Menuju konten utama

Aturan Kredit Perpajakan Direvisi, Apa Saja Perubahannya?

Ini memberikan klarifikasi dan petunjuk yang lebih detail mengenai tata cara penghitungan besarnya kredit pajak luar negeri yang dapat diakui serta tata cara pelaporannya.

Aturan Kredit Perpajakan Direvisi, Apa Saja Perubahannya?
Ilustrasi Rasio Pajak. iStockphoto/Getty Images

tirto.id - Pemerintah melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementrian Keuangan telah merevisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Pelaksanaan Pengkreditan Pajak atas Penghasilan dari Luar Negeri.

Ketentuan yang berlaku sejak 31 Desember 2018 lalu itu bertujuan untuk memudahkan dan memberikan kepastian kepada wajib pajak. Selain itu, mendorong wajib pajak untuk mengklaim manfaat Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).

"Ini memberikan klarifikasi dan petunjuk yang lebih detail mengenai tata cara penghitungan besarnya kredit pajak luar negeri yang dapat diakui serta tata cara pelaporannya," demikian tertulis dalam siaran pers yang diterima Tirto, Kamis (10/1/2019).

Ada beberapa pokok aturan yang direvisi dalam beleid tersebut. Berikut rinciannya:

Pertama, penentuan negara sumber penghasilan luar negeri.

Hal ini diatur dengan tujuan memberikan kepastian hukum mengenai pengadopsian per country limitation, yakni penghitungan besarnya kredit pajak luar negeri yang dapat dikreditkan berdasarkan jenis penghasilan dan per negara.

Kedua, penentuan besarnya penghasilan luar negeri. Dalam aturan baru ini, penghasilan luar negeri yang dimasukkan dalam penghasilan kena pajak adalah penghasilan neto.

Ketiga, penentuan besarnya PPh Luar Negeri yang dapat dikreditkan. Sebelumnya, besarannya paling tinggi sama dengan jumlah pajak luar negeri, namun tidak dapat melebihi jumlah tertentu dan pajak yang terutang atas penghasilan kena pajak.

Kini, besarannya paling rendah di antara jumlah pajak luar negeri, jumlah pajak luar negeri dengan memperhatikan ketentuan dalam P3B, jumlah tertentu tetapi tidak dapat melebihi pajak yang terutang atas penghasilan kena pajak.

Keempat, pengaturan mengenai pengkreditan oleh suami-istri yang menjalankan kewajiban perpajakan secara terpisah. Dalam aturan baru ini, kredit pajak ditentukan secara terpisah untuk masing-masing suami atau istri.

Kelima, persyaratan administratif. Sebelumnya, diatur wajib pajak menyampaikan permohonan bersamaan dengan penyampaian surat pemberitahuan (SPT) tahunan PPh dengan melampirkan laporan keuangan, laporan pajak, dan dokumen pembayaran pajak di luar negeri.

Dalam aturan yang baru, diatur syarat dokumen yang dibutuhkan hanya bukti pembayaran atau bukti pemotongan pajak luar negeri, dan tidak ada kewajiban untuk melampirkan dokumen tersebut dalam SPT tahunan PPh.

Keenam, pengaturan mengenai kredit pajak luar negeri atas penghasilan dari trust. Sebelumnya, ini tidak diatur. Dalam ketentuan yang baru, diatur secara spesifik di masing-masing pasal yang relevan.

Ketujuh, kredit pajak atas dividen seperti dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan. Dalam aturan baru ini kredit pajak atas deviden juga tidak termasuk dalam cakupan, tapi disebutkan bahwa mengikuti ketentuan dalam PMK yang mengatur khusus tentang dividen yaitu Pasal 18 ayat (2) UU Pajak Penghasilan.

Ditjen Pajak menjelaskan, sama seperti peraturan yang sebelumnya, kelebihan PPh luar negeri yang tidak dapat dikreditkan tidak diperkenankan untuk diperhitungkan sebagai pengurang pajak terutang, tidak boleh dibebankan sebagai biaya atau pengurang penghasilan, dan tidak dapat dimintakan restitusi.

Baca juga artikel terkait KREDIT atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Hard news
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Zakki Amali