Menuju konten utama

Aspek Hukum yang Mengikat Saat Jokowi akan Memindahkan Ibu Kota

Dalam urusan pindah ibukota, Jokowi harus memperhatikan aspek hukum yang mengikat.

Aspek Hukum yang Mengikat Saat Jokowi akan Memindahkan Ibu Kota
Ilustrasi Monas. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Rencana pemindahan ibu kota kian serius diperbincangkan. Presiden Joko Widodo melalui akun Instagram-nya, pada Kamis (8/8) sudah menyebut calon lokasi ibu kota baru, dengan pilihan yang mengerucut ke tiga provinsi: bisa di Kalimantan Tengah, Timur, atau Selatan.

“Segala aspek dalam proses pemindahan itu—skema pembiayaan, desain kelembagaan, payung hukum regulasi mengenai pemindahan ibu kota—sedang dikaji secara mendalam dan detail, sehingga keputusan nanti benar dalam visi ke depan kita,” tegas Jokowi.

Di era pemerintahan Jokowi, rencana pemindahan ibu kota telah digodok sejak akhir April silam. Dalam rapat terbatas bertajuk "Tindak Lanjut Rencana Pemindahan Ibu Kota", Jokowi menyatakan pemindahan ibu kota merupakan bagian dari "kepentingan yang lebih besar untuk bangsa" dan upaya "menyongsong kompetisi global".

Mulanya, Menteri Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Bambang Brodjonegoro menyatakan terdapat tiga alternatif terkait pemindahan ibu kota. Pertama, ibu kota tetap di Jakarta tetapi dibentuk distrik pemerintahan, yang lokasinya berada di sekitaran Monumen Nasional (Monas) dan Istana Negara. Distrik pemerintahan ini merupakan tempat berkumpulnya kantor-kantor pemerintah, khususnya kementerian dan lembaga. Kedua, pusat pemerintahan dipindah ke luar Jakarta dengan radius 50-70 kilometer dari Jakarta. Ketiga, ibu kota pemerintahan pindah ke luar Jawa.

Kekuasaan yang Melekat

Lewat unggahan yang sama, Jokowi mengatakan bahwa keputusan memindahkan ibu kota diambil dalam kapasitasnya sebagai kepala negara, bukan kepala pemerintahan.

“Dalam memutuskan pemindahan ibu kota ini, posisi saya bukan sebagai kepala pemerintahan tetapi sebagai kepala negara. Kita harus melihat visi besar berbangsa dan bernegara untuk 10 tahun, 50 tahun, dan 100 tahun yang akan datang,” terang presiden kelahiran Solo ini.

Pernyataan Jokowi di atas bisa dibaca sebagai penegasan atas legitimasinya selaku pemimpin negara sesuai amanat Undang-Undang 1945. Di Indonesia, karena pemerintahan menganut sistem presidensial, jabatan presiden tak sekadar kepala negara, melainkan juga kepala eksekutif.

Michael Genovese dalam bukunya berjudul The Presidency and the Challenge of Democracy (2006) menjelaskan dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan presiden akan terus berkembang: bukan sekadar kekuasaan yang tercantum secara eksplisit di konstitusi. Karena, pada hakikatnya, yang tertulis di konstitusi tak cukup jelas memberikan batasan terhadap kekuasaan yang dimiliki presiden.

Kekuasaan presiden, Genovese bilang, hadir dalam dua bentuk: formal dan informal di mana keduanya akan saling berinteraksi satu sama lain untuk menentukan seberapa besar (dan jauh) kekuasaan presiden. Kekuasaan formal berkisar pada kekuasaan yang disebut dalam konstitusi. Sementara kekuasaan informal bersumber dari mekanisme politik yang ada.

Seiring waktu, kekuasaan presiden tak cuma muncul dalam posisi formal dan informal. Genovese mengatakan kekuasaan presiden bertambah dengan pengelompokan sebagai berikut: enumerated power (kekuasaan dari konstitusi), implied power (tersirat dalam konstitusi), resulting power (kumpulan dari antar-kekuasaan), serta inherent power (kekuasaan yang melekat).

Di Indonesia, kekuasaan presiden diatur dalam beberapa pasal UUD 1945: dari kekuasaan untuk membentuk undang-undang (Pasal 20 ayat (2), (4), (5)), kekuasaan atas militer (Pasal 10), kekuasaan membikin perjanjian internasional (Pasal 11), kekuasaan memberikan grasi, amnesti, maupun abolisi (Pasal 14), hingga kekuasaan terhadap pemerintahan yang sah (Pasal 4).

Sistem UUD 1945, tulis Bagir Manan dalam Lembaga Kepresidenan (1999), menghendaki suatu penyelenggaraan pemerintahan yang kuat dan stabil dengan prinsip eksekutif tunggal. Artinya, dalam menjalankan pemerintahan, presiden berfungsi sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan serta tak bertanggung jawab kepada DPR maupun MPR sehingga menjadikan kedudukannya kuat di mata hukum maupun politik.

Pasal yang merepresentasikan hal tersebut yakni Pasal 4 (ayat) 1 UUD 1945. Dalam pasal ini dijelaskan bahwa “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.” Maksud dari ‘kekuasaan pemerintahan’ itu, terang Manan, ialah kekuasaan eksekutif.

Kekuasaan eksekutif sendiri dibagi ke dalam dua jenis: umum dan khusus. Kekuasaan bersifat umum adalah kekuasaan menyelenggarakan administrasi negara, sedangkan kekuasaan yang bersifat khusus yaitu penyelenggaraan tugas maupun wewenang pemerintahan yang bersifat prerogatif—dimiliki presiden.

Presiden, dalam kapasitasnya sebagai kepala negara dan pemerintahan, punya ruang lingkup kekuasaan yang luas. Ini, catat Rahayu Prasetyaningsih dalam “Menakar Kekuasaan Presiden dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Menurut UUD 1945”, berdampak pada satu hal: tidak semua tugas maupun wewenang presiden diatur dalam UUD. Seperti halnya yang terjadi pada kebijakan pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan.

infografik 10 tahun wacana pindah ibukota

infografik 10 tahun wacana pindah ibukota

Aspek Lain yang Mengikat

Walaupun presiden punya kekuasaan untuk menetapkan ibu kota yang baru, akan tetapi ia tak serta-merta dapat memutuskan begitu saja kebijakannya. Pemindahan ibu kota punya implikasi hukum luas yang melibatkan kewenangan berbagai macam lembaga negara.

Yang jelas terlihat yakni pemindahan ibu kota otomatis mengubah beberapa aturan yang ada. Djuanda, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Bengkulu, memberi contoh antara lain Pasal 2 ayat (2) UUD 1945—yang menyebut bahwa MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibu kota negara. Ketika pemindahan ibu kota berhasil direalisasikan, maka aturan ini juga perlu dirombak dengan mengikuti wilayah ibu kota yang baru.

“Lembaga negara tunduk pada UUD 1945, termasuk soal rencana pindah ibu kota. Presiden setidaknya harus mengamandemen pasal tersebut bersama MPR bila nantinya pemindahan ibu kota dari Jakarta direalisasikan,” ungkapnya.

Kemudian, pemindahan ibu kota juga turut mengubah aturan soal penetapan Provinsi Jakarta sebagai Daerah Khusus Ibukota (DKI) yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 Tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan ditunjuknya ibu kota yang baru, maka status Jakarta sebagai DKI akan gugur dan berpindah ke wilayah yang baru. Presiden, terang Djuanda, mesti merumuskan kembali—mengubah atau merevisi UU bersangkutan—bersama DPR. Ini merujuk pada Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan membentuk undang-undang ada pada DPR serta Pasal 20 ayat (2) di mana setiap rancangan undang-undang (RUU) dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.

Proses hukum seperti ini, Djuanda bilang, merupakan bukti implementasi Indonesia sebagai negara demokratis. Kendati memegang tampuk kekuasaan eksekutif, presiden tetap harus taat aturan dan UUD. Dalam konteks rencana pindah ibu kota, maka presiden mesti berkoordinasi dengan lembaga terkait seperti MPR dan DPR untuk merumuskan formula hukum baru yang mendukung legalitas kebijakan.

“Pemindahan ibu kota tentu melihat dari aspek politik, sosiologis, dan ekonomis. Namun, aspek hukum juga mesti diprioritaskan dan dikaji secara komprehensif karena ini menjadi landasan kebijakan yang berbentuk regulasi,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait PEMINDAHAN IBUKOTA atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Hukum
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti