Menuju konten utama

AS Kalah di Vietnam tapi Menang Banyak di Indonesia Berkat Soeharto

Asia Tenggara 1970-an adalah neraka. Serdadu AS menjatuhkan satu bom tiap 8 menit di Laos.

Bendera Vietnam dan Amerika Serikat. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Memasuki dekade 1960-an, situasi politik di kawasan Asia Tenggara semakin bergejolak, seiring kekuatan besar dunia—Amerika Serikat, Cina, Uni Soviet—saling berebut pengaruh strategis di negara-negara bekas koloni nan kaya sumber daya. Mata-mata Amerika melalui badan intelijen CIA, misalnya, mulai aktif berburu informasi sampai ke Indonesia demi menguak persenjataan dan alutsista Soviet. Kisah ini salah satunya diceritakan oleh mantan agen CIA Daniel F. Cameron dalam buku berjudul “In Red Weather: Turmoil In Indonesia: A CIA Insider's Account From the 1960s”, resmi dirilis pada Juni 2021.

Cameron tiba di Surabaya pada 1960 dan turut berperan menyukseskan Operasi Habrink, salah satu misi penting CIA selama Perang Dingin untuk memperoleh dokumen manual tentang cara kerja persenjataan canggih buatan Uni Soviet. Kala itu, Soviet rutin menyuplai perlengkapan militer untuk bangsa-bangsa lain yang menjalin kedekatan, termasuk negara di kawasan Asia Tenggara seperti Vietnam dan Indonesia.

John McBeth mengulas sebagian isi buku Cameron dalam artikel berjudul “How a CIA operation in Indonesia turned the Vietnam War” yang terbit di Asia Times akhir Maret silam. Dalam menjalankan misinya, Cameron menjalin kontak dengan seorang informan asal Belanda, veteran perlawanan bawah tanah Perang Dunia II bernama Wim Vermeulen, yang berada di Indonesia untuk mendampingi istrinya berbisnis barang antik.

Pada 1964, Vermeulen berhasil mendapatkan dokumen terkait SA-2 Guideline, sebuah sistem peluru kendali darat ke udara buatan Soviet. Senjata ini berperan menembak jatuh pesawat pengintai U-2 milik Amerika Serikat yang dipiloti oleh Francis Gary Powers pada 1960 di wilayah udara Soviet. Di Vietnam Utara, senjata ini terbukti ampuh melumpuhkan pesawat-pesawat pengebom Amerika lainnya, B-52 Stratofortress.

Temuan Vermeulen tentang SA-2 Guideline berhasil diteruskan kepada intelijen AS. Berbekal informasi berharga tersebut, militer AS menemukan cara untuk menghancurkan sistem pertahanan udara di Hanoi, misalnya dengan mengacaukan frekuensi radio yang dipakai untuk mengarahkan misil ke sasaran.

Masih dilansir dari tulisan McBeth, terbongkarnya peran serta Vermeulen dalam misi di atas tidak bisa dipisahkan dari aksi David Barnett, agen CIA lain yang beroperasi di Surabaya pada 1967-70. Barnett diketahui menjual informasi tentang Operasi Habrink kepada pihak Soviet, termasuk detil para informan CIA seperti Vermeulen, demi memperoleh uang untuk membayar utang pribadinya. Akibatnya, Barnett harus dipenjara 18 tahun. Pada 1980, Barnet jadi agen CIA pertama yang dijatuhi hukuman atas kejahatan spionase dalam 33 tahun sejarah berdirinya badan intel tersebut.

Asia Tenggara yang Carut Marut

Lika-liku perjalanan agen rahasia seperti Cameron, Vermeulen dan Barnett hanyalah segelintir kisah di balik kompleksnya strategi kebijakan pertahanan AS di Asia Tenggara sepanjang dekade 1960-an. Kala itu, konflik masih terus berkecamuk di Vietnam antara pemerintahan komunis sokongan Uni Soviet-Cina di bagian utara dan pasukan anti-komunis di selatan yang didukung dengan logistik dan militer AS. Pada waktu yang sama, ribuan serdadu Thailand diterjunkan ke medan peperangan di Vietnam, seiring negara monarki tersebut dibanjiri paket bantuan ekonomi dari AS sekaligus dimanfaatkan sebagai pangkalan militer Angkatan Udara AS untuk menerbangkan pesawat-pesawatnya menuju langit Vietnam Utara.

