Menuju konten utama
29 Oktober 1923

Ataturk Membangun Turki Sekuler dari Puing-Puing Khilafah Usmani

Jengah dengan peperangan dan kesultanan, parlemen yang baru segera menggulingkan pemerintahan Sultan Mehmed VI pada 1922.

Ataturk Membangun Turki Sekuler dari Puing-Puing Khilafah Usmani
Ilustrasi Mozaik Turki Mendeklarasikan Diri Sebagai Republik. tirto.id/Sabit

tirto.id - Selama hampir enam tahun, Perang Balkan dan Perang Dunia I telah merusak tatanan politik dan ekonomi di sebagian besar Imperium Turki Usmani. Upaya mengakhiri rangkaian Perang dilakukan pada 30 Oktober 1918. Kala itu mereka sepakat mengadakan pertemuan dengan Inggris di Port Mudros. Agendanya: penandatanganan perjanjian gencatan senjata dan mengakhiri keterlibatan mereka dalam perang.

Syahdan, setelah Perang Dunia I berakhir, bom waktu politik dalam negeri justru meledak. Perang kemerdekaan segera berlangsung antara 1919 hingga 1923. Rakyat yang melarat menuntut agar stabilitas politik dan ekonomi dijadikan prioritas utama. Di masa itu, gerakan rakyat nasionalis juga memberontak melawan kekuatan sekutu yang tak ingin Turki berdaulat.

Jengah dengan peperangan dan kesultanan, pada 1922 parlemen yang baru segera menggulingkan pemerintahan Sultan Mehmed VI. Tak perlu waktu lama, Sultan Abdulmejid II, penerusnya, diasingkan. Kesultanan Imperium Turki Usmani yang memang sudah terlanjur rusak akibat perang dibubarkan paksa. Republik Turki yang independen dideklarasikan di Ankara pada 29 Oktober 1923. Kota Ankara didapuk ibukota Republik.

Dalam proses peralihan yang dramatis dari model kesultanan ke republik, tak ada tokoh politik yang lebih penting dan populer ketimbang pemimpin kelompok revolusioner Mustafa Kemal Atatürk.

Terlahir dengan nama Ali Rıza oğlu Mustafa--yang berarti Mustafa anak dari Ali Riza--ia juga dikenal dengan nama Mustafa Kemal Pasha. Nama tengahnya “Kemal” yang berarti kesempurnaan, diberikan oleh seorang guru matematikanya karena kecerdasan sang murid dalam bidang akademik. Kemudian, atas jasanya membangun Turki menjadi negara sekuler yang modern, pada 1934 parlemen memberinya tambahan nama "Atatürk" yang berarti "Bapak orang-orang Turki".

Kemal adalah jenderal perang sekaligus politisi yang kemudian menjadi Founding Father dan presiden pertama Republik Turki. Ia populer karena berjasa mengamankan kemenangan Turki pada 1915 dalam Pertempuran Gallipoli. Akan tetapi, pada akhir perang Imperium Turki justru kehabisan tenaga. Pasukan sekutu telah membuat mereka tak bisa berkutik lagi. Pada 1919, sisa-sisa kekuatan militer mereka di Suriah dan Palestina berkumpul di Silicia untuk menerima komando lanjutan dari Kemal.

Kemal seorang sekuler dan nasionalis. Salah satu aturan yang dibuatnya adalah mewajibkan penggunaan bahasa Turki bagi siapapun termasuk golongan minoritas non-Turki yang ingin berbicara di ruang-ruang publik. Nama-nama orang yang beraroma non-Turki pun diperintahkan agar diubah menjadi lebih 'Turki'. Ia mewajibkan semua hal termasuk penamaan jalan dan gedung agar menggunakan toponim Turki. Belakangan kebijakan ini dikenal dengan sebutan Kemalisme.

Menjabat sebagai presiden selama lima belas tahun pertama sejak pendiriannya, ia menjalankan reformasi budaya, politik, dan ekonomi secara ketat. Rifat N. Bali menceritakan kesulitan rakyat minoritas Yahudi dalam mengikuti aturan berbahasa ini dalam sebuah artikelnya berjudul The Politics of Turkification during the Single Party Period yang dimuat dalam buku kumpulan tulisan Turkey Beyond Nationalism: Towards Post-Nationalist Identities (2006:45).

“Komunitas Yahudi tidak bisa beradaptasi dengan aturan bahasa Turki dalam waktu singkat. Untuk mengatasi masalah ini, Rabbi Becerano meminta agar orang-orang Yahudi diberikan kelonggaran waktu 10-15 tahun untuk bisa berbahasa Turki”.

Dalam waktu singkat Kemal membangun Turki yang sekuler, progresif, dan modern. Pencapaian politik itu membuatnya masuk dalam jajaran tokoh politik dunia paling penting abad ke-20. Salah satu keputusan paling fenomenal yang diambil di masa awal Republik Turki adalah mengajukan tiga tuntutan yang dikabulkan oleh parlemen.

Dalam buku Mustafa Kemal Atatürk: Leadership, Strategy, Conflict (2013:58), Sejarawan Edward J. Erickson mencatat tiga tuntutan Atatürk kepada parlemen Turki.

Pertama, ia meminta dibubarkannya departemen Hukum Kanonik. Pembubaran departemen itu meruntuhkan segala aturan negara yang berdasarkan hukum agama. Kedua, ia meminta dunia akademik diatur secara tunggal. Aturan ini kemudian mencabut izin pendidikan bagi sekolah-sekolah agama. Terakhir, ia menuntut agar khalifah dibubarkan.

Tiga tuntutan ke parlemen ini menghasilkan sejarah baru. Pada 3 Maret 1924, Turki Usmani, salah satu kekhalifahan Sunni Islam tertua dan terbesar, resmi dinyatakan bubar. Setelah itu, Kemal sendiri menuliskan rancangan konstitusi bagi republik barunya. Rancangan ini mengambil bentuk presidensial ala Amerika yang dipadukan dengan sistem parlemen Eropa yang dianggapnya kuat.

Menyadari kekuasaannya rawan gangguan, Kemal secara sistematis menyingkirkan tokoh nasionalis lain yang berpotensi menjadi pesaing politiknya. Di antara nama-nama tersebut adalah Kâzım, seorang tokoh pahlawan perang; Rauf, tokoh Angkatan Laut; Komandan Militer Ali Fuat, dan tokoh parlemen Dr. Adnan. Beberapa tokoh penting lainnya diusir dari Turki satu per satu.

Masalah besar muncul lagi pada Februari 1925. Kala itu etnis Kurdi di bawah pimpinan Sheik Said melakukan pemberontakan untuk menuntut dikembalikannya otoritas Khalifah. Bagi mereka, Turki yang sekuler adalah sebuah kesalahan. Mustafa Kemal dan gerakan nasionalisnya dinilai kebablasan menjalankan pemerintahan baru.

Menanggapi pemberontakan ini, Kemal mengutus Ismet, orang kepercayaannya, untuk memimpin 52.000 tentara guna mengatasi pemberontakan 15.000 orang kurdi yang hanya menggunakan persenjataan ringan. Pemberontakan Kurdi pun dengan mudah diredam.

Dalam buku The Emergence of Kurdish Nationalism and the Sheikh Said Rebellion (1989:126), William Tucker dan Rovert Olson menuliskan argumen Sheik Said ketika ditangkap.

“Penderitaan terbesar orang Kurdi bukan dari jumlah yang terbunuh atau korban yang mereka derita, melainkan dari tanah yang dihancurkan, desa-desa dibakar, orang-orang dideportasi, dan penganiayaan serta gangguan oleh petugas, tentara, dan polisi Turki.”

Infografik Mozaik Deklarasi Republik Turki

Infografik Mozaik Deklarasi Republik Turki. tirto.id/Sabit

Pemberontakan ini membuat Kemal merasa perlu menjalankan suatu pendekatan politik dalam negeri yang lebih ketat. Bersamaan dengan diangkatnya Ismet sebagai perdana menteri, aturan darurat untuk mengambil langkah pengamanan pun diberlakukan. Aturan ini membuat Kemal memiliki kekuatan untuk mengambil keputusan yang diperlukan demi terjaganya stabilitas. Tetapi, kekuasaan yang hampir tak terbatas ini membuat Kemal semakin bertangan dingin.

“Konsekuensi dari aturan ini begitu jauh di luar batasan. Atas nama stabilitas, Kemal melarang semua surat kabar utama yang melawan pemerintahan Republik. Hanya dua yang tersisa yaitu surat kabar pendukung pemerintah Cumhuriyet dan Hakimiyet-i Milliye,” Tulis Mona Hassan dalam Longing for the Lost Caliphate: A Transregional History (2016:170).

Keberhasilan meredam berbagai konflik lain membawa Kemal menjadi penguasa yang berdaulat membawa Turki menjadi lebih sekuler. Ia menggagas penggunaan alfabet Latin untuk menggantikan manuskrip berbasis bahasa Arab yang digunakan pada era kesultanan. Pada 1 November 1928, gagasan itu ia teruskan ke parlemen. Pada 1930 ia mendirikan Turkish Historical Society yang bertujuan menjadi sumber utama narasi sejarah Turki. Dua tahun kemudian ia juga mendirikan Turkish Language Society.

Kebijakan itu pun berdampak pada kaum perempuan di Turki. Kemal melarang penggunaan cadar, melarang poligami, dan mewajibkan semua pernikahan diatur dalam hukum sipil. Terakhir, pada 1934, perempuan diberikan hak politik untuk ikut memilih dalam pemilu. Setelah kebijakan ini dijalankan, delapan belas perempuan berhasil terpilih menjadi anggota parlemen Turki pada 6 Februari 1935. Perubahan sosial besar-besaran berupa penghargaan kepada hak perempuan ini sepuluh tahun lebih cepat dari negara-negara besar di Eropa.

Mustafa Kemal Atatürk meninggal pada November 1938 akibat penyakit liver yang dideritanya. Posisi presiden Republik Turki digantikan oleh İsmet İnönü hingga 1950, ketika partainya kalah dalam pemilu.

Baca juga artikel terkait TURKI atau tulisan lainnya dari Tyson Tirta

tirto.id - Politik
Penulis: Tyson Tirta
Editor: Windu Jusuf