Menuju konten utama

AS Cabut Status 'Indonesia Negara Berkembang', Defisit Bisa Melebar

Amerika adalah negara tujuan ekspor kedua. Dengan hilangnya insentif karena pencabutan status negara berkembang, Indonesia merugi. 

AS Cabut Status 'Indonesia Negara Berkembang', Defisit Bisa Melebar
Presiden Donald Trump berbicara pada rapat umum kampanye di Battle Creek, Mich., Rabu, 18 Desember 2019. Paul Sancya/AP

tirto.id - Pemerintah memperkirakan pencabutan status negara berkembang Indonesia dalam perdagangan internasional bakal berpengaruh signifikan pada neraca perdagangan. Keputusan Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) itu dipastikan akan berefek pada hilangnya sejumlah fasilitas yang selama ini mempermudah masuknya barang dari Indonesia ke AS.

“Jelas berisiko defisit,” ucap Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso di Jakarta, Senin (24/2/2020).

Fasilitas Generalize System of Preference (GSP) selama ini dinikmati Indonesia dalam bentuk keringanan bea masuk. Fasilitas ini diberikan hanya terbatas bagi negara berkembang dan akan dievaluasi setiap beberapa waktu.

Bila dicabut, Indonesia praktis bakal diganjar bea masuk normal atau Most Favoured Nation (MFN). Dengan kata lain, Indonesia akan kehilangan faktor daya saingnya dalam pasar AS.

“Ekspor pasti terpengaruh. 12,9 persen ekspor kita ke AS. GSP kita kan sangat besar. Angka-angkanya teman-teman (Kementerian) perdagangan yang tahu, tapi pasti terpengaruh,” ucap Susi.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), selama 2019 kemarin AS adalah negara tujuan ekspor kedua Indonesia. Porsinya mencapai 11,41 persen dengan nilai perdagangan 17,68 miliar dolar AS. AS hanya kalah 1 peringkat dari Cina yang porsi ekspornya mencapai sekitar 16,68 persen.

Pada tahun 2019, defisit neraca perdagangan Indonesia baru saja membaik sepanjang lima tahun terakhir. Defisit pada 2018 mencapai minus 8,70 miliar dolar AS, sementara tahun lalu tersisa minus 3,20 miliar dolar AS.

Susi juga membenarkan bila komoditas yang menjadi andalan ekspor Indonesia bakal terdampak. Misalnya komoditas crude palm oil (CPO) atau kelapa sawit.

“Makanya kita harus segera respons. Kalau perlu RUU omnibus perpajakan didorong. Kan, ada insentif fiskal luar biasa,” kata Susi.

Presiden AS Donald Trump jengkel dan merasa dirugikan karena banyak negara yang menurutnya pura-pura saja jadi negara berkembang hanya agar mendapat perlakuan istimewa dalam perdagangan internasional. Salah satu yang pura-pura itu menurutnya Indonesia.

Baca juga artikel terkait DEFISIT PERDAGANGAN atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Bisnis
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino