Menuju konten utama

A.R Fachruddin Cahaya Kesederhanaan Muhammadiyah

A.R Fachruddin menjadi ketua PP Muhammadiyah terlama sepanjang sejarah. Hidupnya sederhana. Ceramahnya sejuk. Pantang baginya menerima uang untuk kegiatan berdakwah. Ia wafat tanpa pernah memiliki rumah.

A.R Fachruddin. tirto.id/Fuad

tirto.id - Pengalaman indekos di Jalan Cik Ditiro 19 A, Yogyakarta, puluhan tahun silam masih berkesan dalam ingatan Syaifuddin Simon (58 tahun). Ia tak pernah menyangka sosok bersahaja yang menjadi bapak kosnya ternyata salah satu tokoh penting di Tanah Air.

“Pak A.R itu orangnya sangat, sangat, sangat sederhana,” kata Simon, mantan jurnalis yang pernah bekerja di Republika, saat menceritakan pengalamannya kepada Tirto, Selasa (23/5/2017).

Abdul Rozak (A.R) Fachruddin memang lebih akrab disapa Pak AR. Kata “sangat” yang diulang Simon sampai tiga kali menjelaskan banyak hal soal sikap hidup Pak AR.

Lahir di Pakualaman Yogyakarta pada 14 Februari 1916 dari pasangan K.H. Fachruddin dan Maimunah binti K.H. Idris Pakualaman, Pak A.R mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk memajukan umat Islam melalui organisasi Muhammadiyah.

Di Muhammadiyah, Pak A.R bekerja dari bawah. Ia pernah menjadi guru di sepuluh lebih sekolah Muhammadiyah, menjadi Ketua Pemuda Muhammadiyah, ketua ranting, ketua cabang, ketua wilayah, hingga akhirnya menjadi Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Pak A.R tercatat sebagai pemimpin PP Muhammadiyah terlama dalam sejarah (1968-1990). Jabatan itu dia emban berdasarkan usul Buya Hamka setelah wafatnya K.H Fakih Usman yang merupakan Ketua PP Muhammadiyah tersingkat dalam sejarah.

"Dalam Muktamar ke-38 tahun 1968 di Yogyakarta diputuskan bahwa Fakih Usman diangkat menjadi Ketua PP Muhammadiyah, meskipun yang memperoleh suara terbanyak adalah A.R Fachrudin. Kepemimpinan Fakih Usman hanya berlangsung sekitar sepekan—ini merupakan kepemimpinan yang paling singkat dalam sejarah Muhammadiyah—karena beliau meninggal," seperti dilansir dari 1 Abad Muhammadiyah: Gagasan Pembaruan Sosial Keagamaan.

Menjadi orang nomor satu dan terlama di Muhammadiyah tidak lantas mengubah gaya hidup Pak A.R. Kemana-mana ia lebih suka mengayuh sepeda atau mengendarai motor Yamaha bututnya. Motor keluaran tahun 1970-an itu merupakan pemberian pengusaha batik bernama Prawiro Yuwono yang tidak tega melihat orang penting di Muhammadiyah berdakwah ke berbagai daerah hanya menggunakan sepeda.

“Motor itu dia pakai sampai komponennya rusak, butut, olinya berceceran,” ujar Simon.

Suatu hari dalam perjalanan menuju Pajangan, Bantul, motor Pak A.R mogok. Ia lantas menuntun motornya ke bengkel yang lumayan jauh. Tiba-tiba saja Pak A.R bertemu salah seorang kenalannya.

“Lho, Pak, kok motornya dituntun?” tanya kenalannya itu.

Mendengar pertanyaan itu Pak A.R menjawab enteng: “Kalau tidak dituntun takut nanti ngamuk.”

Tawaran berkendara enak dan nyaman bukannya tidak ada. Awal dekade 1980-an, perwakilan PT Astra datang menawarkan mobil Toyota Corolla DX keluaran terbaru secara cuma-cuma. Namun, Pak A.R menolak. Alasannya sederhana saja, ia tidak bisa menyetir dan ogah direpotkan dengan urusan perawatan.

“Mobil kalau [Pak A.R] mau banyak yang kasih, tapi dia tidak pernah mau,” ujar Simon.

Pak A.R sempat berjualan bensin eceran di depan rumah yang dipinjami Muhammadiyah demi menambah biaya kuliah anaknya. Bisa dibayangkan, pemimpin organisasi sebesar Muhammadiyah, memimpin selama lebih dari dua dekade, berjualan bensin eceran untuk mendapatkan pemasukan.

Ia menolak dikasih uang untuk ceramah. Kalau pun terpaksa harus menerima, uang itu sepenuhnya akan dibagikan ke para pegawai Muhammadiyah yang belum sejahtera.

Sekali waktu Pak A.R pernah coba membeli rumah tetapi uang muka dan cicilan yang telah dibayarkan malah dibawa kabur pengembang. Hingga akhir hayatnya Pak A.R tidak pernah memiliki rumah sendiri.

“Aneh tidak kalau zaman sekarang?” tanya Simon dengan nada retoris.

Meski melakoni hidup dengan kesederhanaan Pak A.R memiliki pergaulan luas. Teman-temannya berasal dari berbagai kalangan. Mulai dari tukang becak, intelektual, budayawan, menteri, hingga presiden. Simon mengatakan Gus Dur kerap datang berkunjung ke kediaman Pak A.R bila ingin membicarakan masalah-masalah nasional.

“Karena Pak A.R orang Muhammadiyah yang paling dekat dengan Pak Harto,” kata Simon.

Sekali waktu usai shalat subuh berjamaah dengan anak-anak kosnya, Pak A.R bercerita bahwa dirinya baru saja mengirim surat kepada Presiden Soeharto. Isi suratnya singkat, tentang rencana Muhammadiyah mendirikan universitas di Yogyakarta.

“Pak Harto, Muhammadiyah bade bangun universitas, menawi kerso monggo,” kata Simon menirukan ucapan Pak A.R mengenai isi surat yang dikirim ke Soeharto.

Simon menilai isi surat Pak A.R kepada Soeharto sangat diplomatis. Sebab di dalamnya tidak ada kata atau kalimat meminta bantuan, tetapi justru lebih berupa tawaran ikut membantu. Dan benar saja, selang seminggu surat itu dikirim, telepon berdering dari pihak Soeharto.

“Ternyata ada cek beberapa ratus juta. Waktu itu uang segitu besar sekali,” ujar Simon.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/05/28/AR-fachruddin--mild--fuad_ratio-9x16.jpg" width="860" alt="Infografik AR Fachruddin" /

Gaya Dakwah

Suatu hari pengurus masjid di sekitar kawasan Poncowinatan dekat Malioboro datang ke kediaman Pak A.R. Mereka kebingungan lantaran ada salah satu donator masjid dari keluarga non-Muslim ingin jenazah ayahnya disalatkan sebelum dikubur.

Mendengar cerita ini Pak A.R bergegas datang ke lokasi. Setibanya di lokasi Pak A.R memerintahkan pengurus masjid memasukkan peti mati jenazah si non-Muslim. Ia meminta peti jenazah diletakkan di sisi ruangan masjid. Setelah itu Pak A.R mengajak jamaah melaksanakan shalat Ashar berjamaah.

Usai shalat anak almarhum bertanya kepada Pak A.R mengapa peti mati ayahnya tidak diletakan di depan orang salat seperti saat orang Islam meninggal. Pak A.R menjawab: “Yang di depan, kan, orang Islam. Kalau non-Muslim diletakkan di samping. Ini cara kami menghormati dan mengistimewakan tamu.”

Penguasaan ilmu agama yang mendalam justru mematangkan pribadi Pak A.R. Cara dakwahnya sejuk dan mengajak. Bukan menghakimi apalagi memusuhi. Wajar ceramah-ceramah Pak A.R yang disiarkan TVRI Yogyakarta tidak hanya didengar oleh umat Islam tapi juga non-Muslim.

“Pak A.R kalau ada undangan ceramah dari masyarakat kecil dan dari orang kaya, yang diutamakan datang ke masyarakat kecil. Kebalikan dengan [penceramah] zaman sekarang,” ujar Simon.

Di akhir kepengurusan Pak A.R pada tahun 1989, Muhammadiyah untuk pertama kalinya membuat terobosan bekerjasama dengan bank dalam rangka penataan administrasi keuangan dan konsolidasi organisasi. Bank Rakyat Indonesia (BRI) dipilih karena dinilai lebih bermaslahat.

“Kerja sama dengan bank untuk pertama kalinya ini merupakan langkah yang berani karena di lingkungan umat Islam masih terdapat perbedaan pendapat tentang kehalalan bank, terutama berkaitan dengan riba dan bunga bank,” 1 Abad Muhammadiyah: Gagasan Pembaruan Sosial Keagamaan.

Pak A.R Wafat

Jumat 17 Maret 1995 kabar duka datang dari Rumah Sakit Islam Jakarta: Pak A.R wafat. Ia pergi setelah mengalami perawatan intensif selama tiga pekan karena komplikasi penyakit vertigo, pembengkakan jaringan, dan leukemia.

Presiden Soeharto, Menteri Agama Tarmizi Taher, Ketua Umum MUI KH Hasan Basri, Ketua Umum DPP PPP Ismail Hasan Metareum, Ketua PP Muhammadiyah sempat melayat ke rumah sakit. Jenazah Pak A.R kemudian dibawa ke Masjid Istiqlal. Di sana, ribuan umat Islam sudah menanti untuk menshalatkan jenazahnya.

Presiden Soeharto memesan khusus sebuah pesawat Hercules untuk membawa jenazah Pak A.R ke kampung halamannya Yogyakarta. Di Masjid Besar Kauman Keraton Yogyakarta ribuan umat Islam juga sudah berkumpul. Meluber ke sisi barat alun-alun depan keraton.

“Ini peristiwa langka,” kata sejarawan Universitas Gadjah Mada Djoko Suryo seperti diberitakan Harian Republika.

Amien Rais dalam sambutan atas nama keluarga dan Muhammadiyah mengatakan Pak A.R pergi meninggalkan tiga warisan: kesederhanaan, kejujuran, dan keikhlasan. Jenazah Pak A.R dikebumikan di Pemakaman Umum Karang Kajeng berderet dengan pendiri Muhammadiyah K.H Ahmad Dahlan.

Di bawah matahari yang redup dan gerimis kecil, pekik takbir pelayat mengiringi perjalanan Pak A.R ke rumahnya yang abadi.

Baca juga artikel terkait RAMADHAN atau tulisan lainnya dari Jay Akbar

tirto.id - Humaniora
Reporter: Jay Akbar
Penulis: Jay Akbar
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti