Menuju konten utama

Artidjo Alkostar Enggan Tanggapi Pengajuan PK Anas Urbaningrum

Menurut Atidjo, mengomentari perkara yang akan berproses atau telah ia tangani tidak sesuai dengan etika hakim.

Artidjo Alkostar Enggan Tanggapi Pengajuan PK Anas Urbaningrum
Mantan Hakim Agung Artidjo Alkostar. ANTARA FOTO/R. Rekotomo

tirto.id - Hakim Agung Artidjo Alkostar enggan mengomentari keinginan peninjauan kembali terpidana kasus korupsi Pembangunan Pusat Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang Anas Urbaningrum. Sebab, menurut Artidjo, hal itu tidak sesuai dengan etika hakim.

"Tidak perlu saya jawab karena etika daripada hakim itu sangat ketat. Tidak boleh kami mengomentari perkara yang akan berproses atau telah saya tangani," kata Artidjo di Gedung MA, Jakarta, Jumat (25/5/2018).

Dalam kode etik dan pedoman perilaku hakim, seorang hakim dilarang mengomentari putusan hakim lain. Hal itu tertuang dalam surat keputusan bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009.

Pada poin 3.2 ayat 6 dinyatakan bahwa hakim tidak boleh memberi keterangan, pendapat, komentar, kritik atau pembenaran secara terbuka atas suatu putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, kecuali dalam sebuah forum ilmiah yang hasilnya tidak dimaksudkan untuk dipublikasikan yang dapat mempengaruhi putusan Hakim dalam perkara lain.

Meskipun enggan mengomentari PK Anas, Artidjo menanggapi sikap orang yang mengkritisi putusan perkara Anas. Berdasarkan penelusuran, mantan Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva sempat mempertanyakan sikap Artidjo yang menambahkan unsur hukuman kepada Anas.

Dalam pengadilan tingkat pertama dan banding dinyatakan bahwa hak Anas untuk dipilih dalam jabatan publik tidak perlu dicabut. Namun dalam pertimbangan kasasi Anas, majelis hakim Artidjo dan Hamdan selaku majelis hakim kala itu menilai pertimbangan tersebut keliru. Sebaliknya, MA justru berpendapat bahwa publik atau masyarakat justru harus dilindungi dari fakta, informasi, persepsi yang salah dari seorang calon pemimpin.

Selain itu, Artidjo dan dua hakim menolak keberatan Anas yang menyatakan bahwa tindak pidana asal dalam tindak pidana pencucian uang (TPPU) harus dibuktikan terlebih dahulu. Majelis Agung mengacu pada ketentuan Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU yang menegaskan bahwa tindak pidana asal tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu.

Menurut Artidjo, sebuah perkara naik ke tingkat kasasi selama memenuhi tiga unsur, yakni ada kekeliruan dalam penerbitan putusan, melampaui batas saat memberikan putusan, dan pertimbangan hukum harus terurai dengan baik. Hakim Agung bisa mengadili tidak berdasarkan alasan terdakwa mengajukan kasasi selama sesuai UU Mahkamah Agung.

Artidjo berpandangan, dirinya sudah mempunyai dua modal besar dalam membuat keputusan. Pertama, hakim agung yang pensiun 22 Mei 2018 lalu itu aktif sebagai advokat selama 24 tahun. Kedua, ia aktif sebagai pengajar di Universitas Islam Indonesia.

"Jadi banyak komentator itu tidak tahu hukum tentang hukum acara dan hukum UU MA. Mereka berkomentar seolah-olah tahu. Itu disayangkan," kata Artidjo.

Baca juga artikel terkait KORUPSI HAMBALANG atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Yuliana Ratnasari