Menuju konten utama

Arti Childfree dan Hal yang Harus Dipertimbangkan Menurut Psikolog

Pernyataan Gita Savitri seorang YouTuber soal childfree memicu pro kontra di masyarakat, lantas apa sebenarnya childfree dan bagaimana pandangan psikolog?

Arti Childfree dan Hal yang Harus Dipertimbangkan Menurut Psikolog
Ekspresi kebahagian pasangan lansia. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Childfree, akhir-akhir ini ramai menjadi perbincangan usai Gita Savitri, seorang YouTuber yang mengatakan untuk memilih tidak memiliki anak.

Melalui Instagram Story, ia mengatakan bahwa ada banyak tindakan preventif yang bisa dilakukan untuk tidak memiliki anak.

Pilihan untuk childfree memang banyak menjadi perdebatan di masyarakat. Pro dan kontra atas pernyataan Gita Savitri pun ramai di media sosial. Ada yang beranggapan bahwa perempuan berhak memilih atas tubuhnya, tetapi ada juga yang berpendapat bahwa kodrat perempuan adalah memiliki anak.

Tomas Frejka, seorang peneliti dalam risetnya yang berjudul "Childlessness in the United States" menyatakan bahwa dibanding dekade 1970-an, pilihan untuk tidak mempunyai anak meningkat dari 10 persen menjadi 20 persen di tahun 2000-an.

Sementara itu, International Business Times melaporkan bahwa Australian Bureau of Statistic menilai akan lebih banyak pasangan berkeluarga yang memilih untuk tidak punya anak di antara tahun 2023-2029.

Alasannya beragam, mulai dari latar belakang permasalahan keluarga, pertimbangan pengasuhan anak di masa depan bahkan hingga isu lingkungan seperti yang diungkapkan Shinta Maharani (33).

Shinta dan suaminya memutuskan untuk tak memiliki anak biologis dengan alasan perubahan iklim. Namun tak menutup kemungkinan suatu saat nanti ia dan suaminya akan mengangkat anak.

“Perubahan iklim itu kan jadi satu masalah ya sekarang. Berpuluh-puluh tahun lagi, ketika aku memiliki anak, aku menambah beban masalah persoalan bumi karena harus menyediakan makanan untuk anakku kelak,” ujar Shinta kepada Tirto.

Keputusan childfree memang sangat personal. Namun, pilihan ini juga tidak menutup kemungkinan memunculkan dampak seperti stigma negatif dari masyarakat bahkan keluarga sendiri. Stigma tersebut pun membuka kesempatan timbulnya tekanan sosial bagi pasangan dengan keputusan childfree.

Jika Anda berpikiran serupa dengan mereka yang memilih hidup tanpa anak, sebaiknya timbang juga dampaknya. Ada konsekuensi sosial dari masyarakat sekitar jika kita memutuskan tidak mempunyai anak. F. Van Balen turut menelaah hal ini dalam risetnya yang berjudul "The social and cultural consequences of being childless in poor-resource areas."

Ia melakukan studi literatur mengenai dampak sosial orang-orang yang memutuskan tidak punya anak di beberapa negara. Studi ini dikaji dari empat database online, yaitu Web of Science, Academic Search Premier, Science Direct dan PiCarta.

Berdasarkan data yang dikumpulkan dari masing-masing negara, Van Balen menemukan bahwa kekerasan verbal menjadi konsekuensi paling banyak ditemukan di lingkungan masyarakat.

Barangkali kita sering mendengar pernyataan orang-orang kebanyakan, seperti “Anak ada untuk menjaga kalian di masa depan. Kalau kalian sakit, harus masuk rumah sakit, atau bahkan kelak meninggal, siapa yang akan mengurus?”

Selain itu, kekerasan verbal juga dapat berupa gunjingan dan tuduhan dari keluarga, rekan kerja, dan tetangga sekitar. Tuduhan pun beragam, mulai dari anggapan pasangan yang tidak subur, permasalahan kesehatan seksual, sampai dengan ketidakharmonisan dengan pasangan.

Hal ini kemudian akan memunculkan gunungan stigma negatif yang bisa berpengaruh pada hilangnya rasa hormat dan pengucilan dari masyarakat. Konsekuensi dari dalam keluarga sendiri, menurut riset Van Balen, lebih banyak menimpa perempuan yang membuat keputusan tidak ingin punya anak.

Permasalahan bisa muncul, baik dari mertua, keluarga, serta suaminya sendiri. Hal inilah yang kemudian bisa berakibat pada ketidakstabilan pernikahan pasangan tersebut. Ada yang takut dipoligami, juga ada yang mengkhawatirkan perceraian.

Sehingga Psikolog Sosial dari Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Tri Rejeki Andayani mengatakan bahwa ada baiknya sebelum memutuskan untuk memilih childfree bisa didiskusikan dulu dengan pasangan termasuk orang tua dan mertua.

Hal ini ini tidak terlepas dari perspektif budaya kolektif kita. Kultur masyarakat menuntut atau mengharapkan seseorang yang telah memasuki usia dewasa untuk menikah dan setelah menikah akan ditanyakan tentang kehadiran anak.

Sehingga salah satu pihak yang perlu dilibatkan dalam pengambilan keputusan childfree ialah keluarga besar. Sebab, di Indonesia dan banyak negara lainnya, pernikahan pada prinsipnya, tidak hanya melibatkan dua individu saja, tetapi juga dua keluarga besar. Jadi, keputusan untuk tidak memiliki anak sebaiknya disampaikan ke orang tua masing-masing.

“Sebab, orang tua dari pasangan suami istri itu tentu memiliki harapan pada pernikahan anak-anaknya. Salah satunya harapan untuk memiliki cucu yang meneruskan keturunannya,” jelasnya, seperti dilansir dari laman UNS.

Apabila keputusan tersebut tidak dapat diterima, tentu dapat menjadi tekanan sosial bagi pasangan. Namun, jika dapat diterima, maka pasangan akan lebih mudah menghadapi tekanan sosial dari masyarakat di luar keluarga.

Baca juga artikel terkait CHILDFREE atau tulisan lainnya dari Nur Hidayah Perwitasari

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Nur Hidayah Perwitasari
Editor: Addi M Idhom