Menuju konten utama
Piala Dunia 2018

Arti Penting Diego Costa dalam Taktik Hierro di Timnas Spanyol

Ketajaman Diego Costa di Piala Dunia 2018 adalah sinyalemen untuk tak meremehkan seorang penyerang murni di turnamen pendek.

Arti Penting Diego Costa dalam Taktik Hierro di Timnas Spanyol
Selebrasi gol kedua Diego Costa pada pertandingan Grup B antara Timnas Portugal vs Timnas Spanyol di Stadion Fisht, Sochi, Rusia, Sabtu (16/06/2018). AP Photo/Francisco Seco

tirto.id - Sebelum menghadapi Spanyol, Iran mempunyai rekor mentereng: anak asuh Carlos Queiroz itu tak terkalahkan dalam 22 pertandingan dan 18 di antaranya tanpa kebobolan. Terakhir mereka mengalahkan Maroko 1-0 di Piala Dunia 2018.

Untuk itu, Fernando Hierro, pelatih Spanyol, pun membuat perkiraan, “Mereka [Iran] akan menyulitkan pada pertandingan ini.”

Ya, Iran memang benar-benar menyulitkan Spanyol. Namun, bukan hanya karena rekor mentereng mereka tersebut, melainkan juga karena pendekatan yang mereka lakukan di sepanjang pertandingan: Iran bertahan total dengan memainkan formasi 6-3-1.

Iran bertahan layaknya sebuah tim bola tangan. Semua pemain Iran turun ke daerah permainan mereka sendiri dan hampir semuanya berada di sekitar daerah kotak penalti.

Namun Spanyol di Piala Dunia 2018 bukan hanya tentang umpan-umpan presisi. Di lini depan mereka memiliki Diego Costa, penyerang yang mampu berjuang seorang diri di tengah kepungan pemain lawan. Ia bisa menciptakan ruang yang, menurut Jonathan Wilson, nyaris tak mempunyai padanan.

Pada menit ke-52, ia keluar sebagai pembeda: memanfaatkan umpan terukur Iniesta, Costa menjebol gawang Beiranvand. Tembok pertahanan Iran pun runtuh. Meski hanya menyentuh bola sebanyak 22 kali, menjadi pemain stater Spanyol yang paling sedikit melakukan sentuhan di sepanjang pertandingan, Costa berhasil menciptakan huru-hara di lini pertahanan Iran.

Gol Costa kemudian menjadi satu-satunya yang terjadi pada pertandingan tersebut. Spanyol menang dan Fernando Hierro bisa bernafas lega. Mantan pelatih Real Oviedo itu tak luput memberikan pujian kepada Costa.

“Dia [Costa] berjuang sangat keras baik di depan maupun di belakang,” ujar Hierro, dikutip dari Sport Illustrated. “Dia memberikan segalanya, dan dia dikelilingi oleh orang-orang yang sangat mendukung perjuangannya itu. Saya sangat senang dengan komitmennya, juga dengan dirinya.”

Menyoal penampilan Costa, Axel Torres, analis sepakbola Spanyol, tak mau kalah dari Hierro. Dalam tulisannya di MI, salah satu media asal Spanyol, ia memuji Costa sekaligus memperingatkan calon lawan-lawan Spanyol di Piala Dunia 2018, “Jangan pernah meremehkan nilai penting seorang penyerang tengah dalam turnamen jangka pendek.”

Antitesis Tiki-Taka

Tiki-taka, sebuah gaya bermain yang menekankan umpan-umpan pendek satu dua sentuhan penuh kombinasi, memang milik Barcelona pada era Pep Guardiola. Namun dalam gelaran Piala Eropa 2012, tiki-taka juga sudah menyesap kuat dalam ingatan para pemain timnas Spanyol. Di final Piala Eropa 2012, permainan itu bahkan berhasil membuat Spanyol menghancurkan Italia; Spanyol menang empat gol tanpa balas atas Italia.

Dalam pertandingan final tersebut, untuk memaksimalkan tiki-taka, Spanyol memilih bermain tanpa penyerang murni. Saat itu Cesc Fabregas diplot di posisi paling depan, sebagai seorang false nine. Pendekatan itu memang terkesan meremehkan Italia yang terkenal dengan permainan bertahannya. Apalagi, pertahanan Italia juga digalang oleh bek-bek terbaiknya: Andrea Barzagli, Giorgio Chiellini, juga Leonardo Bonucci. Namun pendekatan itu berhasil. Tiki-taka nyaris tak tersentuh oleh Italia.

“Spanyol terlalu beradab, terlalu dikhususkan untuk seni penguasaan bola, untuk mengubah semuanya [pandangan orang tentang taktik sepakbola],” tulis Sid Lowe di Guardian, setelah kemenangan Spanyol itu.

Jauh hari sebelum tika-taka membuat geger Piala Eropa 2012, tepatnya pada bursa transfer musim dingin 2011, Diego Costa, penyerang Atletico Madrid, terpaksa dipinjamkan ke Rayo Vallecano. Saat itu ia baru saja sembuh dari cedera lutut parah, sebuah cedera yang bisa mengacaukan masa depannya, yang membuatnya gagal pindah ke Besiktas pada musim panas 2011. Meski begitu, Costa memilih untuk tidak menyerah. Terlebih, ia belum bisa menyamai prestasi Ronaldo, mantan penyerang timnas Brasil, idola masa kecilnya.

“Saya selalu ingin menjadi Ronaldo. Saya mencoba meniru semuanya yang telah dia lakukan. Mengapa? Karena dia luar biasa, dia yang terbaik di dunia. Anda tidak bisa mengalihkan pandangan darinya; waktu seperti membeku. Dia selalu mengatasi rintangan besar dan akan selalu menjadi pemimpin. Seorang fenomenal,” ujar Costa, menyoal idolanya itu.

Tampil bersama Vallecano dalam 16 pertandingan, Costa ternyata berhasil menunjukkan kehebatannya. Selain mencetak 10 gol, ia juga berhasil menyelamatkan Vallecano dari jurang degradasi. Atletico Madrid pun tak menutup mata. Pada musim panas 2012 Diego Costa dipulangkan ke Atletico Madrid.

“Itu tidak masuk akal. Ia [Costa] baru saja pulih dari cedera parah, lalu pergi ke Vallecano dan mampu mencetak 10 gol ketika pada dasarnya ia tidak berlatih apa pun,” kata Oscar Ortega, pelatih kebugaran Atletico Madrid, menyoal performa Costa bersama Vallecano. “Saya tidak percaya dengan mata saya. Anda tidak dapat menjelaskan ini, berapa pun banyak buku yang sudah Anda baca. Tidak ada batasan untuk kekuatannya. Dia seekor banteng.”

Diego Simeone, pelatih baru Atletico Madrid saat itu, juga merasakan apa yang dirasakan oleh Oscar Ortega. Sebelumnya, ia berencana melego Costa. Namun saat menyaksikan Costa berlatih, rencananya mulai berubah.

“Saat saya melihatnya [Costa] dalam sesi latihan, saya ingin mati,” ujar Simeone. “Dia tak terhentikan. Diego Costa mampu mentransmisikan kekuatan yang memiliki efek menular kepada rekan-rekannya. [...] Dia terus membaik setiap harinya.”

Sejak saat itu, Costa mulai mendapatkan tempat di skuat utama Aletico Madrid. Dan pada musim 2013-2014, pemain kelahiran Brasil tersebut sudah menjadi andalan Diego Simeone. Costa pun membayar tuntas kepercayaan pelatihnya itu. Pada musim itu, dari 52 penampilannya bersama Atletico Madrid di semua kompetisi, Costa berhasil mencetak 36 gol. Selain itu, Altetico Madrid juga berhasil dibawanya menjadi juara La Liga dan menjadi finalis Liga Champions Eropa.

Perjalanan Costa dari Vallecano hingga menjadi pemain andalan Atletico madrid itu, yang dikisahkan oleh Andrew Murray dalam tulisannya yang berjudul “Diego Costa: How bullying and rejection drove Chelsea's goal machine to the top” di FourFourTwo, kemudian membuatnya dilirik timnas Spanyol dan timnas Brasil menjelang Piala Dunia 2014. Pada akhirnya Costa memilih untuk bermain dengan bendera Spanyol daripada tanah kelahirannya. Alasannya: Spanyol telah memberikan segalanya untuknya.

Menariknya, karakter permainan Costa sangat kontras dengan karakter timnas Spanyol. Costa adalah pribadi meledak-ledak, yang tak pernah mau kalah dengan keadaan apa pun. Ia senang berjuang seorang diri. Jika perlu, ia akan menyalahi sportivitas untuk memenangkan pertandingan. Tak heran jika rataan pelanggarannya saat membela Atletico Madrid pada musim 2013-2014 mencapai 1,8 kali setiap laga. Ganjarannya: ia mendapatkan 9 (2 di Liga Champions dan 7 di La Liga) kartu kuning pada musim tersebut.

“Saya selalu berjuang untuk meraih kesuksesan. Jika Anda menendang saya, Anda lebih baik percaya bahwa saya akan membalasnya,” ujar Costa mengenai karakater permainannya.

Berbeda dengan Costa, timnas Spanyol adalah tentang tiki-taka, tentang kolektivitas permainan, tentang sepakbola yang beradab. Timnas Spanyol tidak bermain seperti banteng, tetapi seperti para penari balet lincah yang memiliki nilai seni tinggi. Di samping kemenangan, sepakbola indah menjadi hal utama.

Infografik Diego Costa

Kemudian, perpaduan antara Costa dan timnas Spanyol gagal total di Piala Dunia 2014. Di pertandingan pertama, saat tiki-taka tak bekerja dan Costa tak berbuat bisa apa-apa, Spanyol kalah 1-5 dari Belanda. Dalam salah satu tulisannya di Guardian, Sid Lowe menyebut bahwa “Spanyol tidak hanya kalah dalam pertandingan tersebut tapi juga mengalami sebuah bencana.”

Setelah itu, Spanyol juga kalah 0-2 dari Chili-nya Jorge Sampaoli. Sang juara bertahan pun harus pulang lebih cepat di Piala Dunia tersebut. Costa? Ia tampil super buruk. Ia tak cocok dengan gaya main Spanyol.

Sejak saat itu Costa memang sering keluar masuk timnas Spanyol. Meski begitu, ia tak pernah benar-benar mampu menunjukkan kualitasnya. Pada gelaran Piala Eropa 2016, ia bahkan tak dibawa Vincente Del Bosque ke Perancis. Saat itu Del Bosque beralasan bahwa ia tak mau mengambil risiko dengan membawa pemain yang baru sembuh dari cedera. Namun, sekali lagi, Spanyol gagal dalam kejuaraan tersebut.

Sementara tiki-taka mulai mengarah ke jurang paling dalam, Costa tak pernah berubah. Ia memang harus beberapa kali berurusan dengan FA karena mencekik Pablo Zabaleta, menghajar wajah Laurent Koscielny, juga mengganggu Seamus Coleman sewaktu bermain di Chesea dari 2014 hingga tahun 2017. Bersama Atletico musim 2017-2018 lalu, ia juga harus menerima 7 kuning dan 1 kartu merah karena tingkah buruknya.

Namun, ia tak pernah lupa caranya menang. Dan yang paling penting ia tak pernah lupa tugas utamanya sebagai pemain nomor 9: mencetak gol sebanyak-banyaknya untuk timnya.

Menjadi Andalan Hierro di Piala Dunia 2018

Di bawah asuhan Julen Lopetegui, Diego Costa memang masih menjadi penyerang andalan Spanyol. Meski begitu, ia tak menutup kemungkinan untuk mencadangkan Costa. Pasalnya, seperti Vicente Del Bosque, ia percaya bahwa Spanyol juga bisa bermain baik meski tidak memainkan penyerang murni.

Namun, Del Bosque dan Lopetegui adalah masa lalu bagi Spanyol. Fernando Hierro, pelatih dadakan Spanyol di Piala Dunia 2018, mempunyai pandangan lain. Baginya penguasaan bola memang penting, tetapi peran Costa juga tak kalah penting.

Saat Spanyol bermain imbang 3-3 melawan Portugal, ada pemandangan menarik dari penampilan anak asuh Hierro tersebut. Dalam fase bertahan, daripada melakukan counter-pressing, Hierro justru menginstruksikan anak asuhnya untuk bertahan lebih dalam. Sementara lima pemain tengah Spanyol berdiri persis di depan garis pertahanan, Diego Costa ditinggal sendirian di lini depan.

Hierro melakukan pendekatan karena tahu Costa bisa diandalkan untuk berjuang seorang diri. Ia juga tahu bahwa Spanyol sesekali perlu melakukan serangan balik cepat untuk mendukung penyerangnya itu.

Maka, saat Sergio Busquets mempunyai kesempatan untuk melakukan serangan balik cepat, ia langsung mengirimkan umpan jauh ke arah Costa yang berada di lini depan. Pendekatan itu berhasil: pada menit ke-23, Costa menghempaskan Pepe dengan sedikit dorongan, mempermainkan Fonte, dan berhasil mencetak gol meski dikepung oleh lima orang pemain Portugal.

Selain digunakan untuk melancarkan serangan balik, kemampuan bertarung Costa juga sangat menguntungkan dalam gaya bermain Spanyol. Ia selalu rajin bergerak untuk mencari ruang, memaksa bek-bek lawan terus berkonsentrasi terhadap pergerakannya. Hal ini membuat pemain-pemain tengah Spanyol memiliki ruang untuk muncul dari lini kedua. Baik saat tampil melawan Portugal atau Iran, Isco dan David Silva beberapa kali bisa merangksek ke kotak penalti karena pergerakan yang dilakukan oleh Costa.

Selain itu, Diego Costa merupakan pemain nomor 9 yang sangat bisa diandalkan. Biar bagaimana pun keadaannya, selama ia berada di dalam kotak penalti, ia masih bisa melakukan sesuatu. Cara bertahan Portugal dan Iran boleh membatasi pemain-pemain Spanyol untuk mengirimkan umpan-umpan memanjakan ke arahnya, tetapi Costa berhasil mencetak tiga gol dalam dua pertandingan tersebut. Tiga-tiganya dilakukan dari dalam kotak penalti, hanya dari lima kali percobaan tembakan ke arah gawang.

Karena keinginannya untuk selalu memang, Costa pernah mendapatkan julukan mala leche yang merujuk tindak-tanduk yang berkonotasi negatif. Menariknya tindak-tanduknya yang seperti itu justru sangat dibutuhkan timnas Spanyol, yang pernah terkenal dengan tiki-taka, untuk memenangkan Piala Dunia 2018.

Baca juga artikel terkait PIALA DUNIA 2018 atau tulisan lainnya dari Renalto Setiawan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Renalto Setiawan
Editor: Aqwam Fiazmi Hanifan