Menuju konten utama

Arti Malam 1 Suro bagi Orang Jawa dan Macam-macam Peringatannya

Berikut adalah arti Malam 1 Suro yang dianggap sakral bagi masyarakat Jawa.

Arti Malam 1 Suro bagi Orang Jawa dan Macam-macam Peringatannya
Sejumlah warga mengikuti tradisi malam satu Suro di kompleks sendang Sidhukun Desa Traji, Parakan, Temanggung, Jawa Tengah, Rabu (19/8/2020). ANTARA FOTO/Anis Efizudin/foc.

tirto.id - Malam 1 Suro atau Tahun baru 1 Muharram 1444 Hijriah jatuh pada tanggal 30 Juli 2022. Dalam budaya masyarakat Jawa, malam peringatan tahun baru tersebut dianggap sakral. Mereka memiliki beberapa tradisi untuk memperingati setiap Malam 1 Suro.

Akan tetapi, Zainuddin dalam tulisan berjudul "Tradisi Suro dalam Masyarakat Jawa" di situs UIN Malang menyatakan, seringkali ada peristiwa ganjil pada peringatan Malam 1 Suro.

Menurut dia, ada banyak kepercayaan yang sifatnya mitos dan dongeng, seperti ritual mengunjungi tempat-tempat sakral dan keramat, contohnya pergi ke makam untuk memperoleh kekayaan, rezeki, pelaris, hingga jodoh.

Lalu, ada juga aktivitas melempar sesaji, makanan, dan kurban ke laut yang dianggap sebagai sebuah sedekah. Selain itu, ada peringatan mandi di sebuah tempat rekreasi, tepatnya daerah Nganjuk, tujuannya agar awet muda dan panjang umur.

Di sisi lain, Prapto, Dosen Sastra Jawa Universitas Indonesia, menjabarkan Malam 1 Suro adalah gerbang dunia manusia dan gaib bertemu. Akhirnya, hal-hal yang seharusnya suci malah jadi ditakuti oleh masyarakat Jawa.

Dari sana muncul mitos-mitos tentang Malam 1 Suro. Bahkan, penggambaran mistiknya diperlihatkan melalui berbagai media, salah satunya film dengan kisah menyeramkan di malam tersebut. Namun, terlepas dari itu, Malam 1 Suro tetap dianggap sakral oleh masyarakat Jawa. Berikut sejarahnya.

Arti Malam 1 Suro bagi Orang Jawa

Muhammad Solikhin dalam Misteri Bulan Suro: Perspektif Islam Jawa (2010), menuliskan sakralitas peringatan Malam 1 Suro tidak terlepas dari budaya keraton. Dahulu, keraton sering melakukan upacara dan ritual yang kemudian diwariskan secara turun temurun.

Hal itu juga diamini oleh Wahyana Giri dalam buku Sajen dan Ritual Orang Jawa (2010). Menurut dia, Keraton Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta mengartikan Malam 1 Suro sebagai malam yang suci serta bulannya penuh rahmat.

Ketika malam itu, beberapa orang Jawa Islam percaya, mendekatkan diri kepada Tuhan bisa dengan cara membersihkan diri serta melawan nafsu manusiawinya.

Oleh karena itu, mereka menjalankan upacara individu seperti tirakat, lelaku, atau perenungan diri. Selain itu, ada juga aktivitas upacara kelompok seperti melakukan selametan khusus sepanjang satu minggu.

Sejarah penetapannya dicanangkan oleh Sultan Agung. Di masa kerajaan Islam, kisaran 1628-1629, Mataram di bawah pimpinan Sultan Agung mengalami kekalahan ketika menyerang Batavia.

Setelah kejadian itu, pasukan Mataram mulai terbagi menjadi beberapa keyakinan. Dari sini, Sultan Agung memotori pembuatan kalender tahun Jawa-Islam (penggabungan tahun Saka Hindu dengan Tahun Islam).

Di malam tahun baru tersebut (Malam 1 Suro), Sultan Agung akhirnya berhasil menciptakan kebudayaan Jawa di mana tidak boleh berbuat sembarangan, prihatin, dan tidak boleh berpesta. Hal yang perlu dilakukan pada malam tersebut adalah menyepi, tapa, dan memohon kepada Tuhan. Dari sejarah tersebut, akhirnya Malam 1 Suro dianggap sakral.

Tradisi Malam 1 Suro di Keraton Yogyakarta

Berdasarkan catatan Madhan Anis dalam Jurnal, Malam Satu Suro merupakan peringatan besar yang musti disambut masyarakat Jawa dengan samadi, sesirih, sesuci, dan sarasehan. Lebih lanjut, Harmanto (2000:10) menjabarkan bahwa di malam tersebut harus ada samadi (memohon ampun kepada Tuhan), sesirih (pengendalian diri/tirakat), sesuci (menyucikan diri dan alat-alat perjuangan), dan sarasehan (temu rasa, bawa rasa, dan mengasah kemampuan).

Berikut ini tradisi peringatan Malam Satu Suro di Yogyakarta:

Mubeng Benteng

Tradisi atau ritual ini dilakukan sebagai bentuk tirakat atau pengendalian diri dan memohon keselamatan kepada Tuhan YME. Pada malam hari tersebut, mubeng benteng dilakukan dengan berjalan kaki mulai dari Keraton Yogyakarta, alun-alun utara, ke daerah barat (Kauman), ke selatan (Beteng Kulon), ke timur (Pojok Beteng Wetan), hingga akhinrya ke utara lagi dan kembali ke Keraton.

Kala prosesi mubeng benteng dilakukan, para abdi dalem keraton mengenakan pakaian khas Jawa dan tidak menggunakan alas kaki. Di belakangnya, masyarakat umum akan mengikuti dengan tidak mengenakan alas kaki juga.

Berjalan tanpa alas kaki ini dimaksudkan untuk lebih mendekatkan diri dan penunjukkan rasa cinta terhadap alam semesta. Selama perjalanan dilakukan, semua yang mengikuti prosesi akan menggantungkan tasbih di jari kanan serta memanjatkan doa kepada Tuhan.

Jamasan Pusaka atau Ngumbah Keris

Di Malam Satu Suro, ternyata ada juga tradisi rutin tahunan yang dilakukan di Keraton Yogyakarta, dikenal dengan jamasan pusaka atau siraman pusaka. Ketika upacara ini, pusaka-pusaka milik Keraton Yogyakarta akan dibersihkan atau dimandikan.

Pusaka tersebut meliputi senjata, kereta, alat-alat berkuda, bendera, vegetasi, gamelan, serat-serat (manuskrip), dan lain-lain. Hal yang dijadikan sorotan bahwa barang tersebut dikatakan sebagai pusaka adalah berdasarkan perannya bagi sejarah keraton (fungsi benda tersebut dahulu kala).

Terkait tujuannya, jamasan pusaka dilakukan untuk menghormati dan merawat segala pusaka yang dimiliki keraton. Akan tetapi, menurut situs Kraton Jogja, terdapat dua aspek alasan pelaksanaan jamasan pusaka, yakni terkait teknis dan spiritual.

Pada hal teknis, tradisi ini ditujukan untuk merawat benda-benda yang dapat dikatakan sebagai warisan dari orang-orang terdahulu. Sedangkan aspek spiritualnya, dilaksanakan sebagai penyambutan oleh masyarakat Jawa terhadap datangnya Malam Satu Suro.

Baca juga artikel terkait MALAM 1 SURO atau tulisan lainnya dari Yuda Prinada

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Yuda Prinada
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Alexander Haryanto
Penyelaras: Yulaika Ramadhani