Menuju konten utama

Arus PRT Setelah Libur Lebaran

Banyak pekerja rumah tangga (PRT) memutuskan tak kembali ke kota setelah lebaran. Tapi, pekerja baru pun berdatangan seiring libur lebaran usai.

Arus PRT Setelah Libur Lebaran
Ilustrasi. Sejumlah Pembantu Rumah Tangga (PRT) pengganti atau infal beristirahat di tempat Penyalur Tenaga Kerja Bu Gito, Jakarta, Selasa (20/6). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Setelah lebaran, biasanya banyak orang dari banyak daerah berdatangan ke Ibukota untuk mengadu nasib. Salah satu pekerjaan yang dituju adalah menjadi Pekerja Rumah Tangga (PRT). Kedatangan PRT yang baru menjejakkan kaki di Jakarta menjadi masuk akal, sebab banyak PRT memilih tak kembali setelah mereka pulang ke kampung halaman di kala lebaran.

Yayasan Tiara Kasih Bunda, sebuah yayasan penyalur PRT di Cibubur, adalah salah satunya. Yayasan ini sudah menerima sepuluh orang calon PRT yang siap disalurkan. Sepuluh orang itu merupakan perempuan dari daerah Cianjur dan kota lain di Jawa Tengah.

Pengurus Yayasan, Wuri, mengatakan kesepuluh PRT itu akan siap dalam dua minggu ke depan. Mereka nantinya akan dikontrak jangka panjang, yakni selama sembilan bulan untuk bekerja sebagai PRT.

"Saat ini sudah ada, tapi belum datang. Mungkin dua minggu lagi mereka akan [tiba] di Jakarta, baru kemudian kami salurkan," kata Wuri kepada Tirto, 28 Juni 2017.

Selain sepuluh orang itu, saat ini masih ada lima orang PRT infal yang masih belum selesai kontraknya. Lima orang itu masing-masing dikontrak selama satu bulan khusus pada Idul Fitri. Wuri mengatakan setelah kontrak infal selesai, biasanya mereka akan lanjut untuk kontrak panjang selama sembilan bulan.

"Kalau yang infal mereka akan pulang dulu, setor uang ke keluarga. Setelah itu biasanya balik lagi untuk kontrak permanen," ungkapnya.

Di Yayasan Dwi Asih, penyalur PRT di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, peningkatan peminat pendaftar untuk menjadi PRT belum terlihat. Namun saat ini mereka masih memiliki sejumlah PRT dengan kontrak infal dan tetap.

"Belum ada yang datang lagi, tapi biasanya nanti ada banyak," kata Abdul pengurus Yayasan Dwi Asih.

Masalah Stereotipe dan Upah PRT

Masih banyak orang yang menyebut PRT sebagai pembantu. Stereotipe ini sangat lekat, padahal sesungguhnya PRT bukanlah pembantu seperti yang dipikirkan. PRT adalah pekerja, sama seperti pekerja umumnya. Mereka melakukan pekerjaan untuk mendapat upah.

Stereotipe ini berdampak secara langsung pada cara orang menghargai PRT, termasuk dalam urusan upah.

Upah PRT masih jauh dari kelayakan. Di Jakarta misalnya, PRT rata-rata digaji hanya separuh dari UMR. Irma Suryani, anggota Komisi X DPR RI, dalam satu wawancara dengan Tirto, mengkhawatirkan tidak ada orang yang mau menggunakan jasa PRT jika upahnya menggunakan UMR.

“Di Jakarta saja UMR Rp3,1 juta. Padahal para PRT rata-rata dibayar Rp 1,3 juta sampai Rp 1,5 juta. Yang ada nanti orang tidak mau mempekerjakan PRT,” kata Irma.

Upah ini tentu sangat berbeda dengan jasa bersih-bersih rumah yang biasanya dihitung berdasarkan jam. Layanan Go-Clean dari Go-Jek misalnya, menerapkan tarif 45 ribu per jam untuk jasa bersih-bersih. Jika dibandingkan dengan gaji PRT, gaji PRT masih jauh dari layak.

Mirisnya lagi, sebagian PRT nyaris bekerja tanpa jam kerja dan jenis pekerjaan yang pasti. Semua hal dikerjakan, hampir selama 24 jam dalam sehari. PRT pun tidak memiliki perlindungan dalam legalitas sebagai pekerja. Sampai saat ini pemerintah dan DPR belum juga mengesahkan UU PRT yang sudah diajukan sejak tahun 2004.

Baca juga artikel terkait LEBARAN 2017 atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Maulida Sri Handayani