Menuju konten utama

APTRI Ungkap Penyebab Biaya Produksi Gula Mahal

Ketua APTRI Soemitro Samadikoen menjelaskan angka Rp 10.500 per kg tak membuat petani untung lantaran itu hanya setara dengan BPP gula yang mereka produksi.

APTRI Ungkap Penyebab Biaya Produksi Gula Mahal
Petani memanen tebu untuk dikirim ke pabrik gula di kawasan Wonoayu, Sidoarjo, Jawa Timur, Minggu (27/5/2018). ANTARA FOTO/Umarul Faruq.

tirto.id - Mahalnya biaya pokok produksi (BPP) untuk menggiling tebu menjadi gula menjadi alasan petani yang tergabung dalam Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mengusulkan kenaikan harga pokok pembelian (HPP) gula di tingkat petani naik dari Rp9.700 per kg menjadi Rp10.500 per kilogram (kg).

Ketua APTRI Soemitro Samadikoen menjelaskan angka Rp 10.500 per kg tak membuat petani untung lantaran itu hanya setara dengan BPP gula yang mereka produksi. Lebih lanjut, ia membeberkan alasan mengapa BPP gula masih mahal.

“Kita nyalain mesin yang belum diperbarui dari zaman Belanda. Kondisi itu mengakibatkan biaya produksi kita,” jelas dia kepada reporter Tirto, Kamis (8/2/2019).

Pabrik-pabrik gula yang berusia tua sebagian masih beroperasi, "dipaksa" untuk tetap produksi untuk meladeni konsumsi gula yang makin bertambah.

Hingga akhir periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) belum mampu merealisasikan upaya revitalisasi pabrik gula yang ada di tanah air. Kendala utama kala itu ada pada pengembangan kapasitas giling.

Upaya revitalisasi di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun dinilai belum tuntas. Rencana Jokowi membangun 10 pabrik gula baru di Pulau Jawa guna meningkatkan produktivitas dan menekan biaya produksi baru bisa dirasakan dampaknya pada tahun 2019.

Saat ini yang sudah dalam proses pelaksanaan mencakup revitalisasi tujuh pabrik gula. Revitalisasi pabrik gula ditargetkan dapat menggenjot produksi gula nasional menjadi 5 juta ton pada 2019.

Dengan kondisi saat ini, produktivitas pabrik gula nasional tak efisien dan berbiaya mahal, bahkan lebih mahal dari biaya produksi gula di negara tetangga seperti Thailand.

Ia mencontohkan, untuk 100 ton tebu misalnya, penggilingan di dalam negeri hanya bisa menghasilkan 7 ton gula. Dengan volume tebu yang sama, penggilingan di Thailand bisa menghasilkan 14 ton gula.

“Ini rendemen kita itu hanya 7 persen rata-rata. Sedangkan di Thailand 14 persen. Dari situ saja orang awam sudah lihat. Rendemen itu adalah keluarnya gula yang berasal dari tebu yang digiling,” jelas dia.

Tidak efisiennya produktivitas pabrik gula nasional itulah yang, menurut Soemitro, membuat biaya produksi gula di dalam negeri menjadi mahal.

Untuk itu, ia meminta pemerintah fokus mempercepat peremajaan pabrik-pabrik penggilingan nasional agar produksi gulanya bisa meningkat dan biaya produksinya bisa lebih rendah.

“Kalau kita mau sama dengan Thailand ya naikkan rendemen kita minimal 10-12 persen, syukur sama [14 persen], gitu lho,” kata dia.

Baca juga artikel terkait PRODUKSI GULA atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Bisnis
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Maya Saputri