Menuju konten utama

Arya Wedakarna: "Raja" dan Politisi Populis Pulau Bali

Memainkan sentimen dan gerakan ekonomi etnik, Wedakarna mengarahkan bara sentimen kepada para pendatang di Bali.

Arya Wedakarna:
Ilustrasi Arya Wedakarna. tirto.id/Quita

tirto.id - Sebuah unggahan di Facebook dan Instagram menarik perhatian saya. Ia datang dari Arya Wedakarna, anggota DPD yang mewakili daerah Bali. Di akunnya, Wedakarna mengumumkan pembentukan milisi bernama Tameng Marhaen.

Wedakarna menulis (diedit oleh penulis tetapi posting lengkap ada di tautan): “Atas restu pusat, segera dibentuk Tameng Marhaen di Bali. Bertugas mengamankan Bali dari serangan Kaum Kadrun dan menjaga Bali dari serangan Khilafah ... Tameng Marhaen saat tahun 1965-1967 Gestok, sukses memberantas PKI di Bali dan menyelamatkan ratusan ribu bahkan jutaan rakyat Bali dibawah panji PNI Sukarnois. Dibawah Komando Sukmawati Sukarno dan Arya Wedakarna (AWK ) segera Tameng Marhaen dibangkitkan kembali.”

Saya tidak tahu apa yang dimaksud oleh Wedakarna “atas restu pusat.” Tapi, di bagian lain tulisannya, dia mengatakan kuncinya “dukung Jokowi hingga 2024 dan kawal kepemimpinan nasional 2024. Jangan sampai Khilafah berkuasa di Indonesia pada 2024.” Saya tidak pernah mendengar hubungan antara Jokowi dan Tameng Marhaen; juga tidak terlalu jelas apa yang dimaksud dengan “Khilafah.”

Selain itu, Wedakarna menargetkan akan membasmi “Kadrun lokal dan Kadrun nasional, termasuk radikalis yang masih tersebar di sejumlah instansi negara.” Kadrun yang dimaksud adalah “Kadal Gurun”, buzzword mencemooh terhadap oposisi pemerintahan Jokowi, khususnya dari kalangan Islam garis keras.

Tameng dalam bahasa Bali berarti ‘perisai.’ Untuk banyak orang Bali, istilah ini menyimpan ingatan sangat brutal dan pahit. Ia terkait pembantaian terhadap anggota dan pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI) 1965-1966.

Tameng adalah milisi sipil yang bernaung di bawah Partai Nasional Indonesia (PNI) di Bali. Pendirinya adalah Wedastra Suyasa, tokoh PNI di Bali, ayah dari Arya Wedakarna sendiri.

Banyak studi tentang pembantaian 1965 di Bali mengatakan anggota-anggota Tameng adalah pelaku utama pembantaian. Dengan koordinasi dan logistik dari tentara, Tameng mampu melakukan pembantaian sangat efektif. Dalam perkiraan konservatif, ada lebih dari 80 ribu orang dibantai. Jumlah ini sekitar 5% dari jumlah penduduk Bali saat itu. Angka pembantaian per kapita di Bali sangat tinggi bahkan mengalahkan pembantaian per kapita oleh rezim Pol Pot di Kamboja.

Hampir tak ada keluarga Bali tak terimbas oleh pembantaian ini, baik sebagai korban atau pelaku. Karena ikatan sosial yang kuat, banyak pembantai dan yang dibantai sesungguhnya masih dalam ikatan satu keluarga besar. Spiral kekerasan menjadi tak terkendali karena ‘intimate killings’ ini. Artinya, pembantai dan yang dibantai masih satu keluarga. Kekerasan terjadi karena konflik dalam keluarga besar. Politik dan ideologi hanya menjadi pemantik dan penyiram bensinnya.

Sejarah pahit itu sulit dilupakan tapi mudah untuk diulang.

Itulah sebabnya saya terkesima ketika ada seorang politisi dengan pengaruh besar di tingkat akar rumput berencana membangkitkan kembali Tameng. Apakah dia tahu risikonya? Mengingat politisi bersangkutan adalah keturunan langsung pendiri Tameng, saya tidak sedikit pun meragukan pengetahuannya tentang sejarah Tameng. Saya kira Arya Wedakarna tahu persis apa yang dia lakukan.

