Menuju konten utama

Aroma Politis di Balik Jaksa Melawan Jaksa Agung HM Prasetyo

Kasus Suryosumpeno dianggap politis karena nyaris berbarengan dengan kemenangannya melawan jaksa agung di Mahkamah Agung.

Aroma Politis di Balik Jaksa Melawan Jaksa Agung HM Prasetyo
Jaksa Agung M Prasetyo didampingi Wakil Jaksa Agung Arminsyah dan Jaksa Agung Muda Pembinaan (Jambin) Bambang Waluyo memberikan keterangan pers, di Kejagung, Jakarta, Selasa (9/1/2018). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

tirto.id - Kejaksaan memberhentikan jaksa senior Chuck Suryosumpeno dengan dalih berdasarkan hasil penilaian Majelis Kehormatan Jaksa (MKJ). Suryosumpeno dituding bersalah dalam kasus penjualan aset-aset dari Hendra Rahardja, terpidana seumur hidup kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Jabatan Suryosumpeno sebagai kepala Kejaksaan Tinggi Maluku pun dicabut Jaksa Agung HM Prasetyo.

Meski Hendra telah meninggal di Australia pada tahun 2003 silam, aset milik kakak dari Edy Tansil itu masih menjadi masalah hingga sekarang. Suryosumpeno yang menjadi Ketua Satuan tugas khusus Kejaksaan Agung yang bertugas melakukan pemulihan aset, diduga menyalahi prosedur saat menjual aset milik Hendra.

“Seharusnya aset tersebut dikompensasikan untuk kasus korupsi yang bersangkutan, tapi ternyata telah dilakukan transaksi penjualan tidak sesuai prosedur,” tegas ketua tim penyidik kasus Chuck, Sarjono Turin di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Rabu (7/11/2018).

Aset-aset yang diperkirakan dijual dengan melanggar prosedur di antaranya, tiga bidang tanah di daerah Jatinegara, Puri Kembangan, dan Cisarua. Ketiga aset tersebut disita tanpa terlebih dahulu dibentuk tim khusus dan tanpa melalui proses lelang.

Menurut Sarjono, penjualan lahan itu pun tidak sesuai dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) saat perkara itu terjadi sekitar tahun 2012. Aset di Jatinegara seluas 7,8 hektar hanya ditebus dengan bayaran Rp2 miliar kepada negara. Sedangkan aset di Puri Kembangan seluas 45 hektar hanya diganti dengan uang sekitar Rp20 miliar.

“Harusnya sebelum dilelang itu diminta perizinan tertulis misal ada appraisal, terus bukti kepemilikan, dan kemudian diajukanlah untuk melakukan pelelangan. Ini kan tidak,” terangnya.

Sarjono tidak bisa memastikan kapan status pegawai negeri sipil Chuck dicabut. Yang jelas ketika penetapan tersangka tanggal 23 Oktober 2018, Chuck sudah dipecat berdasar penilaian MKJ.

Selain Chuck, tiga jaksa lain yang menjadi tersangka kasus ini merupakan anggota tim Satuan tugas khusus penyelesaian barang rampasan dan barang sita eksekusi. Ketiganya adalah Ngalimun, Albertus Sugeng Mulyanto, dan Zainal Abidin.

Ajang Balas Dendam?

Baik Sarjono maupun Jaksa Agung HM Prasetyo menampik tudingan, penetapan Suryosumpeno sebagai tersangka adalah bentuk balas dendam karena ia memenangkan gugatan melawan jaksa agung di Mahkamah Agung (MA).

Gugatan yang dimenangkan Suryosumpeno, terkait tidak sahnya surat pemberhentian dari Prasetyo terhadap status Kajati Maluku. Meski Suryosumpeno memenangkan gugatan tersebut nyaris bertepatan dengan pencopotan jabatan Suryosumpeno.

“Tidak ada istilah bertepatan dengan putusan PK [Peninjauan Kembali] MA, tidak ada itu. Sudah lama kasusnya diproses, hanya dia sendiri yang selama ini mangkir ketika dipanggil,” kata Prasetyo di Kejaksaan Agung.

Prasetyo mengatakan, Suryosumpeno selalu mangkir dari pemeriksaan ketika dipanggil oleh Kejaksaan Agung. Pendapat itu berseberangan dengan pengacara Suryosumpeno, Sandra Nangoy yang menyatakan, panggilan pemeriksaan sebagai tersangka baru diberikan satu kali.

Status jabatan Suryosumpeno menjadi rumit karena dia memenangkan gugatan di MA. Di sisi lain, ia ditetapkan tidak berprofesi lagi sebagai jaksa di Kejaksaan Agung. Terkait kemungkinan memulihkan statusnya sebagai kepala Kejaksaan Maluku, kuasa hukum Chuck Sandra Nangoy tidak bisa berbuat banyak.

“Kami juga belum tahu,” kata Sandra kepada reporter Tirto. “Tapi harusnya berdasar keputusan itu harusnya tidak ada kesalahan dari Chuck untuk dicabut. Kejaksaan Agung yang harusnya memperbaiki SK-nya.”

Pembelaan yang Kuat

Sandra Nangoy menegaskan kliennya tidak melakukan pelanggaran prosedur pengembalian aset milik Hendra. Namun Sandra menolak menjelaskan lebih lengkap karena hal itu sudah masuk materi penyidikan.

“Nanti pasti akan dipelintir lagi,” kata Sandra.

Dalam laman justiceforchuck.com, Chuck mengatasnamakan dirinya sendiri, memaparkan pembelaannya. Chuck menuliskan, kasus itu bermula dari adanya surat gugatan ahli waris almarhum Taufik Hidayat sebesar Rp100 miliar.

Sebagai ketua satuan tugas khusus, dia menjadi salah satu yang digugat. Menurut Chuck pada, 16 Agustus 2012, Jaksa Agung Basrief Arief menugaskannya sebagai salah satu tim jaksa pengacara negara untuk menyelesaikan masalah itu.

Setelah ditelusuri, Chuck mengetahui bahwa tanah di Kembangan tersebut ternyata sudah dicabut status sitanya pada 2004, saat satuan tugas khusus belum dibentuk. Stasus sitaan itu dicabut oleh Kejaksaan Negeri Jakarta pada 2004 karena dianggap tak ada hubungannya dengan kasus Hendra Rahardja. Tanah itu pun dikembalikan kepada pemilik sebelum penyitaan tersebut.

“Di tengah masa persidangan, majelis hakim menawarkan mediasi dan syukurlah semua pihak menyetujui, jadi tidak benar bila saya dikatakan nego sendiri karena mediasi dilakukan dalam proses persidangan,” tulis Chuck di situs tersebut.

Chuck melanjutkan, jumlah Rp20 miliar yang didapat oleh timnya bukanlah hasil penjualan tanah tersebut. Menurut Chuck, almarhum Taufik Hidayat memiliki utang kepada almarhum Hendra Rahardja dengan besaran Rp5 miliar. Dengan perjanjian antara keduanya, ahli waris Taufik akhirnya setuju membayar Rp20 miliar kepada negara.

“Jaksa Agung Basrief Arief pada saat itu menyatakan sangat puas karena negara tidak perlu membayar uang Rp100 miliar seperti yang dituntut, bahkan negara mendapat masukan Rp20 miliar,” jelasnya.

Sedangkan untuk proses penyelesaian aset tanah di Jatinegara dilakukan oleh Ngalimun. Tanah itu dimiliki oleh almarhumah Sri Wasihastuti yang merupakan istri dari almarhum Hendra. Chuck menuliskan bahwa tanah itu sebenarnya sudah dijual kepada Ardi Kusuma senilai Rp12 miliar sebelum Hendra ditetapkan menjadi terpidana.

Karena Ardi baru membayar Rp6 miliar, maka Chuck menagihnya sejumlah Rp6 miliar lagi untuk diberikan pada negara. Rumitnya, Ardi menjual tanah itu ke PT Cakra Larasasri. Setelah dilobi Ngalimun, Ardi setuju membayar Rp6 miliar sisanya dengan cara mencicil.

“Pada tanggal 16 Januari 2013, telah dilaksanakan pembayaran tahap pertama sebesar Rp2 miliar,” tegas Chuck.

Menanggapi hal ini, Sarjono Turin tidak percaya. Saat inventarisasi, Sarjono menegaskan bahwa tim Kejaksaan Agung masih mendapat informasi aset tersebut dimiliki oleh istri Hendra.

“Kemudian dibuatlah seolah-olah ada jual-beli. Padahal istrinya sudah di antah-berantah sudah lari ke Australia sana kan. Dibuatlah ini ada seolah-olah dengan orang Melly Hassan,” kata Sarjono.

Baca juga artikel terkait KASUS BLBI atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Hukum
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Dieqy Hasbi Widhana