Menuju konten utama

Arsene Wenger Tak Pernah Salah

Setelah kalah 10-2 dari Bayern Munich, apa lagi yang bisa dikatakan tentang Wenger?

Arsene Wenger Tak Pernah Salah
Arsene Wenger [Foto/PA Wire/PA Photos]

tirto.id - Wenger memang sudah tua, usianya 67 tahun. Namun ia tak hanya tua dari usia, namun juga saklek. Hebatnya lagi, ia tetap tak tersentuh dari jabatannya sebagai manajer Arsenal walau sudah 12 tahun tidak mempersembahkan gelar juara liga. Luar biasa.

Meski begitu, harus diakui, sekalipun lebih dari satu dekade tidak memenangkan gelar liga, namun dialah yang menyelamatkan karier Thierry Henry. Membawa pemain berbakat dari Prancis ini ke Britania Raya, memperkuat Arsenal, menjadikannya bintang, lalu legenda. Setelah bakat Henry seperti akan terkubur di Torino karena sering dimainkan sebagai pemain sayap kiri Juventus pada 1999. Wenger juga yang membesarkan Robin Van Persie, Frenc Fabregas, dan tentu saja menjual atau membuang semuanya ke klub lain untuk alasan yang terdengar lebih efisien dari perhitungan ekonomi.

Kakek yang selalu membawa Arsenal tersingkir tujuh kali beruntun pada babak 16 besar babak gugur Liga Champions ini—Bayern Munich menyumbang tiga di antaranya—memang payah, namun dialah yang membawa Arsenal mengarungi musim 2003/2004 tanpa kekalahan sama sekali. Menjadi rekor yang selalu dibanggakan karena mendapatkan penghargaan sebagai tim terbaik selama 25 tahun keberadaan Premier League sejak 1992.

“Saya pikir Arsene (Wenger) telah melakukan pekerjaan hebat selama 20 tahun selama dia berada di sana, tapi jika Anda lihat gelar yang mereka menangi, itu diraih karena mereka punya pemimpin-pemimpin hebat di dalam tim,” kata Emmanuel Petit, gelandang Prancis yang menjadi andalan lini tengah Arsenal pada musim tak terkalahkan itu.

Artinya, merujuk penalaran Petit, karena Arsenal yang sekarang sudah tidak memiliki pemimpin hebat, maka sudah sewajarnya jika langkah klub dari London Utara ini tidak menemukan progres yang positif dari tahun ke tahun. Petit, tidak sedang melakukan pujian, tapi sebuah sindiran. Bahwa Arsenal yang sekarang sudah kehilangan sosok pemimpin.

Namun Carlo Ancelotti tidak akan melakukannya. Manajer Bayern ini dengan tulus memberi simpatinya ketika di Allianz Arena, tim asuhan Wenger dihancurkan 1-5 pada pertandingan pertama babak 16 besar Liga Champions 2016/2017.

“Sebagai manajer, saya bersimpati untuknya. Sebagai seorang pria, saya punya hubungan bagus dengannya. Saya punya respek tinggi untuknya. Tidak semua manajer bisa melakukan apa yang ia lakukan di klub tersebut,” kata Don Carlo, setelah dua kali mengalahkan Arsenal dengan skor total 10-2 di babak 16 Besar Liga Champions musim ini. Dua kekalahan dengan skor yang sama: 5-1.

Benar, Don Carlo. Tidak semua bisa melakukannya. Apalagi mengulangi skor kekalahan dengan sama banyaknya di pertandingan kedua di Emirates Stadium (7/3). Di kandang sendiri dengan kartu merah yang didapat sang kapten: Laurent Koscielny. Ini seperti de javu, hanya lebih sempurna (bagi Bayern).

Simpati Ancelotti merujuk pada 45 menit babak pertama. Bayern dibuat kesulitan. Theo Walcott, dengan akslerasinya yang luar biasa sukses melewati pertahanan sisi kiri Bayern. Setelah sempat salah pengertian dengan Olivier Giroud, Walcott pun sukses mendapatkan ruang tembak di dalam kotak penalti. Hal yang biasanya sangat jarang ditemukan pada pertahanan tim sekelas Bayern.

Manuel Neuer sudah menunggu. Sudutnya hampir mustahil. Tapi Walcott tidak menyerah, pemain akademi Southampton ini segera menendang keras ke arah sedikit di atas kepala Neuer. Bola melayang, berhasil ditinju Neuer, tapi ajaib. Bola tetap masuk. Wenger bersorak, Walcott bersorak, dan suporter berteriak. Meskipun semua tahu, membalikkan keadaan melawan tim sekelas Bayern adalah sebuah ilusi.

Itulah satu-satunya kenangan terindah yang didapat Wenger, dan Walcott. Sebab sisanya adalah kenangan buruk. Sangat buruk.

Pada menit ke-54, akibat pertahanan yang buruk, Koscielny harus berduel satu lawan satu dengan Robert Lewandowski di kotak penalti. Pelanggaran pun tak terelakkan. Walaupun kartu merah untuk Koscielny memang bisa saja dinilai berlebihan. Akan tetapi, seharusnya kebobolan penalti dan bermain dengan 10 pemain tidaklah membuat Arsenal bisa dimaklumi kalah kembali dengan skor telak di kandangnya sendiri. Sayangnya, ini tim Wenger, dan ajaibnya, mereka bisa memperburuk hal yang sudah terlihat begitu buruk.

Empat gol berikutnya adalah parade memalukan dari tim Arsene Wanger. David Ospina membuang bola dan memberi “umpan kunci” untuk Arjen Robben yang menjadi prolog gol kedua Bayern. Douglas Costa berlari sendirian dan seperti dalam konsol Playstation 4, melakukan tusukan sedikit dan melepaskan tendangan. Gol ketiga. Selebihnya gol-gol yang terjadi berikutnya terjadi karena kesalahan-kesalahan karena pemain Arsenal tampak terlihat sudah enggan untuk melawan.

Agregat skor 10-2 seperti skor bulu tangkis. Tidaklah begitu menyedihkan. Paling tidak ada tim yang lebih buruk mendapatkan hasil agregat dari Bayern, yakni Sporting Lisbon pada babak 16 musim 2008/2009 dengan skor 12-1. Akan tetapi, ini jelas bukan “prestasi” yang bisa dibanggakan bukan?

Terlebih ketika mendengar penjelasan Arsene Wenger yang lebih memilih menasehati ofisial pertandingan, terutama wasit Tasos Sidiropoulos, daripada mencoba memperbaiki tim. Bagi Wenger pertandingan ini, “Benar-benar tidak terjelaskan dan penuh skandal.” Menurutnya, wasit telah membunuh pertandingan pada babak kedua.

“Bayern adalah tim yang baik, tetapi mereka bisa mengatakan terima kasih kepada wasit untuk keputusan-keputusan di babak kedua. Ini membuat saya sangat marah dan frustasi,” jelas Wenger, “Para pemain tidak mengecewakan saya. Wasit yang mengecewakan kita.”

Michael Cox dalam analisisnya untuk The Guardian menyebut bahwa kekalahan Wenger melawan Juergen Klopp pada pertandingan sebelumnya di Anfiled (5/3) sudah menunjukkan betapa sudah berbahayanya sosok Wenger untuk Arsenal. Pada 2010, Cecs Fabregas pernah menegaskan bahwa—bahkan di Spanyol—perubahan pendekatan permainan harus terus berkembang. Filosofi memang ada, tapi itu bukanlah tembok yang membatasi tim untuk berkembang.

Infografik Arsene Wenger

FC Barcelona tidak berdiri menjadi sedemikian menakutkan hanya karena Johan Cryuff. Ada Louis Van Gaal, Frank Rijkaard, Josep Guardiola, hingga Luis Enrique yang membuktikan bahwa Barcelona yang sekarang tidak terbangun seperti Roro Jonggrang membangun Candi Prambanan. Bertahun-tahun menemukan, mengganti yang lama, dan menggunakan pendekatan sepak bola yang sesuai. Total football, tiki-taka, bahkan pendekatan yang lebih direct pada era Enrique.

Masalahnya, Wenger selalu percaya dengan satu rumus: “The Arsenal Way”. Membawa penguasaan bola, bermain dari kaki ke kaki ke tanah Britania. Benar, waktu Wenger pertama kali datang, Arsenal terlihat berbeda dibanding yang lain. Tapi sekarang, Arsena masih terlihat berbeda. Namun, perbedaan yang sekarang justru karena Arsenal sudah ketinggalan zaman menggunakan pendekatan permainan yang sama dari tahun ke tahun.

Tim lain sudah bicara gegenpressing, penggunaan bek tiga, sampai menggunakan lemparan ke dalam sebagai taktik melukai lawan, Wenger tetap selalu jadi pihak yang mengeluh, mempertanyakan, bahkan dengan bangga yakin: kesalahan bukan berada pada dirinya, tapi orang lain.

Saat Luis Enrique dengan yakin memutuskan mengundurkan diri di akhir musim karena pendekatannya sudah tidak mempan untuk Barcelona, Wenger tetap percaya, zaman boleh berganti, taktik boleh berubah, Presiden Amerika sudah bukan Obama, tapi Wenger yakin, ia harus tetap bertahan.

Sebab dalam keadaan kalah agregat 10-2 dari Bayern sekalipun Wenger masih merasa benar. “Saya merasa kami bermain sangat baik. Itu lebih kepada keputusan wasit yang membunuh permainan,” katanya.

Wenger tak pernah (merasa) salah.

Baca juga artikel terkait ARSENE WENGER atau tulisan lainnya dari Ahmad Khadafi

tirto.id - Olahraga
Reporter: Ahmad Khadafi
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Zen RS