Menuju konten utama

Asal-Usul Pola Makan Tiga Kali Sehari

Pola makan tiga kali sehari adalah dampak dari Revolusi Industri di Inggris yang membuat para pekerja tak hanya harus mengatur jam kerjanya, tapi juga jam makannya. Kini jadwal itu kembali fleksibel dan mendorong orang lebih sering ngemil.

Asal-Usul Pola Makan Tiga Kali Sehari
Ilustrasi. FOTO/Istock

tirto.id - Pernahkah Anda iseng bertanya kepada diri sendiri: mengapa sejak kecil kita dibiasakan untuk makan tiga kali sehari (sarapan, makan siang, dan makan malam)? Mengapa tidak dua? Atau empat? Atau bahkan 10?

Dalam konteks kebiasaan (habit), pola makan tiga kali sehari tak lepas dari oleh konstruk sosial yang dibentuk oleh masyarakat pada era terdahulu. Denice Winterman dari BBC menyediakan jawaban atas pertanyaan tersebut dengan membuat laporan tentang sejarah singkat bagaimana masyarakat di terdahulu menemukan dan kemudian membiasakan sarapan, makan siang, dan makan malam. Sebuah struktur makan, yang menurut Denice, tak ada sebelum masyarakat mulai beranjak modern.

Sarapan tak ada dalam kamus masyarakat era Kekaisaran Romawi. Mereka biasa makan sehari sekali di sekitar tengah hari. Dalam wawancara dengan Winterman, sejarawan makanan Caroline Yeldham berkata bahwa rakyat Romawi dulu terobsesi dengan sistem pencernaan tubuh dan menganggap makan lebih dari sekali dalam sehari sebagai tanda keserakahan.

Di era setelahnya, pola makan terpengaruh oleh pesatnya tingkat religiusitas di Eropa dan mulai ada kebiasaan untuk makan di jam-jam pagi—meski tak sepagi sekarang. Jelang abad 17, dipercaya masyarakat Eropa dari segala kelas sosial makin terbiasa sarapan di jam yang lebih awal dari sebelumnya. Semuanya bermula dari kebiasaan orang kaya di Inggris. Hingga tahun 1740-an, mulai muncul ruangan khusus sarapan di rumah-rumah bangsawan Eropa.

Revolusi Industri di Inggris pada pertengahan abad 19 mengubah masyarakat menjadi lebih modern. Salah satu ciri modernitas adalah gaya hidup yang terstruktur alias berpola. Untuk urusan sarapan juga demikian. Para pekerja dipatok jam kerja yang ketat, maka mereka membiasakan sarapan untuk mengisi tenaga sepanjang hari. Semua pekerja melakukannya tanpa kecuali, bahkan bos-bos mereka.

Pada 1920 dan 1939, pemerintah negara-negara di Eropa—yang kemudian menyebar ke Amerika Serikat dan negara lain—mulai mempromosikan pentingnya sarapan, namun Perang Dunia II membuat akses menuju sarapan amat susah. Keadaan kembali normal dan masyarakat dunia bisa kembali mengakses sarapan dengan layak usai PD II selesai. Di Eropa dan AS sendiri, sarapan dengan menu kopi instan, roti tawar, dan sereal mulai populer.

Beralih ke makan siang, salah satu teori lahirnya kata “lunch” diyakini berasal dari kata Anglo-Saxon lawas “nuncheon” yang berarti “makan cepat di antara dua waktu makan dengan sesuatu yang bisa kamu pegang di tangan”. Menurut Yeldam kebiasaan ini dilestarikan hingga akhir abad 17. Teori lain berkata bahwa “lunch” berasal dari kata “nuch” yang digunakan sekitar abad 16 dan 17 untuk menyebut roti berukuran besar.

Namun, di antara sekian teori, kebiasaan rakyat Perancis untuk “souper” di abad ke-17 lah yang membentuk apa yang hari ini kita sebut makan siang. Kala itu rakyat Perancis untuk makan makanan ringan saja di kala malam sehingga makan berat dialihkan ke waktu siang. Kebiasaan modis ini kemudian diterapkan oleh bangsawan Inggris dan menyebar ke rakyat jelata.

Revolusi Industri juga berpengaruh. Pola makan rakyat kelas menengah dan bawah didefinisikan oleh jam kerja. Banyak pekerja yang menghabiskan waktu dari pagi hingga sore untuk membanting tulang, sehingga makan siang adalah sesuatu yang sama pentingnya dengan sarapan. Meski waktunya mepet, mereka akan tetap mengusahakannya.

Kebiasaan ini melahirkan produksi dan penjualan kue pie di sekitar pabrik. Pie, dan makanan cepat saji lain, akhirnya menjadi menu favorit karena tak mungkin para pekerja mengandalkan menu “slow food” di tengah beban kerja yang berat.

Akibat kebiasaan yang demikian populer, pada abad ke-19 restoran-restoran dengan menu beragam muncul. Para pekerja, berkat perjuangan aktivis buruh, juga disediakan waktu jam makan siang selama satu jam. Namun perang dunia yang pecah di tahun 1939 membuat pola makan siang agak terganggu.

Pasca-perang, era 1950-an, kafe semakin banyak. Produksi roti, terutama untuk makan siang, semakin besar sehingga harganya juga makin murah. Proses produksi ini disebut dengan istilah “The Chorleywood Process.” Roti isi kemudian populer untuk makan siang, terutama yang bisa dibeli cepat dan dibawa ke tempat kerja. Dahulu berbeda seperti sekarang. Meski harus lanjut kerja, dulu para pekerja masih santai saat menyantap makan siang. Kini, dengan persaingan dan beban kerja yang makin intens, semua terasa makin terburu-buru.

Saat pekerja kelelahan usai bekerja seharian, sore menjelang malam menjadi waktu yang tepat untuk mulai beristirahat. Kondisi lelah inilah yang kemudian memunculkan kebiasaan makan malam. Kebiasaan “full meal” dianggap hadiah yang pantas dinikmati usai seharian mencari nafkah. Malam juga waktu yang tepat untuk keluarga berkumpul, sehingga mulai era 1950-an, mulai ada kebiasaan untuk makan malam bersama keluarga.

Infografik Kapan Penduduk Dunia Makan

Makan Berat No, Ngemil Yes

Menurut profesor sekaligus sejarawan dari Yale University, Paul Freedman, kebiasaan makan sehari tiga kali lebih untuk urusan sosial-budaya ketimbang biologis. Editor buku Food: The History of Taste itu berkata kepada HowStuffWorks bahwa munculnya pola makan tiga kali sehari sesederhana karena orang-orang nyaman dengan kebiasaan ini.

Namun, kebiasaan makan tiga kali sehari juga lambat-laun mengalami perubahan saat masyarakat makin modern, kata Freedman. Mereka musti menyesuaikan diri dengan “jadwal modern.” Orang-orang modern rata-rata memiliki jam kerja yang tinggi dan waktu senggangnya diisi dengan olahraga maupun mengkonsumsi gajet. Kondisi ini mengacaukan jadwal makan tiga kali sehari, digantikan dengan “makan selaparnya.”

Pendapat Freedman didukung oleh hasil riset Euromonitor International yang dipublikasikan pada 2011 lalu. Menurut riset ini, dalam beberapa dekade terakhir terdapat perubahan jadwal makan tiga kali sehari. Jadwal menjadi lebih fleksibel. Faktor penyebabnya adalah gaya hidup yang supersibuk, jam kerja yang melebihi beban normal, makin populernya gaya hidup melajang, dan meningkatnya jumlah perempuan yang bekerja.

Sekarang makan didikte oleh pekerjaan dan aktivitas penyegar pikiran ketimbang mengaturnya sesuai jam karena, misalnya, kebutuhan atas alasan kesehatan. Survei Euromonitor mengungkap bahwa jam makan yang fleksibel dilakukan oleh orang-orang di Brazil, Inggris, dan AS. Sementara, orang-orang di Cina, Perancis, maupun Jepang masih berusaha untuk mempertahankan pola makan yang terstruktur.

Dampak dari gaya hidup ini, sebagaimana juga disampaikan Freedman, adalah orang-orang menjadi lebih suka ngemil alias makan camilan. Pertumbuhan pesat industri camilan muncul di Brasil, Cina, dan India. Orang India, misalnya, senang telat makan siang dan makan malam (41 persen makan siang pukul 14.00-15.00 dan 63 persen makan malam pukul 20.00-21.00), namun juga gemar makan camilan sepanjang hari.

Akibat kebiasaan makan terlalu dini, separuh responden Cina makan camilan usai makan malam pada pukul 20.00-21.00. Warga Brasil melakukannya pada pukul 22.00-23.00. Sementara itu, cara makan camilan orang Perancis dan Inggris lebih diatur jamnya. Sebanyak 41 persen warga Inggris makan camilan pukul 10.00-11.00, sedangkan warga Perancis pukul 16.00-17.00.

Dunia modern juga berpengaruh pada kebiasaan makan berat. Warga dunia semakin terburu-buru untuk sarapan. Kebiasaan makan makanan kemasan, makanan cepat saji atau sekedar kue-kue dengan cara “on to go” makin populer. Di sisi lain, kebiasaan makan siang semakin dihindari akibat tekanan kerja yang makin tinggi.

Alih-alih menyantap makanan di kantin atau restoran, sebagian orang kini terbiasa makan siang di meja kerja. Alasannya, tentu saja, agar lebih efektif dalam memanfaatkan waktu.

Baca juga artikel terkait DIET atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Maulida Sri Handayani