Menuju konten utama

Asal-usul Kreativitas

Kreativitas bukan berasal dari pemenuhan kebutuhan primer hingga sekunder saja. Ia juga datang saat manusia dan spesies lain di planet ini dilimpahi banyak waktu luang. Saat tak ada ancaman maupun beban, inovasi muncul dengan sendirinya. Dalam proses penciptaannya, kreativitas juga tak dimonopoli salah satu bagian otak manusia (kanan atau kiri).

Asal-usul Kreativitas
Pengunjung mengamati "powered car" saat mengunjungi Science Festival 2016 SD Islam Al Azhar di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (25/5). Kegiatan yang mengusung tema "The Incredible Science Phenomena" tersebut bertujuan untuk memacu kreativitas dan menambah kecintaan para siswa terhadap ilmu pengetahuan. ANTARA FOTO/Moch Asim.

tirto.id - Istilah kreativitas atau creativity dicetuskan oleh Alfred North Whitehead, seorang matematikawan sekaligus filsuf asal Inggris yang pernah menggagas Teori Proses. Sebagai sebuah proses, kreativitas menunjukkan suatu daya di alam semesta yang memungkinkan hadirnya entitas aktual yang baru berdasarkan entitas aktual-entitas aktual yang lain. Dengan kata lain, kreativitas mengandung prinsip kebaruan alias novelty.

Dibandingkan makhluk lain di muka bumi, manusia memiliki daya kreativitas terunik. Atas kemampuannya itu, manusia telah mampu menjamah hampir semua sudut planet ini. Hasrat atas inovasi juga meluap-luap dalam diri manusia. Namun, manusia ternyata bukan satu-satunya spesies yang dibekali dengan hasrat serta kemampuan atas inovasi. Para ilmuwan telah mendokumentasikan kemampuan berinovasi dari makhluk lain, demi menelusuri asal-usul kreativitas.

Teori lawas tentang inovasi muncul karena makhluk hidup memiliki kebutuhan yang mesti dipenuhi untuk bertahan hidup. Akan tetapi kini muncul cara pandang baru. Rujukannya ada pada penelitian primatologis Carel van Schaik dari University if Zurich, yang meneliti bagaimana perilaku orang utan terhadap sumber makanannya.

“Ketika makanan menjadi langka, orang utan menerapkan mode hemat energi. Mereka meminimalkan gerakan dan fokus pada makanan-makanan dengan kualitas kelas dua yang jatuh dari pohon,” kata Carel sebagaimana dikutip Scientific American.

Strategi tersebut cukup berkebalikan dengan prinsip utama inovasi, tapi juga cukup masuk akal sebab sudah dipertimbangkan sebelumnya. “Mencoba sesuatu yang baru dapat beresiko. Anda dapat cedera atau kena racun, dan kejadian itu berdampak serius pada investasi atas waktu, energi, dan perhatian. Sedangkan hasil yang diharapkan dari usaha baru itu juga tidak pasti,” imbuh Carel.

Penelitian tentang kelangkaan pada manusia sebagaimana yang diujicobakan Carel pernah dipublikasikan pada Jurnal Science pada tahun 2013. Studi ekonom Harvard University Sendhil Mullainathan dan ilmuwan Pricenton University Eldar Shafir itu melibatkan sejumlah orang yang berpendapatan rendah. Hasilnya, saat orang-orang itu mengalami masalah finansial, kemampuan berfikir logis maupun mencari solusi baru turun secara drastis.

Studi lanjutan mengungkap temuan bahwa petani tebu India memperoleh skor tes kognitif yang lebih baik saat mereka menerima bayaran tahunan atas produksi agraria mereka—yang berguna untuk menyelesaikan permasalahan finansial mereka dalam jangka waktu pendek.

Kesimpulannya, orang-orang memang akan melakukan apapun untuk bertahan hidup, yang dalam sejumlah kasus melahirkan berbagai inovasi. Namun, berdasarkan studi-studi lanjutan, jika pikiran seseorang terus-menerus sibuk dengan masalah yang mendesak (seperti pemenuhan kebutuhan akan tempat berteduh atau makanan pokok), tak akan ada banyak kapasitas yang tersisa untuk mencari solusi jangka panjang. Selalu penyelesaian untuk jangka pendek.

Sumbangsih Waktu Luang dan “Otak Kolektif”

Lalu dari mana kah asal-usuk kreativitas?

Temuan yang menarik atas penelitian Carel adalah fakta bahwa orang utan akan lebih kreatif saat berada di penangkaran. Alasannya, penangkaran menyediakan makanan plus tak ada predator. Tiba-tiba mereka memiliki lebih banyak waktu dan aktivitas yang bisa dilakukan, bebas dari segala tekanan dan gangguan. Melakukan inovasi, eksplorasi dan percobaan di penangkaran juga tak dihadapkan pada konsekuensi buruk atau berbahaya. Mereka kehilangan rasa takut yang secara alamiah muncul saat hidup di alam liar.

