Menuju konten utama

Aturan Main Pengeras Suara di Masjid

Beberapa negara meminimalisir penggunaan pengeras suara di masjid dengan berbagai alasan. Bagaimana dengan Indonesia?

Aturan Main Pengeras Suara di Masjid
Ilustrasi pengeras suara Masjid. Getty Images/iStockphoto.

tirto.id - Pengeras suara sering digunakan di berbagai tempat umum. Mulai dari bandara, terminal bus, stasiun, rumah sakit, gereja hingga masjid. Pengeras suara seperti speaker atau toa menjadi solusi dalam menyampaikan informasi di tempat-tempat umum tersebut. Akan tetapi, penggunaan pengeras suara dianggap menimbulkan polusi suara sehingga ada beberapa negara yang kini meminimalisir penggunaan pengeras suara.

Mesir salah satunya. Beberapa waktu lalu, menjelang Ramadan, Menteri Wakaf Mesir, Mohamed Gomaa mengeluarkan larangan agar tidak menggunakan pengeras suara di seluruh masjid saat tarawih selama bulan suci Ramadan. Menurutnya, upaya itu dilakukan agar umat lainnya dapat menjalankan ibadah dengan tenang dan jauh dari suara bising akibat penggunaan pengeras suara dan juga menyebabkan polusi suara.

“Keputusan ini sesuai dengan syariah Islam dan tidak melanggar salah satu ajarannya,” kata Gomaa, seperti dikutip Agyptian Streets.

Menanggapi aturan itu, beberapa anggota parlemen meminta agar Gomaa dipanggil untuk menjelaskan terkait larangan penggunaan pengeras suara saat tarawih Ramadan. Salah satu anggota parlemen Mesir, Gamal Abbas mengungkapkan bahwa pengeras suara saat tarawih itu tak mengganggu tetapi malah dapat memulihkan jiwa manusia. Pihak gereja Koptik pun tak setuju dengan larangan tersebut.

Lain halnya dengan Nigeria. Pihak berwenang di wilayah Lagos tak segan-segan menutup 70 gereja, 20 masjid dan 10 hotel, pub dan kelab malam terkait suara bising yang ditimbulkan mulai dari nyanyian di gereja hingga azan masjid yang menggunakan pengeras suara. Keputusan itu tak lepas dari upaya kota Lagos untuk bebas dari suara kebisingan pada 2020.

Di negara yang mayoritas Muslim seperti Arab Saudi, penggunaan pengeras suara juga dibatasi terutama di masjid. Pengeras suara luar atau eksternal bahkan dimatikan dan hanya diizinkan menggunakan speaker yang berada di dalam masjid kecuali untuk azan, salat Jumat, salat Ied dan salat minta hujan.

Artinya, kegiatan selain azan hingga salat minta hujan tak bisa menggunakan pengeras suara luar. Aturan ini diberlakukan karena suara yang timbul dari kegiatan masjid yang menggunakan pengeras suara menjadi tumpang tindih dengan masjid lainnya. Kementerian Arab Saudi menekankan agar adanya kesamaan waktu saat azan yang kemudian disosialisasi kepada para ulama di Arab Saudi.

Berbeda lagi dengan yang terjadi di Pakistan. Masjid-masjid di negara mayoritas Muslim itu seperti di Lahore dan kota-kota lainnya di Punjab sebagian besar berhenti menggunakan pengeras suara saat ceramah. Mengurangi ceramah menggunakan pengeras suara dilakukan karena adanya ujaran kebencian yang sering dilontarkan terhadap agama minoritas di wilayah tersebut.

Peningkatan sektarian di Punjab, provinsi terbesar di negara tersebut sudah pada tahap mengkhawatirkan sehingga pemerintah melakukan razia terhadap masjid-masjid yang menggunakan pengeras suara dan menyebar ujaran kebencian. Punjab yang berpenduduk sekitar 100 juta orang itu, secara historis sulit untuk mengekang berbagai kekerasan sektarian yang terjadi serta membendung ujaran kebencian dari para ulama-ulama Muslim Sunni garis keras yang kerap menyebut minoritas seperti Syiah dan Ahmadiyah sebagai kafir.

Masalah pengeras suara juga pernah terjadi di Indonesia. Tentu masih lekat di ingatan warga Tanjungbalai, Sumatera Utara terkait pembakaran Vihara dan Klenteng yang terjadi tahun lalu. Bermula saat salat Isya, Meliana seorang perempuan Tionghoa meminta agar pengurus masjid Al-Maksum untuk mengurangi volume pengeras suaranya. Hal itu memicu amarah warga. Amarah yang dibumbui dengan pesan provokasi lewat media sosial, berujung pada pembakaran Vihara dan Klenteng di wilayah tersebut.

Ada juga warga Banda Aceh yang memperkarakan soal pengeras suara masjid. Suara lantang dari berbagai masjid di Banda Aceh dirasa mengganggu terlebih suara rekaman pembacaan Alquran yang berlarut-larut. Meski kemudian ia mencabut tuntutannya tersebut. Pada 2012 silam, Boediono yang saat itu menjabat sebagai wakil presiden Indonesia juga pernah meminta agar penggunaan pengeras suara di masjid diatur agar tidak terlalu keras sehingga tak mengganggu penduduk sekitar.

Jusuf Kalla juga angkat soal pengeras suara masjid. Ia mengungkapkan bahwa pemutaran kaset atau rekaman di masjid yang menggunakan pengeras suara menyebabkan polusi suara. "Permasalahannya yang ngaji cuma kaset dan memang kalau orang ngaji dapat pahala, tetapi kalau kaset yang diputar, dapat pahala tidak? Ini menjadi polusi suara," ujar Kalla.

Namun bagi mantan Ketua Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU), Hasyim Muzadi, sebaiknya pemerintah lebih fokus dalam mempersoalkan masalah penempatan pengeras suara masjid dibandingkan melarang pengajian dengan menggunakan rekaman kaset. Menurutnya, pengajian dengan menggunakan rekaman kaset adalah alternatif dalam menyampaikan syiar agama.

"Itu terserah pengurus masjid, mau menyetel pakai suara orang ataupun rekaman. Alternatif saja buat pengajian. Namun, yang jadi persoalan ini kalau sampai speaker mengganggu orang sekitar," kata Hasyim.

Setiap negara memang memiliki aturan mainnya sendiri terkait pengeras suara yang didasarkan pada alasan yang melatarbelakangi sehingga dikeluarkannya larangan tersebut. Di Indonesia, penggunaan pengeras suara dengan volume yang tinggi sudah menjadi perdebatan hangat. Bagi sebagian orang, pengeras suara tentu mengganggu terutama yang bermukim dekat masjid. Namun bagi sebagian lainnya itu sebagai penanda atau pengingat untuk beribadah.

infografik pengeras suara masjid

Lalu bagaimana regulasi pengeras suara yang sesungguhnya? Pada 1978 Dirjen Bimas Islam, Kementerian Agama, mengeluarkan Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep/D/101/1978 tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Mushola. Dalam surat yang ditandatangani Kafrawi, Dirjen Bimas Islam saat itu, terdapat sejumlah aturan mengenai penggunaan pengeras suara di masjid.

Pengguna pengeras suara harus terampil dan bukan hanya coba-coba atau masih dalam tahap belajar. Sehingga tidak menimbulkan suara bising atau berdengung yang dapat menimbulkan antipati atau anggapan tidak teraturnya suatu masjid. Berdasarkan tuntunan nabi, suara azan memang harus ditinggikan karena itu sebagai penanda salat sehingga penggunaan pengeras suara untuknya adalah tidak diperdebatkan. Yang perlu diperhatikan adalah agar suara muazin tidak sumbang dan sebaliknya enak, merdu, dan syahdu.

Instruksi tersebut juga menyatakan jika saat salat subuh, ashar, magrib dan isya boleh menggunakan pengeras suara. Sedangkan untuk salat dzuhur dan Jumat, semua doa, pengumuman, khotbah menggunakan pengeras suara ke dalam bukan ke luar. Begitupun saat takbir, tarhim dan Ramadan juga menggunakan pengeras suara ke dalam.

Sayangnya, instruksi soal pengeras suara yang ada dalam situs Kemenag itu hanya memberi pedoman dasar dalam menggunakan pengeras suara. Tidak ada sanksi yang tercantum dalam instrumen itu bagi masjid yang melanggar. Sehingga, jika merasa terganggu dengan pengeras suara, maka yang bisa dilakukan adalah membicarakannya secara kekeluargaan dengan pengelola masjid setempat dengan mengacu pada instruksi Kemenag tersebut.

Baca juga artikel terkait RAMADHAN 2017 atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Hukum
Reporter: Yantina Debora
Penulis: Yantina Debora
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti