Menuju konten utama

Aturan Baru Kolom Agama Ancam Minoritas Pakistan

Sejak 1974 Parlemen Pakistan memutuskan bahwa Ahmadiyah masuk golongan non-Muslim

Aturan Baru Kolom Agama Ancam Minoritas Pakistan
Antrean warga di kantor National Database & Registration Authority (NADRA) untuk foto dan wawancara sebagai syarat mendapatkan kartu identitas penduduk di Islamabad, Pakistan. REUTERS/Faisal Mahmood

tirto.id - Pengadilan Tinggi Islamabad, Pakistan pada Jumat (9/3) lalu mengesahkan sebuah peraturan baru. Para warga yang ingin mengajukan pembuatan KTP diwajibkan mencantumkan agama yang dianut. Kolom agama juga harus tersedia di akta kelahiran, daftar pemilihan umum dan paspor.

“Pemerintah Pakistan akan mengambil langkah khusus guna memastikan adanya keterangan (agama) yang benar dari semua warga negara,” jelas Hakim Shaukat Aziz Siddiqui dalam putusannya, dilansir dari Reuters.

Peraturan tersebut wajib diikuti oleh warga yang hendak melamar pekerjaan di lingkungan pemerintahan seperti pegawai negeri, militer, guru hingga lembaga peradilan. Ditegaskan bahwa calon pegawai negeri harus dengan jelas menyatakan iman mereka kepada siapa. Keputusan lainnya yang lebih rinci bakal dikeluarkan di kemudian hari.

Sepintas aturan tersebut tampak sepele, terlebih bagi penduduk Pakistan yang mayoritas beragama Islam tentu tak sulit untuk mengakui apa yang mereka anut dan imani. Tapi masalahnya, selama ini reputasi Pakistan sangat dekat dengan konflik sektarian. Pencantuman kolom agama di dokumen identitas bakal menuai problem baru.

Pakistan adalah rumah bagi kelompok minoritas seperti Hindu, Kristen, Sikh hingga Syiah dan Ahmadiyah. Data dari CIA World Factbook (2010) menyebut pemeluk Islam ada 96,4 persen dengan komposisi Sunni 85 – 90 persen dan sisanya Syiah 10-15 persen. Minoritas lainnya termasuk Kristen dan Hindu membentuk populasi gabungan hanya sebesar 3,6 persen.

Sudah sejak tahun 1974 Parlemen Pakistan memutuskan secara sepihak bahwa Ahmadiyah masuk golongan non-Muslim. Jika dihubungkan dengan aturan kolom agama di pengurusan KTP, maka praktis para pemeluk Ahmadiyah tak dapat lagi menuliskan keyakinannya sebagai seorang Muslim. Penggunaan simbol Islam turut dilarang dan jika semuanya dilanggar para Ahmadiyah harus bersiap menerima tuduhan penistaan agama.

Times of India menyebutkan putusan pengisian kolom agama dikaitkan dengan kemenangan besar para kelompok garis keras di Pakistan. Para ulama garis keras menuduh bahwa selama ini penganut Ahmadiyah menyembunyikan identitas kepercayaan agar bisa masuk ke beberapa pekerjaan sensitif. Solusi yang mereka ajukan: siapapun yang menjabat di lingkungan pemerintahan wajib hukumnya mencantumkan agama.

Reaksi negatif ditunjukkan oleh perwakilan Human Rights Watch, Saroop Ijaz. Ia menyebut bahwa hakim “tidak hanya menyerang kebebasan beragama setiap orang di Pakistan, tetapi juga berfokus pada satu kelompok tertentu, yaitu Ahmadiyah.”

Sektarianisme Pakistan

Agama adalah perkara rumit di Pakistan. Alih-alih membawa kedamaian, agama di Pakistan telah membuat nyawa jadi barang murah sebagaimana yang terlihat dalam rentetan kasus kekerasan.

Jika pencantuman kolom agama dalam setiap dokumen identitas diprediksi bakal lebih menyiksa kelompok Ahmadiyah, bukan berarti minoritas lain bernasib baik. Dalam catatan Dawn yang dihimpun sejak tahun 1997, sejumlah kasus insiden kekerasan berujung pembunuhan dialami oleh para warga Muslim Syiah dan Kristen. Rumah-rumah ibadah juga tak luput dari serangan. Laporan komisi HAM Pakistan pada 2010 menyebut bahwa 418 orang tewas dalam aksi-aksi serangan terhadap sekte-sekte minoritas Islam. Sebanyak 211 diantaranya tewas akibat bom bunuh diri. Belum lagi kasus-kasus tuduhan penodaan agama yang kerap berakhir dengan kematian.