Dalam penelitian yang tahun lalu dipublikasikan American Journal of Primatologi itu, Carel pernah menaruh sebuah benda baru di penangkaran dan sarang orang utan liar. Jika orang utan di penangkaran segera menyambut dan bermain dengan benda baru itu, lain halnya dengan orang utan liar yang perlu waktu berbulan-bulan untuk sekedar mendekatinya. Tanpa pendekatan, apalah arti dari sebuah inovasi?

“Jadi, jika kau bertanya padaku asal-usul penciptaan, jawabanku adalah: kesempatan adalah ibu dari setiap inovasi,” tegas Carel. Kesempatan tanpa ada tekanan atau rasa takut, adalah pondasi dari setiap penemuan baru. Ia membuka lebar-lebar cakrawala kreativitas pada makhluk hidup. Jadi bukan soal kebutuhan yang mesti dipenuhi, namun juga soal seni memanfaatkan waktu luang.

Ahli evolusi biologis Joe Henrich dari University of British Columbia, yang baru-baru ini menulis buku tentang peran kebudayaan dalam kesuksesan spesies manusia menguasai dunia, berujar bahwa kejeniusan seseorang dalam berinovasi yang tak lepas dari di mana ia tinggal. Sejarah, menurutnya, telah menunjukkan bahwa penemuan baru selalu memperbaiki yang sebelumnya.

“Sebagian besar hal-hal yang kita gunakan setiap hari adalah inovasi yang tak ada manusia tunggal yang mampu merancangnya. Alih-alih menyebutnya sebagai produk dari inovasi individual, penemuan itu dapat dianggap sebagai produk dari masyarakat kita. Inovasi bergantung pada pembelajaran satu manusia terhadap manusia lainnya. Itulah fungsi masyarakat, seperti 'otak kolektif',” papar Henrich.

Mitos Otak Kanan-Otak Kiri

Sebagian besar masyarakat dunia masih meyakini bahwa otak terbagi dalam dua bagian. Bagian kiri otak diyakini sebagai sumber temuan yang realistis berkat kumpulan sirkuit analitis, praktikal, terorganisir, dan tak ketinggalan, logis. Sedangkan otak kanan adalah sumber dari hasrat, sensualitas, rasa, dan segala hal yang puitis serta artsy.

Teori itu sesungguhnya mitos belaka. Sudah banyak ahli saraf yang mematahkannya. Antara lain Anna Abraham, Mark Beeman, Adam Bristol, Kalina Christoff, Andreas Fink, Jeremy Gray, Adam Green, Rex Jung, John Kounios, Hikaru Takeuchi, Oshin Vartanian, dan Darya Zabelina. Temuan mereka menjungkirbalikkan pemahaman orang awam selama ini (saking populernya sampai dipakai sebagai teori pegangan para motivator kecerdasan) dan memberi penjelasan baru soal kreativitas.

Intinya, kreativitas tak ada hubungannya dengan dominasi salah satu bagian otak, baik kanan maupun kiri, depan ataupun belakang. Saat otak sedang memproses sebuah proses kreatif, dari proses persiapan hingga akhirnya tercerahkan, proses kognisi dan emosi yang timbul terdiri dari banyak sekali interaksi antar bagian otak. Tergantung dari pada tahap apa Anda sedang berproses kreatif, daerah otak yang berbeda direkrut untuk menangani tugas tersebut.

Bagian-bagian otak yang direkrut bekerja dalam sebuah tim hingga proses kreatif selesai. Bagian-bagian otak itu juga berasal baik dari area sebelah kanan maupun kiri. Sebagaimana dikutip Scientific American, sebuah penelitian yang telah berjalan selama beberapa tahun terakhir membuktikan bahwa “kognisi [kreatif] dihasilkan dari interaksi dinamis dari sejumlah area otak yang beroperasi di sebuah jaingan skala besar.”

Proses kreatif yang satu berbeda dengan yang lain, begitu juga bagian otak yang dibutuhkan dalam kerja kolektifnya. Inovasi, penciptaan baru, bukan monopoli salah satu bagian otak kita. Seperti sebuah kantor, proses perekrutan dari masing-masing departemen sesuai dengan proyek dan tugas yang datang.

Bagaimana pun juga, meski berasal dari bagian-bagian yang berbeda, otak manusia mirip dengan kodratnya sebagai makhluk sosial: mesti bekerja secara kolektif agar mampu menghasilkan sesuatu yang berguna.

Baca juga artikel terkait KREATIVITAS atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Humaniora
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti