Menuju konten utama

Arswendo Atmowiloto, Stamina Berkarya, dan Tiga Kata Bertuah  

Arswendo Atmowiloto adalah sosok di balik sangat banyak karya – cerpen, esai, puisi, sandiwara, novel, skenario sinetron/film.

Arswendo Atmowiloto, Stamina Berkarya, dan Tiga Kata Bertuah  
Ilustrasi Mozaik Arswendo Atmowiloto. tirto.id/Nauval

tirto.id - Arswendo Atmowiloto bukan melulu perkara tabloid Monitor yang menghebohkan itu. Ia adalah sosok di balik sangat banyak karya – cerpen, esai, puisi, sandiwara, novel, skenario sinetron/film.

Tema yang dirambahnya beraneka. Ia menulis cerita silat Senopati Pamungkas. Cerita ini sebelumnya dimuat di majalah HAI pada 1984. Dua tahun kemudian, dijadikan buku.

Berlatar belakang zaman Singosari, epos ini membentangkan intrik-intrik di dalam istana, luapan asmara, juga rivalitas di antara para pendekar.

“….Senopati Pamungkas diselesaikan karena, terutama, saran-saran dari mereka yang menganggap perlu hadirnya kisah para pendekar yang besar dari tanah tercinta, dengan kaki menginjak sawah, hutan, laut, keraton,” kata Arswendo di sampul belakang buku tersebut.

Tiga tahun sebelum kisah ini hadir di HAI, Arswendo meluncurkan Dua Ibu. Tidak ada jurus-jurus silat yang dimunculkan atau sikut-sikutan perebutan kekuasaan. Novel ini mengisahkan problematika bocah beranjak remaja, Mamid, dengan perempuan yang melahirkan dirinya dan perempuan lain yang membesarkan dirinya.

Pada 1979, Arswendo mengikuti program penulisan kreatif di University of Iowa, Amerika Serikat. Jauh dari keluarga, ia terkenang jasa sebuah keluarga yang ikut membesarkan dirinya. Pada saat bersamaan, ia teringat ibu kandungnya.

“Kedua tema itu saya rangkaikan dan lahirlah Dua Ibu. Ibu dalam pengertian saya adalah seorang yang melahirkan dan seorang yang memberikan kebahagiaannya sendiri untuk orang lain dengan rasa bahagia,” tulis Arswendo dalam esai “Pengalaman Menulis dan Proses Kreatif” (1982).

Dunia priyayi Jawa pun dijamahnya dalam Canting (1986). Dengan lancar dan memukau, Arswendo menggambarkan kehidupan priyayi Jawa pada awal 1960-an sampai 1970-an, komplet dengan deskripsi alam pikiran dan nilai-nilai etis yang mereka peluk.

Hal lain yang juga menakjubkan adalah lukisan tentang pasar yang menjadi “kantor” buat perempuan, ketika di rumah mereka hanya menjadi “pelayan” suami. Juga untuk Tuginem alias Bu Bei, anak buruh batik yang “naik kelas” ke lingkungan menak Solo.

Bukan Kaleng-kaleng

Produktivitas mencederai kualitas? Pada 1972, Arswendo memenangkan Hadiah Zakse untuk esai bertajuk "Buyung-Hok dalam Kreativitas Kompromi." Naskahnya, Penantang Tuhan dan Bayiku yang Pertama, memperoleh penghargaan dalam Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 1972 dan 1973.

Pada 1975, dalam sayembara yang sama, dia menggondol hadiah harapan atas drama Sang Pangeran. Dramanya yang lain, Sang Pemahat, memperoleh Hadiah Harapan I Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara Anak-anak DKJ 1976.

Pada dekade 1980-an, jumlah penghargaan terus bertambah. Dua Ibu menyabet hadiah Yayasan Buku Utama pada 1981. Pada 1987, Arswendo memperoleh Hadiah Sastra ASEAN.

“Saya menulis karena bisanya cuma menulis. Sejak SMA saya tidak bisa nerusin sekolah, nggak punya duit, maka ya menulis…sejak kelas dua SMA saya sudah menulis dan laku,” kata Arswendo kepada majalah sastra Horison edisi Januari 1989.

Menulis sudah menjadi kebutuhan. Ia mengaku tidak pernah tiga hari berturut-turut tidak menulis. Ia merasa “tidak hadir” jika tidak menulis.

Pemicunya adalah kegemaran membaca. Saat bocah, ia menjadi anggota tempat penyewaan buku di kampung halamannya di Solo, Jawa Tengah. Ia membaca buku apa saja. Nafsu membaca jauh melebihi kemampuan finansialnya. Kegemaran ini juga yang membuatnya sering menilap buku-buku sewaan tersebut.

“Ini semua adalah latar belakang modal yang luar biasa. Tanpa banyak membaca, keinginan saya untuk menjadi pengarang tak akan pernah lahir,” tulis Arswendo dalam “Pengalaman Menulis dan Proses Kreatif.”

Arswendo lahir di Solo, 26 November 1948. Ia anak ketiga dari enam bersaudara. Nama aslinya Sarwendo Atmowiloto.

Ayahnya, pegawai balai kota Solo, wafat ketika Arswendo masih di sekolah dasar. Ibunya menyusul sang ayah pada 1965.

Alkisah, ketika di SMA, iseng-iseng Arswendo membuat cerpen. Ia mengirim ke Gelora Berdikari, majalah mingguan di Solo. Cerpen itu dibikin dalam rangka mengejar cinta seorang dara yang menjadi primadona di sekolahnya. Eh, ternyata dimuat.

Gelora Berdikari sebenarnya menggunakan bahasa Indonesia. Namun, ada halaman yang dijatahkan untuk karangan-karangan berbahasa Jawa – seperti halnya cerpen pertama Arswendo tersebut.

Sejak itu karangan-karangan lain menyusul di berbagai media. Semula tulisan-tulisannya selalu ditampik. Tapi ketika memakai nama Arswendo, bukan Sarwendo, tulisannya diterbitkan.

"Nama Sarwendo tak membawa berkah rupanya," ujar pria yang ketika kecil ingin menjadi dokter ini seperti dimuat Apa & Siapa: Sejumlah Orang Indonesia 1983-1984.

Ia kuliah di IKIP Solo tapi berhenti karena ketiadaan duit. Setelah setop kuliah, Arswendo sempat bekerja di pabrik bihun dan pabrik susu. Pun pernah menjadi pemungut bola tenis. Urusan tulis-menulis jalan terus.

Karier kewartawanan dimulai ketika muncul harian berbahasa Jawa, Dharma Kandha dan Dharma Nyata di Solo. Sambil mencari nafkah di media tersebut, ia menjadi koresponden lepas majalah TEMPO.

Arswendo merantau ke Jakarta pada 1973 saat diminta menjadi redaktur pelaksana majalah humor Astaga.

Dari Astaga yang tak panjang usia, Arswendo mengelola Midi, majalah remaja milik Kelompok Kompas Gramedia. Midi ditutup, HAI terbit dan Arswendo diminta memimpin. Ketika mengelola HAI ini, produktivitas melesat luar biasa. Serial Imung, Serial Kiki dan Komplotannya, dan Senopati Pamungkas lahir di periode ini.

Ia juga menulis dengan nama samaran Titi Nginung. Di bawah nama ini, meluncur di antaranya novel Opera Jakarta, Opera Bulutangkis, Opera Pencakar Langit, dan Opera Jakarta-Hong Kong.

Infografik Arswendo Atmowiloto

Infografik Arswendo Atmowiloto. tirto.id/Fuad

Ayah tiga anak ini menjangkau pula dunia televisi dengan menulis skenario Jendela Rumah Kita. Ini serial drama yang banyak dipuji dan tayang pada 1989-1990 di TVRI. Serial ini membuat Dede Yusuf kondang. Demikian pula Desy Ratnasari yang nongol di beberapa episode.

Lalu, Arswendo menjadi salah seorang penulis skenario serial Aku Cinta Indonesia (ACI) yang merupakan buah kerja sama Departemen Penerangan denga Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sinetron ini disambut hangat publik – yang saat itu hanya bisa menonton TVRI, belum ada televisi swasta. Sinetron ini tayang April 1985 sampai awal 1990-an.

Bahkan saat dibui 5 tahun gara-gara Monitor, Arswendo menghasilkan puluhan tulisan pendek, tiga skenario, dan tujuh novel. Banyak di antaranya dengan nama samaran.

Formula “Tiga Kata”

Dalam “Pengalaman Menulis dan Proses Kreatif,” Arswendo mengungkapkan tiga hal yang selalu dipegangnya saat berkarya. Yaitu, jujur, kreatif, dan terbuka.

Jujur, yaitu menyampaikan apa yang hendak dikatakan. Ia mengaku tidak peduli apakah kelak tulisannya dianggap bernilai sastra atau tidak. Ia ogah dipasung beban itu.

“Saya harus jujur pada proses penciptaan. Tidak ada gangguan atau bayangan untuk mengabdi pada media tertentu,” tulis suami Agnes Sri Hartini ini.

Perihal kreatif, tentu tak jauh dari ikhtiar mencoba cara atau gagasan baru. Arswendo jelas nyaris identik dengan kreativitas. Satu contoh, ia mengasuh rubrik “Pergaulan Sehat” di majalah HAI yang berisi pendidikan seks. Ia cuek saja saja meski kritik menghampiri karena meyakini hal-ihwal seksualitas penting diketahui remaja dengan benar.

Meski tak langsung soal penulisan, contoh “kreativitas” lain adalah keputusan majalah HAI untuk menghapus rubrik ramalan bintang atau astrologi.

“Rasanya semua majalah, dan tidak usah remaja, asal ada bau hiburan, ada rubrik perbintangan…Tapi karena soal pilihan against the mainstream… Jatuhlah putusan bahwa rubrik semacam itu tidak ada di HAI. Alasannya bisa dibikin panjang… remaja disadarkan berpikir rasional, tidak boleh cengeng dan mencengengkan diri kepada tahayul, dan tak usah dilibatkan nasib yang menjadi bagian penerbitan buku-buku model stensilan di pinggir jalan,” tulis Arswendo di HAI No. 37/1988.

Terbuka maksudnya terkait kritik dan pujian. Pada awal 1970-an, ia rajin menyambangi para penulis senior untuk mencari masukan, entah kritik atau pujian.

“Saya pergi ke Jogja melihat Darmanto Jatman berceramah. Ia meledek cerpen saya tapi saya bangga. Orang sebesar Darmanto toh membaca cerpen-cerpen saya,” akunya. Darmanto adalah penyair dan esais yang berkiprah di Semarang sambil menjadi dosen di Fakultas Psikologi Undip.

Ia juga menemui Sapardi Djoko Damono, Sanento Juliman, Motinggo Boesje, dan sejumlah penulis lain.

Pada gilirannya, ia pun menjelma panutan para kreator muda. Ketika Arswendo berulang tahun ke-70, sutradara dan penulis skenario, Salman Aristo, menulis status di akun Facebook-nya. Aristo mengaku pernah menyampaikan pertanyaan banyak orang: kok bisa Arswendo sangat produktif.

Sambil tertawa, Arswendo menjawab, “Waktu 24 jam itu banyak sekali. Coba deh, pakai dengan baik.”

Mulai hari itu, ungkap Aristo, dua kalimat di atas “jadi mantra dalam hati”-nya.

Tak sampai setahun kemudian, Arswendo wafat pada 19 Juli 2019 lantaran kanker prostat. Rampung sudah hidup yang jujur, kreatif, dan terbuka. []

Baca juga artikel terkait HUMANIORA atau tulisan lainnya dari Yus Ariyanto

tirto.id - Humaniora
Penulis: Yus Ariyanto
Editor: Nuran Wibisono