Menuju konten utama

Aroma yang Membuat Kita Lapar

Orang sering menganggap lidah adalah senjata utama ketika merasakan makanan. Padahal proses penghantaran persepsi rasa dilakukan oleh indera lain: mata, kuping, juga hidung.

Ilustrasi. Aroma makanan. Foto/Getty Images

tirto.id - Setiap pulang ke kampung halaman, Jember, yang paling saya nanti adalah bau telur dadar tiap pagi. Aromanya khas, bercampur dengan wangi dari cacahan bawang daun. Aroma telur dadar itu seperti panggilan untuk sarapan. Saat saya turun ke dapur, seruak wangi bertambah: aroma kacang tanah bercampur raksi daun jeruk dari bumbu pecel yang sudah diudek bersama air hangat; sengatan anggun terasi yang bercampur dengan cabai rawit; juga wangi khas teh cap Naga (teh klasik asal Malang).

Setiap saya datang, Mamak memang selalu menyiapkan makan besar. Ia tahu kalau anak lelakinya amat suka makan. Di hari pertama, masakannya selalu sederhana. Tak ada daging merah, zonder daging putih, nihil jerohan. Ia tahu kalau di perantauan pola makan anaknya cukup ngawur dengan segala lemak dan jerohan yang bisa membuat lidah jenuh. Maka masakan rumahan sederhana menjadi semacam usaha restart lidah.

Menu sarapan di hari pertama biasanya perpaduan antara bumbu pecel, telur dadar berisi cacahan bawang daun dan cabai rawit, duo partner in crime tahu dan tempe, dan sambal terasi. Dapur rumah di pagi hari selalu semerbak oleh wangi yang menjadi-jadi.

Saat memutuskan pergi dari rumah pada 2006, jelang semester tiga kuliah, saya sudah nyaris tak pernah sarapan. Alasan pertama sederhana: berhemat. Makan cukup dua kali sehari. Alasan kedua mungkin lebih ke sugesti: saya selalu sakit perut kalau sarapan. Namun di rumah, peduli amat dengan mulas. Saya sikat saja nasi panas yang dibanjur bumbu pecel buatan sendiri, ambil dua potong telur dadar, satu tahu dan satu tempe, serta sesendok makan sambal terasi.

Wuih aromanya. Satu piring ibarat festival wewangian paling luhur di seluruh dunia.

Momen seperti itu sayangnya sudah jarang terjadi. Sejak merantau ke Jakarta sekitar 3 tahun lalu, saya jarang pulang kampung. Di Jakarta, nyaris semua makanan tak ada yang seenak di rumah. Kupikir banyak orang beranggapan demikian. Di Jakarta jamak kita makan di pinggir jalan, apalagi kalau kamu adalah pekerja berkantong pas-pasan seperti saya. Istilahnya makan di amigos: agak minggir got sedikit.

Di tempat seperti itu, aroma makanan jadi hilang tertelan bau karet ban terbakar, lenyap dihembus asap knalpot, dan bercampur dengan lamat-lamat aroma got. Kalau mau tak bersentuhan dengan semua itu, kamu harus merogoh kocek lebih dalam: pergi ke restoran atau tempat makan di mal. Itupun aroma makanannya pasti tertindih bau pengharum ruangan yang wangi artifisial dan menyebalkannya dihembuskan oleh pendingin ruangan.

Oh betapa saya rindu wangi telur dadar bercampur cacahan daun bawang itu.

Aroma, Rasa, dan Kenangan

Perkara bau dan aroma merupakan inspirasi bagi Marcel Proust. "Bau dan rasa sesuatu tetap ada dalam waktu yang lama, seperti jiwa, siap untuk mengingatkan kita," ujar penulis Prancis itu. Dari ingatan akan aroma itulah Proust membuat istilah involuntary memory dalam novelnya, In Search of Lost Time.

Orang-orang menerjemahkan involuntary memory dengan istilah: kenangan. Ia tak serta merta muncul, melainkan hadir karena pemicu khusus.

Menurut Proust, kenangan bisa muncul, atau tiba-tiba terlepas dari kotak pandora ingatan, karena ada rasa makanan, aroma, atau perasaan terhadap obyek tertentu yang menjadi pemicu. Dalam kasus Proust, kenangannya terhadap masa kecil muncul sewaktu dia menyantap kue yang dicelupkan ke teh. Tiba-tiba, muncullah kenangan: Proust kecil sedang makan kue dicelup teh bersama bibinya. Serta merta, dalam momen yang sama, semesta masa kecil itu hadir dalam kesadaran si tokoh dalam novel Proust.

Inilah yang dimaksud “involuntary memory”: kenangan yang serentak-seketika muncul ke permukaan, dipicu suatu hal (dalam kasus Proust adalah aroma teh), yang dari sanalah bagian atau keseluruhan masa lalu pun hadir. Ini berbeda dengan “voluntary memory”: masa lalu yang coba diingat dengan sadar melalui fakultas intelijensi kita. Semacam hafalan, sesuatu yang diingat-ingat, bukan hal yang sekonyong hadir sebagaimana kenangan.

Aroma dan bebauan memang amat berpengaruh. Di dunia binatang, hewan liar mengandalkan penciuman. Entah untuk mengendus mangsa, atau menghindari predator. Aroma tubuh, entah bau apek atau wangi, bisa berpengaruh terhadap rasa percaya diri. Aromaterapi terbukti bisa mengurangi rasa cemas. Bebauan juga bisa berpengaruh terhadap cara ataupun keinginan manusia melakukan seks.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/04/06/InfografikAdaApaDenganAromaMakanan.jpg" width="860" alt="Infografik Ada Apa Dengan Aroma Makanan" /

Dalam hal makanan dan minuman, aroma menempati posisi amat penting. Contoh paling sederhana bisa didapat dari pepatah maritim lawas: ikan harus beraroma lautan, kalau ikan sudah berbau ikan (amis) maka semua sudah terlambat. Sebab selera makan pasti akan menurun drastis kalau ikan berbau amis atau anyir.

Seringkali orang menganggap makanan hanya mengandalkan lidah sebagai indera perasa. Padahal makanan enak biasanya didapat dari pemanfaatan nyaris seluruh indera. Mata untuk melihat tampilan, hidung untuk mencium aroma, dan kalau diperlukan: telinga untuk mendengar suara makanan digigit.

Itu kenapa dalam jagat fine dining, plating alias seni menata makanan dalam piring amat penting, karena apa yang dilihat bisa menerbitkan selera makan. Kerap pula kita melihat iklan kopi yang menampilkan orang bangun dari tidur karena mencium aroma wangi kopi, sebab indera penciuman memang bisa menimbulkan selera. Atau dalam iklan-iklan ayam goreng, telinga kita dimanjakan dengan bunyi kriuk yang renyah.

"Sebenarnya, selera itu adalah kombinasi dari rasa dan aroma," ujar Tom Finger, profesor di University of Colorado-Denver Medical School.

Tom sering meneliti tentang indera penciuman. Pada 2008, dia menjadi ketua dalam International Symposium on Olfaction and Taste di San Francisco. Simposium ini secara khusus membahas tentang olfaction (indera penciuman) dan taste (indera perasa). Dalam wawancara bersama Live Science, Tom memberikan contoh bagaimana indera penciuman bisa berpengaruh pada rasa.

"Kalau kamu mengunyah jeli rasa melon dengan menutup hidung, rasanya akan terbatas. Tapi di tengah kunyahan, coba buka hidungmu dan tiba-tiba saja kamu akan merasakan rasa melon."

Aroma memang tidak hanya dari apa yang dihirup oleh hidung, tapi juga apa yang kita kunyah. Para ilmuwan menyebut aroma yang dihirup oleh hidung sebagai orthonasal olfaction. Sedang aroma dan persepsi yang muncul dari bagian belakang mulut disebut sebagai retronasal olfaction, dihantarkan melalui proses yang disebut olfactory referral.

Dalam percontohan yang diberikan oleh Tom, kita bisa mengerti bagaimana lidah bisa merasakan kompleksitas rasa. Sebab, kata Tom, tanpa aroma dan bau, manusia tak bisa merasakan rasa lain. Melainkan hanya rasa dasar: asin, asam, manis, pahit, dan umami (gurih yang biasanya diasosiasikan dengan vetsin atau MSG). Karena itu pula, kehilangan kemampuan penciuman bisa berpengaruh terhadap rasa yang kita konsumsi. Sama seperti saat kita pilek, semua makanan akan terasa sama saja: hambar.

Penjelasan yang nyaris serupa juga diberikan oleh Dana Small, neuroscientist di Yale School of Medicine. Menurutnya, saat makanan dan minuman sudah berada dalam mulut, sel perasa jadi aktif dan kita menerima rasa. Di saat bersamaan, makanan atau minuman yang kita telat juga mengaktifkan sel sensor yang terletak bersamaan dengan sel perasa.

"Itu membuat kita bisa menerima hal seperti temperatur, rasa pedas, atau rasa creamy," ujar Dana pada Scientific American.

Perkara aroma dan kaitan terhadap selera makan ini juga pernah diteliti oleh Harriët F. A. Zoon, Cees de Graaf, dan Sanne Boesveldt dari Divisi Nutrisi Manusia, Universitas Wageningen, Belanda. Dalam penelitian mereka, dijelaskan kalau aroma makanan bisa meningkatkan selera makanan. Menciptakan makanan dengan aroma khusus bisa meningkatkan selera makan dan keinginan makan untuk orang yang kekurangan nutrisi, atau untuk orang yang mengidap anoreksia nervosa. Namun wewangian ini juga bisa menimbulkan bahaya bagi mereka yang doyan makan.

"Aroma makanan bisa mendatangkan selera makan. Namun terpapar wangi makanan bisa membuat seseorang makan berlebihan dan bisa berujung pada obesitas," tulis mereka.

Kesimpulan tiga peneliti ini memberi pemahaman kenapa berat badan saya selalu naik ketika pulang kampung.

Baca juga artikel terkait MAKANAN atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nuran Wibisono