Menuju konten utama

Aris Budiman, Video Editan, dan Persaingan di Internal KPK

Aris mengatakan Novel Baswedan sosok yang terlalu powerful di KPK.

Aris Budiman, Video Editan, dan Persaingan di Internal KPK
Direktur Penyidikan KPK Brigjen Pol Aris Budiman berjabat tangan dengan Ketua Pansus Hak Angket KPK Agun Gunandjar saat akan mengikuti rapat dengar pendapat dengan Panitia Khusus Hak Angket KPK di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (29/8). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

tirto.id - Kendati dilarang pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Direktur Penyidikan KPK Brigjen (Pol) Aris Budiman nekat menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Pansus Hak Angket KPK. Dalam kesempatan itu, Aris tidak saja membantah tuduhan menerima Rp2 miliar, ia juga buka-bukaan soal rumor persaingan “geng” di internal penyidik KPK.

“Tuduhan saya menerima Rp2 miliar benar-benar upaya menghancurkan karier saya. Saya akan menjaga kehormatan KPK, maka saya tidak pernah menerima itu,” kata Aris.

Tuduhan Aris menerima Rp2 miliar bermula dari video kesaksian mantan anggota Komisi III DPR, Miryam S. Haryani, yang diputar dalam sidang tindak pidana korupsi proyek KTP elektronik (e-KTP). Dalam video itu Miryam mengungkap ada sejumlah pegawai KPK yang menemui anggota Komisi III (hukum, HAM, dan keamanan) DPR. Ia menyatakan, Direktur Penyidikan menerima Rp2 miliar dalam pertemuan itu.

Aris membantah dan menyebutnya fitnah. Ia beralibi, ia tidak pernah mengenal seorang pun anggota Komisi III DPR selain Wenny Warouw, mantan atasannya.

“Satu-satunya yang saya kenal adalah Pak Wenny Warouw karena dia adalah direktur saya di Reskrim Polri. Tapi, saya yakin dia juga tidak mengenal saya,” kata Aris.

Perihal video kesaksian Miryam yang diputar di persidangan, Aris menyatakan rekaman video itu telah dipotong-potong (diedit) oleh salah seorang penyidik untuk mendiskreditkan dirinya.

“Video itu benar. Tapi telah dipotong. Saya tahu maksudnya untuk memperlihatkan seolah saya tidak independen,” kata Aris.

Aris mengakui dirinya berbeda pendapat dari penyidik itu. Namun, ia berani membuktikan siapa di antara mereka yang bersikap independen.

Aris juga membantah salah satu adegan di dalam video itu yang memperlihatkan Miryam menyodorkan selembar kertas, berisi daftar nama penyidik KPK yang diduga tidak independen. Menurut Aris, kertas itu adalah surat panggilan yang ia tandatangani sehingga namanya muncul di kertas itu.

“Ini luar biasa. Saya selaku direktur dituduh meminta uang Rp2 miliar pada Miryam. Sudah saya katakan, saya tidak mungkin mengkhianati integritas saya. Saya pernah mendapatkan tawaran yang lebih saat di Dirdiskrimsus Polri, tapi saya tolak. Demi integritas,” kata Aris.

Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo menerima penjelasan Aris.

“Baiklah kami anggap video itu direkayasa,” kata Bambang.

Bambang sempat menanyakan kepada Aris tentang kabar mengenai penyidik KPK yang datang ke rumah Miryam sebelum persidangan.

“Apakah saudara tahu ada penyidik dan penuntut datang ke rumah saksi atau tersangka sebelum persidangan?" tanya Bambang.

Menjawab pertanyaan itu, Aris membenarkannya. Kabar itu ia dapat dari anak buahnya di Direktorat Penyidikan KPK.

“Saya tahu di dalam memang ada penyidik dan pegawai KPK yang bertemu dengan anggota DPR tersebut (Miryam),” kata Aris.

Bahkan Aris menyebut tidak hanya rumah Miryam yang didatangi oleh "oknum" penyidik dan pegawai KPK, melainkan ada anggota DPR lain yang rumahnya juga didatangi. “Itu ada saksinya,” tambah Aris.

Meski begitu, Aris enggan menyebutkan nama penyidik yang mengunjungi rumah Miryam dan sejumlah anggota DPR lain. Sebab, menurutnya, ia sudah melaporkan nama "oknum" itu kepada pengawas internal KPK dan Polri.

“Saya melaporkan ke Polri karena ini serangan personal,” kata Aris.

Baca juga:

Rumor Persaingan Internal KPK

Wakil Ketua Pansus Hak Angket KPK Masinton Pasaribu, yang memimpin Rapat Dengar Pendapat, menanyakan kebenaran pemberitaan di media massa tentang ada dua geng yang saling bersaing dalam tubuh internal penyidik KPK.

Aris mengatakan, pemberitaan itu tidak benar. Menurutnya, semua penyidik di KPK adalah sama. Tidak ada perbedaan antara satu dan yang lain.

“Ini bukan geng, tapi ada salah satu penyidik menjelaskan kepada saya, diperkirakan ada masalah sejak diangkatnya penyidik internal. Jadi ini friksi terkait posisi,” kata Aris seperti dilansir dari Antara.

Aris mengatakan telah berupaya meminimalisir potensi itu dengan melakukan penataan. Dalam rapat tingkat deputi, ia meminta agar KPK merekrut penyidik berpangkat Komisaris Polisi (Kompol).

Aris berpandangan, banyak perwira yang baik, terpelajar, dan ingin berkesempatan berkarya di KPK. Namun, usulannya ditentang satu kelompok karena selama ini KPK hanya menerima penyidik berpangkat Ajun Komisaris Polisi (AKP). Padahal, menurut Aris, yang terpenting adalah profesionalisme, bukan jenjang pangkat.

“Alasan lain yang disampaikan penentang adalah karena jika penyidik berpangkat Kompol tidak efektif. Di KPK, semuanya bekerja sehingga kalau Kompol masuk akan mengganggu stabilitas kerja KPK. Tapi, saya tetap menerima [dinamika perbedaan pendapat]," kata Aris.

Aris menuding sang penyidik tidak ingin membentuk tim penyidikan yang andal. Melainkan, hanya ingin membentuk jaringan di internal KPK. Ia menilai, penyidik tersebut terlalu powerful sehingga bisa memengaruhi kebijakan di KPK. Apabila ada kebijakan institusi yang tidak seide dengan penyidik tersebut, maka tidak akan berjalan efektif.

Setelah kejadian perbedaan pandangan itu, Aris mengungkap penyidik yang ia maksud mengirimkan surel ancaman pada 14 Februari 2017. Seminggu setelahnya, muncul pemberitaan di media sosial soal friksi di KPK yang menyudutkan dirinya.

Ketua Pansus Hak Angket KPK meminta Aris untuk menyebutkan nama oknum tersebut. Mulanya Aris menolak. Tapi, akhirnya mengiyakan setelah dikatakan oknum tersebut pernah terkena kasus menembak orang sampai meninggal di instansinya sebelum pindah ke KPK.

"Apakah itu Novel? Benar itu Novel (Baswedan)?" tanya Agun.

"Iya, benar," jawab Aris.

Siap Menerima Konsekuensi

Di akhir Rapat Dengar Pendapat, Aris menegaskan ia siap menerima segala konsekuensi karena datang ke DPR.

"Ya, saya sudah mempertimbangkan semuanya," kata Aris.

"Apakah Anda siap kalau ini mengganggu karier Anda?" tanya Wakil Ketua Komisi III Taufiqulhadi.

"Saya datang ke sini karena merasa perlu untuk membersihkan nama saya dari tuduhan yang membunuh nama baik saya. Dan apa pun itu, saya akan terima akibatnya," kata Aris.

Aris menceritakan, ia sudah meminta izin kepada pimpinan KPK untuk memenuhi panggilan Pansus. Tapi, menurutnya, pimpinan KPK menganggap hal itu tidak perlu.

"Melalui japri, mereka bilang saya tidak usah hadir. Tapi, saya pikir Pansus itu legal. Saya tetap hadir," kata Aris.

Baca juga artikel terkait KPK atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Hukum
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Jay Akbar