Misi Amerika juga ditemui di Laos, monarki yang posisinya dipandang strategis sebagai negara penangkal (buffer state) masuknya paham komunis ke Asia Tenggara. Pemerintah AS mengerahkan dukungannya pada Kerajaan Lao dalam pemberantasan gerakan nasionalis-komunis Pathet Lao, yang mendapat bantuan dari pasukan Vietnam Utara. Sejak 1964, pasukan Amerika sudah mulai memborbardir Laos. Selama hampir satu dasawarsa, terdapat total 580 ribu misi pengeboman di Laos—rekor buat Laos sebagai negara penerima bom per kapita terbanyak di dunia (serangan bom setiap 8 menit setiap hari selama 9 tahun). Di samping itu, operasi rahasia CIA di sana melibatkan prajurit paramiliter setempat. Sebanyak 30 ribu rakyat Laos (kebanyakan orang suku Hmong) direkrut untuk dilatih oleh Angkatan Darat Kerajaan Lao.

Pada 1965, Presiden Lyndon B. Johnson memutuskan Amerika Serikat harus lebih gencar ambil peran di Vietnam. Tahun itu, puluhan ribu pemuda Amerika dikirimkan untuk memerangi Vietcong.

Masih pada 1965, ketegangan antara Presiden Soekarno, TNI Angkatan Darat, dan kubu Partai Komunis Indonesia (PKI) mencapai puncaknya dengan insiden penculikan dan pembunuhan terhadap tujuh perwira militer TNI-AD, yang dicurigai berada di balik rencana kudeta presiden. Di bawah komando Letjen Soeharto yang disokong kekuatan Angkatan Darat, kubu PKI dituding sebagai biang keladi di balik malam jahanam 1 Oktober. Dampaknya berujung pada tragedi pembantaian massal terhadap rakyat sipil yang diduga berafiliasi dengan PKI sepanjang 1965-66.

Washington, yang selama ini dihantui paranoia akan kejatuhan Asia Tenggara ke tangan komunis, ikut memberikan dukungan kepada Soeharto dan Angkatan Darat untuk menghabisi gerakan kiri di Indonesia. Sebagaimana diulas oleh sejarawan LIPI Asvi Warman Adam dalam studi berjudul “How Indonesia’s 1965-1966 anti-communist purge remade a nation and the world” (2015), deklasifikasi dokumen menunjukkan bahwa intelijen AS menyumbang sejumlah dana dan perangkat radio, sampai memberikan lampiran daftar nama anggota PKI kepada Angkatan Darat. Operasi “kampanye gelap” anti-komunis juga datang dari otoritas Australia dan Inggris yang punya markas intel di Singapura.

Mitos “Teori Domino”

Sejak pertengahan 1950-an, pandangan para pemangku kebijakan di Washington soal urgensi memberantas pengaruh komunis di Asia Tenggara mulai mengerucut, khususnya terkait area Indocina (Vietnam, Laos, Kamboja). President Dwight D. Eisenhower menganggap jatuhnya Indocina ke dalam pengaruh komunis akan berdampak pada kemenangan kiri di negara-negara Asia Tenggara—yang bahkan dipandang bisa meluas sampai ke penjuru Asia-Pasifik. Pandangan ini populer dengan nama “teori domino”.

Eisenhower mencetuskannya pada 1954 dalam pidato tentang kepentingan strategis AS di kawasan Indoncina. Eisenhower menekankan Indocina kaya akan timah, logam tungsten, sampai perkebunan karet. Namun, apabila mereka jatuh ke tangan kediktatoran komunis, Amerika dan dunia bebas lainnya bakal merugi besar. Pasalnya, setelah Indocina dikuasai kelompok komunis, negara-negara sekitar seperti Burma (Myanmar), Thailand sampai Indonesia dikhawatirkan jatuh. Akibatnya, Barat akan kehilangan akses material dan sumber daya manusia di sana. Ketakutan inilah yang menjustifikasi keterlibatan AS ke dalam konflik Vietnam dan kelak negara-negara lain di sekitarnya.

Imajinasi efek domino ini mengakar kuat di kepala petinggi Washington sampai dekade 1960-an. Sebelum mengirim pemuda Amerika dalam jumlah besar ke Vietnam (totalnya selama 1965-69 mencapai lebih dari 500 ribu personel), Presiden Lyndon B. Johnson sebenarnya sudah dibayangi keraguan. Seperti dikutip dari curahan hatinya lewat telepon pada 1964 kepada salah satu penasihatnya, McGeorge Bundy, Johnson tidak menganggap Vietnam maupun Laos pantas diperjuangkan.

Infografik Kebijakan Pertahanan AS di Asia Tenggara

Infografik Kebijakan Pertahanan AS di Asia Tenggara. tirto.id/Quita

Namun demikian, pada akhirnya Johnson tetap memerintahkan intervensi militer. Profesor sejarah dari University of Arkansas, Randall Woods, mengungkapkan sejumlah alasan di balik keputusan Johnson untuk terjun ke Vietnam. Yang utama, tentu saja, Johnson khawatir pengaruh Soviet akan meluas apabila Vietnam jatuh seutuhnya ke kubu komunis. Di samping itu, sebagai seseorang yang punya visi developmentalis, Johnson masih memendam cita-cita bahwa Vietnam Selatan bisa diselamatkan sehingga nanti ekonominya bangkit seperti Korea Selatan.

Ketika sejumlah besar energi Washington dicurahkan pada intervensi militer di Indocina, gejolak politik yang lebih dahsyat justru ditemui di Indonesia. Pada 1965, PKI, partai komunis terbesar ketiga di dunia, dihabisi dalam pembantaian massal. Soekarno perlahan kehilangan pengaruhnya seiring kubu Angkatan Darat dan Soeharto mulai menancapkan kaki kekuasaannya.

Seiring waktu, pasukan AS di Indocina mulai merasa bahwa keberuntungan tidak berpihak pada mereka. Konflik di Vietnam diperkirakan memakan korban jiwa sampai 2 juta orang Vietnam dan 58 ribu serdadu Amerika. Pada 1973, pemerintah AS menarik mundur pasukan terakhirnya dari Vietnam. Bersamaan dengan itu, gencatan senjata disepakati kelompok komunis Pathet Lao dengan pasukan monarki di Laos, yang tak lama kemudian sukses menggulingkan kepemimpinan Raja Lao. Di Kamboja, konflik perebutan kekuasaan berujung pada kudeta demi kudeta sampai pemerintahan jatuh ke tangan Khmer Merah pimpinan Pol Pot. Memasuki dekade 1970-an, kubu komunis mulai keluar sebagai pemenang di konflik Indocina.

Terlepas Indocina (terutama Vietnam yang selama ini dianggap sebagai domino terbesar) jatuh ke tangan komunis, insiden di Indonesia-lah yang kelak dipandang signifikan sebagai penentu arah penyebaran komunisme di kawasan sekitar. Pada akhirnya, lengsernya PKI di Indonesia membuka mata elite politik Washington bahwa pengaruh komunisme di Asia Tenggara mulai meredup, demikian disampaikan Vincent Bevins dalam buku The Jakarta Method: Washington’s Anticommunist Crusade and the Mass Murder Program that Shaped Our World (2020).

Dalam Jakarta Method, Bevins mencoba mengungkap bagaimana pemusnahan kelompok kiri di Indonesia sepanjang 1965-66 menimbulkan reaksi di negara-negara tetangga (bahkan sampai ke Amerika Latin), dan pada waktu yang sama ikut memengaruhi arah strategi kebijakan pertahanan AS di kawasan Asia.

Bevins mengambil contoh Program Phoenix yang diluncurkan militer AS, dibantu otoritas Australia dan Vietnam Selatan pada 1968. Program ini disokong oleh CIA, sebagaimana mereka turut berperan di balik kudeta-kudeta militer yang pernah terjadi di Guatemala (1953), Irak (1963) sampai tragedi 1965-66 di Indonesia. Dalam operasi Phoenix, paramiliter dikerahkan untuk memburu gerilyawan-gerilyawan komunis yang menyamar di pedesaan Vietnam Selatan. Alih-alih mengobarkan peperangan, pemberantasan gerakan komunis dilakukan melalui pembantaian terhadap rakyat tak bersenjata—dengan angka korban diperkirakan mencapai puluhan ribu—sampai 1972.

Masih dilansir dari buku karya Bevins, di Kamboja, tokoh gerakan komunis Pol Pot mengamati bahwa kejatuhan PKI membuktikan mereka sudah gagal karena menjalin kerjasama dengan Soekarno, pemimpin yang selama ini tampak berusaha netral. Di mata Pol Pot, PKI tidak punya kekuatan militer atau angkatan bersenjata, serta terkesan pasrah dengan proses demokrasi prosedural. Ia pun sampai pada kesimpulan bahwa Khmer Merah tidak boleh meniru strategi serupa. Kelak Pol Pot mengerahkan kekuatan militer sampai akhirnya berhasil mengambil alih kekuasaan Kamboja dari Lon Nol—jenderal anti-komunis pro-Washington—pada 1975.

Di Thailand, pembantaian terhadap kelompok kiri juga terjadi di bawah komando militer negara yang disebut ISOC (Internal Security Operations Command). ISOC berada di balik pembunuhan sejumlah mahasiswa dan tokoh kiri di Thammasat University (1976) dan ribuan warga desa yang dituding sebagai komunis di provinsi Phatthalung (1972). Pemberantasan gerakan komunis di Indonesia juga dipandang oleh Bevins turut menginspirasi kasus penghilangan orang di Guatemala pada 1966, sebuah taktik teror yang dipercaya sejumlah sejarawan baru pertama kali ditemukan di wilayah Amerika Latin.

Baca juga artikel terkait IMPERIALISME atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Windu Jusuf