Yang menjadi teka-teki: Mengapa tiba-tiba dia berkeinginan membangkitkan Tameng? Tujuan politik apa yang hendak dia capai? Saya kira jawabannya ada pada politik populis yang telah dan sedang dijalankan Arya Wedakarna.

Memanggungkan Citra lewat Media Sosial

AWK, demikian dia dikenal di Bali, adalah seorang politisi kontroversial. Namun justru dari kontroversi itulah peruntungan politiknya menanjak. Dia mengaku dirinya Raja Majapahit Bali. Gelarnya berubah-ubah tapi selalu panjang-panjang mengalahi gelar sultan-sultan Mataram Islam.

Dia pernah menyebut diri, salah satunya, sebagai “Ratu Ngurah Shri I Gusti Arya Wedakarna Mahendradatta Wedasteraputra Kaping III, Abhiseka Raja Majapahit Bali Sri Wilatikta Tegeh Kori Kresna Kepakisan XIX.” Klaim ini dia munculkan jauh sebelum ada fenomena seperti Keraton Agung Sejagat, Sunda Empire, atau Keraton Ubur-ubur.

Namun, akhir-akhir ini, entah karena alasan apa, gelar Raja Majapahit Bali itu tidak pernah dia pakai lagi. Awal tahun ini, Wedakarna dilaporkan ke Polda Bali oleh beberapa organisasi terkait klaim gelar sebagai raja tersebut. Ia juga tidak lagi tampil dengan pakaian kebesaran raja. Kini dia lebih sering berpakaian kasual. Bahkan lebih sering berbaju safari putih, pakaian pejabat yang dipopulerkan administrasi Presiden Jokowi.

Wedakarna adalah wajah generasi baru politisi Indonesia. Dia berangkat dari tingkat lokal dengan cara-cara tidak konvensional. Dia sangat pandai memainkan citra (image) dan sangat intensif memakai media sosial.

Dia mengklaim diri raja. Tetapi, ketika dikonfirmasi, dia hanya mengatakan keturunan raja. Dan, dia tidak segan-segan menampilkan citra ke-raja-annya itu di depan publik. Rumahnya—sebenarnya bekas art shop yang bangkrut—ditahbiskannya menjadi Istana Mancawarna. Dia mendekorasinya layaknya seperti istana. Dia menerima tamu-tamunya lengkap dengan pakaian-pakaian kebesaran layaknya seorang raja.

Kepiawaiannya di media sosial membuat dia selalu tampil moncer di depan publik. Dia memiliki tim khusus untuk mengelola media sosialnya. Penampilan Wedakarna selalu dipanggungkan (staged) dengan rapi. Dia memiliki tim yang mempersiapkan kunjungan-kunjungannya. Tim ini memastikan dia tidak akan ditempatkan di belakang dan dia menjadi pusat perhatian.

Dia juga mengeluarkan banyak dana untuk beriklan di beberapa media lokal. Untuk Wedakarna, setiap hari adalah kampanye. Kegiatan hariannya diunggah ke media sosial dan sebagai advertorial di media lokal. Orang-orang berpengaruh yang singgah di Istana Mancawarna pasti akan segera diumumkan dengan menekankan pentingnya peranan diri dalam pertemuan-pertemuan tersebut.

Wedakarna memiliki seperempat juta pengikut (followers) di Instagram dan sekitar 339 ribu di Facebook. Jumlah yang tidak terlalu buruk untuk seorang politisi lokal. Tentu jumlah ini tidak bisa dibandingkan dengan, misalnya, Susi Pudjiastuti, mantan Menteri Perikanan yang populer itu. (Susi memiliki 3,1 juta pengikut di Instagram.)

Wedakarna memainkan citra sebagai manusia lengkap tanpa cacat. Selain sebagai raja, dia mempresentasikan diri sebagai orang sangat terdidik. Dia adalah Rektor Universitas Mahendradatta, universitas lokal yang didirikan ayahnya. Dia pernah menjadi orang termuda yang menjabat rektor (usia 28 tahun). Dia pernah tercatat dalam MURI sebagai doktor termuda dalam ilmu pemerintahan (usia 27 tahun). Gelar doktor itu disabetnya pada 2007 dari Universitas Satyagama, universitas di Jakarta yang berdiri pada 1998. Tiga tahun sebelumnya, dia meraih gelar magister ilmu pemerintahan di universitas yang sama. Selain itu, Wedakarna mewakili kemudaan. Dia cukup tampan dan mantan coverboy untuk sebuah majalah remaja.

Wedakarna adalah juga President (sic!) dari The Sukarno Center. Dia mengklaim mewarisi ideologi ayahnya yang petinggi lokal Partai Nasional Indonesia, partai yang didirikan oleh Bung Karno. Dia kerap menyisipkan istilah-istilah Marhaen dalam pidato maupun postingnya di media sosial. Marhaen adalah istilah Bung Karno untuk menyebut golongan proletariat di Indonesia. Marhaenisme, menurut Bung Karno, adalah ajaran Marxisme yang diterapkan sesuai dengan alam dan kultur masyarakat Indonesia. Kaum Marhaen adalah golongan buruh dan tani (proletar) yang hidupnya dalam cengkeraman kaum borjuis (pemilik modal).

Tentu saja, dilihat dari sudut apapun, Wedakarna bukan seorang Marhaen.

Dia memproyeksikan diri sebagai raja, lengkap dengan segala kemegahannya, dan seorang sangat terdidik (seorang doktor). Namun, dia mengklaim berjuang untuk kaum Marhaen. Sehingga dia tidak pernah surut menyelipkan kata-kata perjuangan untuk rakyat Marhaen dalam kampanye publiknya. Ia juga berusaha tampil se-Sukarnois mungkin. The Sukarno Center pimpinannya juga mengelola Museum Bung Karno yang memajang memorabilia presiden RI pertama itu.

Ironisnya, lembaga ini tidak banyak menarik minat anak dan cucu Sukarno. Satu-satunya anak Bung Karno yang sering tampil di The Sukarno Center adalah Sukmawati Soekarnoputri, Ketua Umum PNI Marhaenisme. Sukmawati seakan-akan menjadi pemberi cap agar The Sukarno Center tetap memiliki hubungan dengan Bung Karno. Sementara anak-cucu Sukarno yang lebih populer dan memegang kekuasaan penting, seperti Megawati Soekarnoputri (Ketua Umum PDIP) atau Puan Maharani (Ketua DPR-RI), tidak pernah kelihatan muncul di sana.

Memainkan Sentimen dan Gerakan Etnis Berbalut Agama

Selain itu, Wedakarna adalah pendiri sekaligus ketua The Hindu Center of Indonesia. Dan, ketimbang The Sukarno Center, Wedakarna lebih memiliki pengaruh lewat lembaga keagamaan ini.

The Hindu Center menjadi alat untuk memobilisasi dana lewat Dana Punia. Publik tidak pernah tahu berapa dana yang pernah terkumpul dan penggunaannya. Namun, yang lebih sering tampak di depan publik adalah kaitan antara The Hindu Center dan gerakan Sukla Satyagraha. Ini adalah gerakan yang sesungguhnya bertujuan untuk penguatan ekonomi umat Hindu. Namun gerakan ini dengan cepat bertransformasi menjadi gerakan ekonomi etnik (ethnic economy).

Lewat gerakan Sukla Satyagraha, Wedakarna mendefinisikan kemandirian ekonomi dengan identitas etnik. Dalam pengertian asalnya, sukla bermakna murni (pure), bersih, dan tidak tercemar. Sukla biasanya diterapkan pada benda yang akan dipakai untuk upacara keagamaan. Benda-benda ini harus bukan bekas pakai, tidak tercemar kotoran, tidak ditempatkan di tempat kotor (di dekat WC atau pernah dilangkahi), dan sebagainya.

Namun, Wedakarna memperluas pengertian sukla hingga menyerupai konsep halal dalam Islam. Dia pernah mengatakan sukla adalah makanan yang dipersiapkan secara bersih dan suci dalam konsep agama Hindu. Dalam praktiknya, apa yang disebut sukla adalah makanan-makanan yang tidak mengandung sapi, makanan vegetarian, atau yang paling umum adalah makanan non-halal yang mengandung babi. Wedakarna seringkali mempromosikan makanan yang “100% haram” di akun media sosialnya.

Tidak itu saja, gerakan Sukla Satyagraha mengeluarkan sertifikat dan stiker sukla untuk para pedagang makanan. Wedakarna mendorong setiap warung Bali (maksudnya: non-Muslim) untuk memasang stiker dan sertifikat sukla. Juga memasang plangkiran atau tempat sembahyang kecil. Ini akan menjadi penanda bahwa warung ini warung Bali.

Makanan-makanan sukla seperti itu diklaimnya sebagai makanan untuk semeton (saudara) Bali. Wedakarna kemudian menghubungkan konsep sukla dengan kemandirian ekonomi (satyagraha) orang Bali. Dengan cara demikian, Wedakarna menarik garis tegas antara ekonomi orang Bali dan orang luar Bali yang dikenal orang-orang ‘dauh tukad’ (sebelah barat sungai), istilah yang secara implisit mengacu pada orang Jawa dan Muslim.

Dan Wedakarna memainkan isu itu dengan sangat efektif.

Dengan cerdik dia memainkan perasaan ketertinggalan orang Bali dari migran khususnya yang berasal dari Jawa. Perasaan seperti itu seakan mengamini keresahan-keresahan di tingkat massa, khususnya yang muncul di kalangan orang Bali.

“Orang dauh tukad datang, jual bakso, terus beli tanah; sementara orang Bali jual tanah untuk beli bakso,” begitulah kira-kira seringkali sentimen itu diungkapkan. Sentimen-sentimen terhadap kaum dauh tukad itu diungkapkan secara terselubung maupun terang-terangan oleh Wedakarna.

Wedakarna sesungguhnya telah lama memainkan sentimen etnis berbungkus agama ini. Pada 2003, dia pernah melancarkan protes kepada novelis Dewi Lestari atas lambang Omkara yang dipakai dalam kover Supernova 2: Akar. Wedakarna, saat itu menjabat Forum Intelektual Muda Hindu Dharma Bali, mengatakan Omkara adalah lambang yang disakralkan oleh umat Hindu dan pemakaiannya “melukai” umat Hindu.

Dia juga memprotes sampul album Iwan Fals Manusia 1/2 Dewa. Dia beranggapan Dewa Wisnu dalam sampul itu melecehkan umat Hindu. Protes lain pernah dia lancarkan kepada sutradara Garin Nugroho untuk film Sinta Obong. Ketika melancarkan protes itu, Wedakarna berstatus sebagai ketua World Hindu Youth Organization (WHYO, Organisasi Pemuda Hindu Sedunia).

Protes-protes itu sebelum Wedakarna menjadi politisi. Profil protesnya semakin meningkat seiring semakin naiknya kekuasaan politiknya. Pada 2014, dia menolak keberadaan Bank Syariah di Bali. Dia juga dituduh memobilisasi massa untuk menolak pengajian Ustaz Abdul Somad di Denpasar. Tuduhan berakibat pada pelaporan dirinya ke Badan Kehormatan DPD. Wedakarna menolak tuduhan ini dengan mengatakan penolakan sudah terjadi sebelum dia terlibat dalam peristiwa ini. Dia juga pernah menolak acara “Bali Bersholawat 2” yang diadakan di Jembrana. Menurutnya, pemakaian kata “Bali” itu sudah melukai perasaan rakyat Bali.

Wedakarna selalu memosisikan diri sebagai pembela rakyat Bali dan umat Hindu pada khususnya.

Namun, di kalangan umat Hindu pun, Wedakarna mengeksplotasi perbedaan-perbedaan yang ada. Awal tahun ini, Wedakarna memantik kontroversi karena kritiknya kepada para Sulinggih (pendeta Brahmana) dan beberapa soroh (clan). Beberapa organisasi Hindu dan bahkan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) menganjurkan Wedakarna untuk meminta maaf kepada pihak-pihak yang merasa tersakiti.

Infografik Arya Wedakarna

Infografik Arya Wedakarna. tirto.id/Quita

Angin Populisme Kanan

Wedakarna adalah seorang politisi populis. Saya mendefinisikan populisme secara longgar sebagai penciptaan kekuatan politik oleh seorang politisi dengan mengeksploitasi pembelahan dalam masyarakat, khususnya membangun keresahan massa-rakyat kepada elite-elite politik yang mapan.

Politisi populis mengaku ia mewakili rakyat kecil (wong cilik) yang tertindas sekalipun dia bukan bagian dari masyarakat itu. Dia menawarkan perspektifnya tentang mengapa rakyat kecil itu tertindas dan terbuang. Dalam perspeketif Wedakarna, mereka bisa jadi adalah kaum Marhaen. Atau, para semeton Bali yang kalah dalam pertarungan ekonomi melawan pendatang dauh tukad. Penindasan ini terjadi akibat dari konspirasi para elite.

Politis populis mahir dalam menarik dukungan dari kaum terbuang (deplorables) atau menciptakan perasaan sebagai kaum terbuang. Politisi jenis ini tidak pernah mempersatukan (unifying) melainkan selalu membelah (dividing). Mereka tidak sekadar mengeksploitasi politik identitas tapi juga memberikan bobot perasaan atau mental terbuang kepada identitas. Politisi yang memobilisasi dukungan dengan politik identitas biasanya menyatukan orang dengan perasaan sama sebagai saudari/a satu suku, agama, bangsa, atau identitas lain. Tapi, seorang populis akan menambah bobot identitas itu dengan perasaan terbuang dan menjadi korban dari konspirasi kemapanan elite.

Sepak terjang Wedakarna mengingatkan saya kepada beberapa politisi populis seperti Donald J. Trump di Amerika Serikat, Jair Bolsonaro di Brasil, Viktor Orbán di Hungaria, dan terutama Narendra Modi di India. Persamaan dari semua politisi ini adalah mereka semua Populis Kanan. Label Kanan perlu ditambahkan di sini karena ada juga populisme Kiri. Kedua jenis populisme ini sama-sama memobilisasi orang-orang biasa yang merasa terbuang dan menjadi korban konspirasi para elite. Perbedaannya ada pada elite yang berkonspirasi.

John B. Judis menyebut Populisme Kiri bersifat dyadic karena hanya mengeksploitasi pertentangan antara massa-rakyat dengan kaum elite. Politik kaum Populis Kiri adalah memainkan antagonisme kelas bawah dengan para elite. Populis Kiri berbeda dari gerakan-gerakan sosialis karena tidak menganjurkan penghapusan kapitalisme.

Sementara Populisme Kanan lebih bersifat triadic karena selain mengeksploitasi pertentangan antara rakyat biasa dan kaum elite, mereka juga menuduh para elite berkolusi dengan pihak ketiga. Populis Kanan ini disebut triadic karena “melawan ke atas, tapi juga ke samping, ke kelompok-kelompok horisontal.” Para Populis Kanan membikin narasi pihak ketiga atau ‘the others’ sebagai pihak yang bertanggungjawab atas segala kesusahan dan kesulitan hidup wong cilik. Pihak ketiga itu, dalam bahasa Wedakarna, adalah pendatang dauh tukad.

Wedakarna berulangkali menyerukan pengetatan kontrol atas pendatang. Dia rajin mengingatkan pendatang akan mengubah kultur dan adat Bali. Dia mengungkapkan kekhawtirannya orang Bali akan menjadi ‘tamiu atau tamu di rumah sendiri’ dan pendatang akan mengambilalih segalanya sehingga orang Bali akan kehilangan identitasnya.

Menariknya, pandangan yang sama tidak dia terapkan pada turisme, yang sumbangannya pada perubahan sosial, politik, lingkungan, dan kebudayaan, paling signifikan pada masyarakat Bali selama kurang lebih lima puluh tahun terakhir. Wedakarna sadar persis turisme adalah kekuatan terlalu besar untuk dilawan dan tidak ada gunanya untuk dilawan.

Alih-alih mengarahkan perhatian pada problem sosial raksasa yang muncul karena turisme, dia memilih untuk menumpukan semua kesalahan dan kerusakan pada kaum pendatang dauh tukad. Hampir semua politik Wedakarna di tingkat lokal sesungguhnya diabdikan untuk mewaspadai kaum pendatang dengan menjadikan mereka sebagai asing, yang lain (the others). Dia mengipasi bara etnis dengan menciptakan rasa terancam oleh pendatang ‘dauh tukad.’ Proyek kemandirian ekonominya sesungguhnya promosi ekonomi etnik. Itu ditunjukkan dengan pemberian sertifikat dan stiker sukla serta menganjurkan peletakan plangkiran. Proyek sukla ini lebih mengedepankan identitas etnis ketimbang penguatan ekonomi.

Dalam pengamatan saya, Wedakarna adalah politisi populis dengan kemampuan manipulatif paling hebat saat ini di Indonesia. Dia menggunakan Facebook dan Instagram semahir Trump menggunakan Twitter. Dia tahu kapan saat yang tepat untuk menohok suatu isu dan kapan harus mundur dan bersembunyi. Dia juga tahu persis bagaimana harus menanggapi kritik dan tidak membuatnya membesar, yakni dengan menolak membahasnya. Keahlian-keahlian seperti ini sangat jarang dimiliki politisi Indonesia.

Satu-satunya alasan Wedakarna tidak akan pernah menjadi politisi di tingkat nasional adalah karena keterbatasan arena yang dia miliki. Dia hanya menarik konstituen orang Bali dan mungkin sebagian umat Hindu. Ini adalah blok pemilih (voting bloc) yang sangat kecil dalam ukuran Indonesia. Elite-elite politik Indonesia dan partai-partai politik menghindar untuk menggandeng Wedakarna persis karena persoalan ini. Mereka membutuhkan populis dengan kekuatan blok pemilih lebih besar. Saya tidak bisa membayangkan seandainya muncul politisi Muslim model Wedakarna. Tentu tidak terlalu sulit baginya untuk merebut kursi kepresidenan.

Alarm Berbahaya dari Milisi Tameng Marhaen

Wedakarna adalah politisi paling populer di Bali saat ini. Pengikut-pengikutnya memperlakukan dia bagaikan sebuah kultus.

Di ruang-ruang publik, dia dipanggil dengan sebutan mulia sebagai “Ratu” (raja) atau “Ajik” (bapak). Wedakarna menyuarakan apa yang mereka rasakan dalam keseharian. Dan, Wedakarna sangat mahir dalam melakukan politik eceran (retail politics), yakni politik tatap muka dan membicarakan isu-isu penting dengan bahasa sehari-hari.

Saya sendiri menikmati mengamati fenomena ini. Sungguh menyenangkan melihat seorang politisi berganti kulit mengikuti perubahan iklim politik. Juga mengamati bagaimana mereka berusaha mempresentasikan dirinya. Untuk Wedakarna, salah satu favorit saya adalah bagaimana dia mewartakan pemihakannya kepada Warung Sukla dengan berbelanja dan makan di sana dan tidak lupa mengunggah di akun Facebooknya. Warung itu adalah warung langganannya sejak kecil.

Demikian sukanya dia akan makanan di sana, dia memesan dua porsi sekaligus. Terlihat Wedakarna dengan pakaian adat Bali yang rapi sedang menghadapi makanan. Apa yang menarik dalam foto itu adalah sendok dan garpu perak. Wedakarna sedang memakai garpu miliknya (orang Indonesia biasa makan dengan sendok!) sementara sendok miliknya tertinggal di kotak berukir dan berlapis beludru merah.

Banyak komentar yang menyoroti kehadiran peralatan makan, yang menurut dugaan banyak orang tentu tidak disediakan oleh pihak warung yang bersahaja itu. Tidak terlalu aneh kemudian orang menduga bahwa Wedakarna makan di warung dengan sendok perak yang dibawa sendiri dari rumah!

Seaneh apapun itu, Wedakarna sudah berhasil membangun citranya sebagai ningrat. Dia konsisten tampil sebagai raja, hingga iklim politik berbalik dan menjadi raja tidak lagi terlalu populer. Mungkin juga sorotan negatif kepada Keraton Agung Sejagat atau Kerajaan Ubur-ubur telah menggerus popularitas sebagai raja. Tambahan lagi: dia harus menghadapi kasus hukum karena klaimnya sebagai Raja Majapahit Bali.

Namun, semua keganjilan seorang politisi yang menyenangkan itu hilang ketika Wedakarna mulai melemparkan rencana untuk membentuk milisi Tameng Marhaen. Sekalipun tidak aneh untuk saya karena untuk politisi Populis Kanan, pembentukan milisi ini adalah sebuah keniscayaan. Kelompok-kelompok ultra-kanan dan rasis (far-rights) selalu terdiri dari milisi-milisi bersenjata.

Untuk saya, Tameng Marhaen ini adalah dering peringatan kritis bahwa Wedakarna sudah melangkah terlalu jauh. Dia membelah masyarakat Bali lebih dalam. Saya tahu bahwa dia sangat mengerti tentang pembantaian 1965. Dengan demikian, dia melakukan ini dengan kalkulasi matang seorang politisi. Dia mengeksploitasi persoalan ini karena peruntungan politiknya sedang menurun.

Setelah membentuk milisi lalu apa? Mempersenjatainya?

Baca juga artikel terkait POLITISI atau tulisan lainnya dari Made Supriatma

tirto.id - Politik
Reporter: Made Supriatma
Penulis: Made Supriatma
Editor: Fahri Salam