Dengan didirikannya sebuah partai Islamis baru bernama Tehreek-e-Labaik pada 2015, kehidupan beragama di pakistan pun diperkirakan akan semakin memburuk. Dengan kultur masyarakat Pakistan yang mudah tersulut agama, tak sulit bagi partai ini untuk meraup basis dukungan. Bahkan bisa dikatakan dalam setahun terakhir eksistensi kelompok garis keras diwakili oleh Tehreek-e-Labaik.

Pada November 2017, mereka berhasil menggulingkan Menteri Hukum Zahid Hamid atas tuduhan penistaan agama. Pasalnya, ia mengusulkan pengubahan sumpah jabatan yang mengakui finalitas Nabi Muhammad SAW. Kalimat yang diganti sepele, dari “saya bersumpah” menjadi “saya percaya”.

Aksi turun ke jalan dan pemblokiran jalan-jalan utama menuju Islamabad merembet sampai Lahore, Peshawar dan Karachi. Sedikitnya tujuh orang tewas dan 200 lainnya luka-luka.

Pengesahan aturan pencantuman agama di kolom identitas juga tak lepas dari desakan Tehreek-e-Labaik melalui sebuah petisi.

Catatan BBC yang dihimpun sejak 1987 sampai 2014 menyebutkan bahwa terdapat 633 warga Muslim, 494 Ahmadiyah, 187 Kristen, dan 21 Hindu yang telah dikenai dakwaan penodaan agama. Total ada 4.000 kasus penistaan agama yang dilaporkan ke kepolisian.

Penistaan agama di Pakistan diatur dalam Pasal 295C KUHP. Jika ditelusuri, pasal ini adalah warisan pemerintahan kolonial Inggris di India tahun 1927 silam yang telah dimodifikasi sesuai interpretasi Islam di Pakistan sejak era diktator Zia ul-Haq. Ancaman hukuman penistaan agama mulai dari hukuman mati, penjara seumur hidup atau denda.

Dalam perkembangannya, penistaan agama menjadi sebuah pasal karet yang kerap dipolitisir dan digunakan sebagai dalih untuk pembunuhan. Al-Jazeera melaporkan bahwa sejak 1990, para kelompok garis keras membunuh sedikitnya 69 orang. Sasarannya bahkan tak pandang bulu, mulai dari kerabat, pengacara, hakim, hingga tetangga.

Konflik Pasca-Pemisahan India-Pakistan

Salah satu harapan pasca-pembagian wilayah antara Pakistan dan India 70 tahun silam adalah kehidupan bersama yang lebih baik. Keputusan pembagian wilayah India-Pakistan dihadiri oleh tiga tokoh penting kala itu. Pakistan diwakili Muhammad Ali Jinnah, India oleh Jawaharlal Nehru dan Inggris oleh Louis Mountbatten.

Namun kenyataannya berbanding terbalik. Situasi menjelang dan sesudah deklarasi pembagian wilayah negara antara mayoritas Hindu (India) dan Islam (Pakistan) telah memunculkan gelombang ketakutan massal di antara penduduk kedua negara. Banyak dari para penduduk yang tak suka dengan keberadaan minoritas di negara baru mereka. Sebaliknya minoritas merasa tak aman dan canggung di tanah kelahirannya sehingga terpaksa mengungsi ke tempat lain.

Infografik Pakistan

Sebagaimana yang dicatat sejarawan Universitas Oxford Yasmir Khan, para pengungsi mulai menyeberang dari satu kawasan ke kawasan lain menjelang dan sesudah proses pembagian wilayah negara antara India dan Pakistan pada 14 sampai 15 Agustus 1947. Diperkirakan satu juta orang meninggal, 15 juta orang mengungsi, menyusul kekerasan antar-etnis dan wabah penyakit yang menyerang kamp-kamp pengungsi.

Akibat pembagian wilayah tersebut, kehidupan masyarakat multi-agama yang sebelumnya terjalin cukup damai dan kondusif mendadak tegang dan memicu kekerasan yang melibatkan pertumpahan darah antara kalangan Muslim, Sikh, dan Hindu . Warisan inilah yang terus bertahan di Pakistan (dan India) hingga hari ini.

Baca juga artikel terkait KONFLIK AGAMA atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Politik
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf