Menuju konten utama

Arkeolog Kritik Rencana Pemasangan Chattra di Stupa Induk Borobudur

Rencana pemasangan Chattra pada puncak stupa induk Candi Borobudur menuai kritikan dari sebagian arkeolog.

Arkeolog Kritik Rencana Pemasangan Chattra di Stupa Induk Borobudur
Foto Chattra yang pernah dipasang di puncak stupa induk Borobudur usai pemugaran pertama candi ini pada 1907-1911 Theodoor va Erp. Tapi, Chattra itu diturunkan kembali oleh van Erp sebab orisinalitas bentuknya meragukan. FOTO/ Koleksi TROPENMUSEUM.

tirto.id - Rencana pemasangan Chattra pada puncak stupa induk, atau stupa tertinggi, di Candi Borobudur mengundang kritik dari sebagian arkeolog. Sejumlah arkeolog mempertanyakan rencana itu karena meragukan orisinalitas Chattra hasil rekonstruksi yang saat ini tersimpan di Museum Borobudur.

Kritik muncul dalam diskusi soal rencana pemasangan Chattra Borobudur di Hotel Alana, Yogyakarta, pada Jumat (2/2/2018). Acara Focus Group Discussion (FGD) itu digelar oleh Balai Konservasi Borobudur bersama PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko.

Misalnya, Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia (UI), Mundardjito menilai pemasangan Chattra di Borobudur berpotensi melanggar etika pemugaran candi. Dia berpendapat tidak ada bukti yang cukup meyakinkan mengenai orisinalitas hasil rekonstruksi Chattra yang ada saat ini.

Hasil rekonstruksi dengan bentuk serupa memang pernah dipasang usai pemugaran pertama Borobudur di awal abad ke-20, tapi lalu diturunkan kembali sebab orisinalitasnya meragukan. Apalagi, menurut dia, tak ada rekaman gambar saat Borobudur pertama kali dipugar yang menunjukkan serakan bagian candi menyerupai Chattra hasil rekonstruksi saat ini.

“Pemasangan bagian candi harus ada konteksnya. Kalau tidak ada, untuk apa? Tanpa dipasang Chattra, Borobudur sudah terkenal di seluruh dunia,” kata dia.

Arkeolog UI lainnya, Supratikno Rahardjo juga menilai orisinalitas Chattra hasil rekonstruksi insinyur Belanda Theodoor van Erp tersebut meragukan dari sudut pandang arkeologis. Dia menyarankan Chattra itu tidak dipasang di Candi Borobudur dan hanya dipamerkan untuk bahan kajian.

Supratikno juga mencatat tak ada candi buddha di Jawa Tengah yang memiliki Chattra. Bagian Chattra dengan bentuk mirip hasil rekonstruksi itu justru ditemukan pada stupa di Sanchi, India. “Tapi, tongkatnya (tiang) kecil dan payungnya lebar.”

Sementara Guru Besar Arkeologi UGM, Timbul Haryono mengamati bentuk Chattra stupa di situs-situs buddhisme berbeda-beda dan bergantung pada aspek lokalitas. Dia mengakui salah satu relief di Candi Borobudur memang mencantumkan tulisan istilah Chattra. Namun, Timbul menilai garis vertikal pada susunan Chattra hasil rekonstruksi saat ini tidak tersambung oleh batu-batu asli candi itu. Hal ini mengakibatkan keabsahannya untuk dipasang menjadi bagian Candi Borobudur meragukan.

Kemendikbud Dukung Pemasangan Chattra Borobudur

Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Dirjen Kebudayan Harry Widianto mengatakan Mendikbud Muhadjir Effendy menyokong rencana ini asal ada dasar kajian dan telah disosialisasikan. Harry menambahkan FGD pada 2-3 Februari 2018 untuk merumuskan rekomendasi mengenai mungkin atau tidaknya pemasangan Chattra.

“Kami ingin minta pendapat (ke para arkeolog), bisa atau tidak. Kalau layak atau tidak, sebutkan alasannya,” ujarnya.

Menurut Harry, pemasangan Chattra merupakan bagian dari penyempurnaan bentuk Borobudur. Dia menyayangkan hasil rekonstruksi Chattra didiamkan begitu saja selama lebih dari satu abad.

"Kalau bisa dipertanggungjawabkan secara arkeologis, go ahead (lanjutkan pemasangan chattra)," kata Harry di sela FGD. “Bagi saya, ini kembali ke kita sebagai arkeolog. Ada bagian dari Borobudur, kenapa didiamkan. Sudah ada rekonstruksinya, kenapa wasting time (tak kunjung dipasang).”

Harry mengakui hasil rekonstruksi Chattra stupa puncak Borobudur tidak sempurna. Tapi, menurut dia, rekonstruksi itu sudah mendekati bentuk asli. Dia menilai pemasangan Chattra layak dilakukan.

“Kalau bentuknya vertikal saya tak berani, tapi ini bentuknya trapesium, saya berani (memasang Chattra meski ada bagian asli hilang). Bisa diekstrapolasi, itu namanya interpretasi,” ujarnya.

Berdasar hasil kajian tim arkeolog Balai Konservasi Borobudur, Chattra hasil rekonstruksi yang ada saat ini tersusun dari 50 buah batu. Anggota tim itu, Hari Setyawan memaparkan 42 persen dari penyusun Chattra itu merupakan batu asli atau 42 bagian saja. Sementara 15 bagian lain merupakan batu sisa Chattra buatan van Erp. Sisanya, 14 bagian merupakan batu baru.

Sejarah Pemasangan Chattra di Borobudur

Chattra adalah bagian puncak dari stupa tertinggi di Candi Borobudur. Berdasar hasil rekonstruksi yang kini tersimpan di Museum Borobudur, bentuknya menyerupai tumpukan tiga payung dengan lebar berlainan. Payung bagian bawah terlebar dan terus mengecil hingga yang paling tinggi. Tinggi Chattra mencapai 315 cm dan lebar bagian dasarnya 178 cm.

Chattra hasil rekonstruksi itu mengikuti konsep buatan insinyur Belanda, Theodoor van Erp yang memimpin pemugaran pertama Candi Borobudur, pada 1907-1911. Bentuk Chattra hasil rekonstruksi van Erp menyerupai relief pada dinding tingkat II sisi selatan Candi Borobudur.

Chattra itu pernah dipasang oleh van Erp di puncak stupa tertinggi Borobudur. Di bawah Chattra, van Erp juga memasang yasti (bagian atas stupa) lapisan tengah yang terdiri dari 9 tumpukan batu. Dokumentasi gambar pemasangan Chattra itu pernah diabadikan oleh van Erp.

Tapi, van Erp dengan kesadaran sendiri menurunkan yasti bagian tengah dan Chattra dari stupa induk Borobudur, pada 1920-an. Alasan Van Erp, yasti dan Chattra itu terlalu banyak didominasi batuan baru.

Menurut Profesor Mundardjito, penurunan itu kemungkinan besar atas desakan arkeolog Belanda, Nicholaas Johannes (NJ) Krom. Pada 1927, N.J Krom memang pernah menerbitkan buku “Barabudur, Archaeological Description” dalam dua volume. Di karya itu, N.J. Krom menulis tidak ada keterangan atau bukti sama sekali soal keberadaan yasti dan Chattra pada stupa induk Candi Borobudur.

Baca juga artikel terkait CANDI BOROBUDUR atau tulisan lainnya dari Addi M Idhom

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Addi M Idhom
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom