mitra usaha, soal tarif sepihak, hingga soal adanya larangan operasi ojek online oleh pemerintah pusat dan daerah.

Beberapa bulan setelah Faridz memutuskan bergabung menjadi pengendara ojol, Ignasius Jonan yang saat itu menjadi menteri perhubungan mengeluarkan aturan, berdasarkan surat edaran tertanggal 9 November 2015 bernomor UM.302/1/21/Phb/2015 tentang operasi ojek yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 Tentang Angkutan Jalan. Aturan itu langsung menuai pro kontra di masyarakat. Namun, berselang sebulan lebih, Jonan pun akhirnya menarik lagi aturannya.

"Solusi sementara ini ya silakan (beroperasi) atau kita ubah undang-undangnya karena (UU) ini sejak tahun 2009," kata Jonan Desember 2015.

Sayangnya hampir dua tahun berjalan, “bom waktu” payung hukum ini tak ada kejelasan hingga menjadi bola liar di daerah. Beberapa daerah mulai melakukan larangan karena alasan ojol sering terjadi gesekan di lapangan dengan ojek pangkalan (opang). Dinas Perhubungan Provinsi Jawa Barat misalnya, resmi melarang transportasi berbasis aplikasi, baik roda dua maupun empat mulai 6 Oktober 2017. Sialnya, keputusan ini buntut dari aturan yang menggantung, pemda pun tak satu suara, Kota Bekasi misalnya tak menggubris soal larangan itu.

"Kita masih perlu diskusikan dulu dengan pemerintah pusat dari beberapa instansi terkaitnya, sebab keputusan ini menyangkut hajat hidup banyak orang," kata Kadishub Kota Bekasi Yayan Yuliana.

Ucapan Yayan memang ada benarnya. Ojol sudah menjadi kebutuhan orang banyak, dan tentu jadi periuk nasi bagi para ribuan pengemudinya. Sayangnya, hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak itu ternyata masih belum dilandasi oleh landasan hukum yang kuat. Nasib para pengemudi ojol itu masih diliputi ketidakpastian. Masalah payung hukum yang berlarut-larut inilah yang membuat para pengemudi terus menerus melakukan aksi demo. Terbaru, ratusan pengemudi ojol pada Senin (16/10) berdemo di Gedung Sate, Jawa Barat.

"Kita ingin pemerintah segera menerbitkan aturan transportasi online. Jangan sampai ada gesekan di lapangan, karena belum ada aturan yg sudah ditetapkan oleh pemeintah," kata Asosiasi Driver Online Bandung (ADOB) Dedi Hermawan dikutip Antara.

Baca juga: Pengemudi Transportasi Online di Bandung Demo Tuntut Dilegalkan

Imaji Sejahtera Saat Aturan Menggantung

Imaji kesejahteraan yang dijual oleh perusahaan transportasi online memang sangat manis. Di situs Grab Bike misalnya, selain tawaran fleksibilitas dan perlindungan asuransi, tertulis pula “kesempatan mendapatkan penghasilan hingga belasan juta per bulan”. Sementara itu, pencarian di Google dengan kata kunci “jadi driver di Gojek” pada baris pertama hasil pencarian adalah iklan dari situs Gojek bagi calon pengemudi dengan kalimat promosi “Nikmati hingga 7 juta/Bulan”.

Beberapa perintilan itu nampak senapas dengan hasil riset Pusat Kajian Komunikasi Universitas Indonesia (PUSKAKOM UI) mengenai pendapatan 77 persen dari total responden pengemudi penuh waktu Go-Ride (jasa taksi motor Gojek) yang berada di atas rata-rata UMP Nasional menurut BPS sebesar Rp1.997.819. Sisanya, 23 persen mendapatkan penghasilan di bawah rata-rata UMP.

Studi ini mengacu pada mitra GO-RIDE (3.213 responden), GO-CAR (2.801 responden), dan pelanggan (4.048 responden) yang aktif dalam 3 bulan terakhir yang dilakukan 6-11 April 2017. Sampel mewakili populasi pengemudi dan pelanggan di 15 lokasi, dengan 50 persennya berasal dari wilayah Jabodetabek sebagai wilayah dengan jumlah pengemudi/pelanggan terbanyak

Baca juga: Benarkah Kualiatas Hidup Mitra Gojek Meningkat?

Penelitian lain yang dilakukan Aulia Nastiti, mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh Ph.D di Ilmu Politik, Northwestern University yang versi singkatnya dipublikasikan oleh The Conversation justru menampilkan sisi lain di luar ihwal penghasilan pengemudi. Ia menemukan kecenderungan hubungan yang sifatnya eksploitatif antara pengemudi dan perusahaan ojek daring. Melalui aplikasi, para pengemudi dikontrol untuk mengejar poin dan nilai performa agar dapat mendapatkan bonus, satu-satunya cara untuk dapat mencukupi kebutuhan mereka.

Penelitian mengenai kondisi pekerjaan pekerja ojek daring juga dilakukan Maharani Karlina CH, mahasiswa magister lulusan King’s College London. Melalui metode wawancara dan observasi forum online pengemudi yang dilakukan pada bulan Juni 2017, penelitiannya menunjukkan bahwa mayoritas pengemudi Gojek yang diwawancara harus bekerja 12 jam sehari dan 6-7 hari seminggu untuk mendapatkan penghasilan yang cukup. Menurutnya, para pengemudi terjebak dalam kondisi pekerjaan yang syarat dengan eksploitasi diri.

Infografik ojek daring makin garing

Tirto mencoba menelusuri dan mewawancara beberapa pengemudi ojek online perihal kesejahteraan, mereka umumnya mengaku pendapatannya kini sudah menurun dengan drastis. Misalnya Ahmad yang sudah hampir setahun ia telah bekerja sebagai pengemudi ojek daring. “Ketika masih baru, dapat Rp10 juta untuk sebulan itu mungkin saja, Mas,” kata bapak untuk tiga orang anak ini.

Di awal kemunculan ojek daring, para pengemudi rata-rata bisa mendapatkan Rp300 ribu setiap harinya. Namun, menurutnya dimulai dari awal tahun 2017, angka Rp10 juta itu jauh dari kenyataan di lapangan. Rata-rata para pengemudi saat ini maksimal hanya bisa mengantongi Rp100 ribu per hari.

“Kalau cukup sih cukup, tapi ini buat biaya hidup sehari-hari saja palingan, yang jadi masalah kita susah buat tabung,” tutur seorang pengemudi Grab yang ditemui Tirto.

Menurut salah satu pengemudi ojek daring bertambah banyaknya jumlah pengemudi merupakan salah satu penyebab minimnya penghasilan. “Ini perkiraan saya saja ya, Bang. Kalau sekarang perbandingannya tujuh pengemudi rebutan untuk satu penumpang,” jawab seorang pengemudi Gojek separuh waktu yang juga masih melanjutkan pendidikan sarjana ini.

Baca juga: Gejolak Baru Gojek

Selain itu, terkadang sistem acak aplikasi malah mengalokasikan pesanan kepada pengemudi yang baru saja menurunkan penumpang bukan ke pengemudi yang telah menunggu lama.

Menurut seorang pengemudi, untuk mendapatkan penghasilan yang cukup mereka harus bergantung pada sistem bonus. Untuk pengemudi Gojek, 20 penumpang akan dikonversi menjadi 20 poin yang berarti bonus sebesar Rp90.000. Masalahnya, untuk mendapatkan bonus tiap harinya pengemudi harus bekerja lebih dari 12 jam.

“Harus keluar narik penumpang dari jam setengah enam terus pulang telat tengah malam,” ujarnya.

Pengemudi juga terkadang dirugikan oleh nilai yang diberikan oleh penumpang melalui aplikasi. Terkadang penumpang memberikan nilai yang buruk dikarenakan pengemudi lama dalam menjemput padahal sudah jelas bahwa pemesanan dilakukan di area yang sering macet.

“Saya harapannya Gojek kembali ke sistem bonus yang dulu, Mas. Misalnya ada klasifikasi poin yang disesuaikan kepada jarak tempuh tiap perjalanan yang kita lakukan. Semakin jauh, semakin tinggi,” jelas seorang pengemudi yang juga terkadang bekerja sampingan sebagai desainer grafis ini.

Beberapa pengemudi menyuarakan suara yang pesimistis mengenai masa depan ojek daring mengingat mereka bekerja sebagai pengemudi ojol karena belum mendapatkan pekerjaan lain yang bisa dijadikan tumpuan hidup. Sedangkan bagi pengelola aplikasi ojol, meresponsnya dengan slogan menjalankan bisnis dengan memperhatikan kesejahteraan mitra, kepuasan pelanggan, dan keberlanjutan bisnis, menjadi alasan mereka.

Baca juga artikel terkait TRANSPORTASI ONLINE atau tulisan lainnya dari Terry Muthahhari

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Terry Muthahhari
Penulis: Terry Muthahhari
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti