Menuju konten utama

Aplikasi Qlue Tak Lagi Diutamakan oleh Anies

Pengaduan warga via Qlue mengenai masalah publik Jakarta menurun di era Anies-Sandiaga, dan rerata penyelesaiannya bertambah lama.

Aplikasi Qlue Tak Lagi Diutamakan oleh Anies
Laporan soal sampah, yang seharusnya bisa dibereskan warga secara mandiri, selalu jadi urutan pertama dalam pelaporan Qlue. tirto/Lugas

tirto.id - Sudah tiga pekan Fiki Sabbas Purnomo melaporkan trotoar berlubang di Jalan RC Veteran Raya Bintaro melalui akun twitter @Curaciru. Sejak melaporkan 14 Januari 2018, Fiki belum melihat indikasi pemerintah @DKI Jakarta merespons dengan sigap.

Setelah dua kali me-retweet, akun resmi Dinas Satpol PP DKI Jakarta merespons laporan Fiki pada 6 Februari. Bentuk respons ini termasuk pula mengunggah tiga bingkai foto di lokasi itu, yang dihadiri Lurah Bintaro, Kepala Seksi Sarana dan Prasarana Kecamatan Pesanggrahan, dan anggota legislatif DKI. Mereka melihat-lihat lokasi tersebut dan foto bersama, seakan sudah menindaklanjuti laporan Fiki.

Empat jam setelah foto seremoni itu, Fiki kembali melewati trotoar tersebut dengan kondisi tetap berlubang. Ia tak tahu bahwa laporannya sudah didatangi petugas kelurahan dan anggota dewan. Hal ini karena akun @SatpolPP_DKI tidak menandakan @Curaciru sebagai pelapor. Akun resmi pemerintah itu hanya memberikan kesan sudah bekerja kepada pimpinannya dengan menandakan @aniesbaswedan @sandiuno @DKIJakarta @datinsatpolpp.

Fiki kembali melaporkan ke @Pemprov DKI melalui akun twitternya. Cuitannya: "Yang ini sudah hampir sebulan habis dilaporin belum diapa-apain." Setelah tiga kali melaporkan, akhirnya lubang di trotoar ini diperbaiki oleh dinas terkait pada 8 Februari.

Fiki, yang bekerja di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan, biasa melewati Bintaro ke lokasi kerja dari rumahnya di Pondok Gede, Bekasi. Laporan trotoar, tambahnya, bukan kali pertama. Sejak Jakarta di bawah Gubernur Joko Widodo, ia kerap mengadu masalah ruang publik melalui akun Twitter dia.

Selama setahun terakhir, katanya, ia sudah melaporkan empat kali. Selain trotoar berlubang, laporan lain adalah jalan berlubang di Lubang Buaya, marka jalan dan lampu lalu lintas yang rusak di kawasan Radio Dalam dan Pondok Indah.

"Kalau lihat fasilitas umum enggak beres dan biayanya enggak sampai ratusan juta, saya laporkan. Enggak ada motif apa pun kecuali untuk perbaikan," katanya melalui telepon, Kamis pekan lalu.

Ia bilang pengaduannya yang disebar via media sosial murni dari apa yang ditemuinya di jalan, dan tidak sedang mencari-cari kesalahan kerja Pemprov Jakarta.

Pelaporan ini sejalan kebijakan Anies Baswedan untuk merespons keluhan warga secara cepat dengan medsos. Pada 19 November 2018, akun Twitter @aniesbaswedan mencuitkan: "Untuk memudahkan penyelesaian masalah, teman-teman bisa melaporkan permasalahan melalui 7 kanal pengaduan resmi Pemprov @DKIJakarta."

Ketujuh kanal itu adalah fanpage DKI Jakarta di Facebook, Twitter @DKIJakarta, email dki@jakarta.go.id, Balai Warga Jakarta.go.id, Lapor 1708, SMS 08111272206, dan Qlue.

Tujuh kanal itu bukanlah hal baru. Sejak era Gubernur Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama, kanal-kanal ini sudah tersedia. Tapi Ahok mendorong warga melaporkan lewat aplikasi Qlue, sebuah platform untuk menyalurkan pengaduan masyarakat terkait Kota Jakarta agar segera ditindaklanjuti petugas pemprov setempat. Qlue dianggap identik dengan Ahok, yang menggandeng aplikasi ini ke dalam manajemen Jakarta Smart City.

Ahok bahkan sempat mewajibkan para Ketua RT/RW melaporkan kegiatan via Qlue, tetapi kemudian dihapuskan karena memicu polemik.

Sejak Anies dan Sandiaga Uno menempati Balai Kota Jakarta pada Oktober tahun lalu, dan mengumumkan ketujuh kanal pengaduan itu, pola dan manajemen pelaporan warga berubah.

Aang Jatanika, Kepala Divisi Monitoring dan Evaluasi Jakarta Smart City, mengatakan tidak ada pergantian aplikasi Qlue pada pemerintahan baru Anies-Sandi. Alasannya, Qlue masih efektif bagi warga melaporkan masalah di lingkungannya. Ia mengklaim mayoritas laporan masyarakat melalui Qlue.

"Sisanya 10 persen dilaporkan lewat berbagai kanal lain (Facebook, Twitter, email, SMS, Balai Warga, Lapor 1708)," kata Aang.

Anies juga membuka posko pengaduan di kelurahan masing-masing setiap jam kerja dengan durasi tiga jam, dari pukul 8 pagi sampai 11 pagi. Pemda memberikan kesempatan kepada warga DKI yang tak sempat melaporkan di hari kerja bisa mengadu pada Sabtu pagi di kecamatan dengan syarat membawa identitas.

Nurdayat, Ketua RT 01 dari RW 07 Kelurahan Sukabumi Utara, Jakarta Barat, mengatakan pelaporan warga ke kelurahan dan kecamatan adalah "langkah mundur" karena dilakukan secara konvensional. Menurutnya, aplikasi Qlue "cukup efektif" membantu masyarakat melaporkan masalah tanpa mendatangi kelurahan.

Itu pun, lanjutnya, tak semua laporan langsung ditindaklanjuti oleh pihak kelurahan maupun kecamatan. Alasannya, daftar permasalahan warga dikumpulkan terlebih dulu dan dipilah kasus yang akan direspons oleh mereka.

"Lebih enak warga punya aplikasi Qlue, langsung lapor ke pemerintah. Lebih baik warga semuanya melaporkan melalui aplikasi biar cepat ditanggapi," kata Nurdayat.

Infografik HL Lapor Lewat Qlue 01

Konvensional vs Aplikasi

Betapapun Jakarta dikenal sebagai salah satu "kota paling cerewet di dunia maya", mendorong warganya mengadu soal ruang publik via Facebook dan Twitter belum jadi kebiasaan.

Setiaji, Kepala Unit Pelaksana Teknis Jakarta Smart City, mengatakan bahwa pengaduan masyarakat lewat Facebook dan Twitter ke akun pemerintah DKI Jakarta sangat sedikit.

Dalam sehari, kata dia, laporan pengaduan masyarakat hanya 5 orang dan paling banyak 10 orang. Itu pun jarang sekali. Sedangkan Qlue bisa 400 laporan per hari, ujarnya.

Sedikit laporan via medsos karena proses identifikasi pengaduannya yang lama, dari kategori laporan, pemetaan kelurahan, dan titik lokasi. Proses ini masih konvensional sehingga memakan waktu.

"Jika sudah teridentifikasi, baru dilaporkan ke dinas terkait. Setelah direspons dinas, baru kita masukin ke medsos lagi tindak lanjut penyelesaian masalah tersebut," kata Setiaji.

Pola ini berbeda dari Qlue, yang sudah mendeteksi lokasi pelaporan dan membagi masalah per kategori. Dalam aplikasi ini ada 28 kategori, di antaranya soal sampah, fasilitas umum, jalan rusak, parkir liar, kaki lima liar, iklan liar, pungutan liar, transportasi, pohon tumbang, kemacetan, banjir, kebakaran, hingga problem kejahatan seperti narkoba dan teroris.

"Yang masih efektif itu, ya, Qlue karena lokasi langsung jelas, kemudian langsung ke Pak Lurah," kata Setiaji.

Pengaduan via Qlue Menurun

Meski lebih efektif, angka pengaduan masyarakat menggunakan Qlue menurun. Berdasarkan data Jakarta Smart City, pada November 2016, ada 36.058 laporan masyarakat. Laporan ini di antaranya terkait sampah (7.444), pelanggaran (5.518), parkir liar (4.572), fasilitas umum (3.850), dan kemacetan (1.853). Dari total pengaduan itu, 41 persen ditindaklanjuti oleh pemerintah, 41 persen proses, dan 18 persen menunggu.

Pada Desember 2016, ada 28.901 laporan, di antaranya sampah (7.189), pelanggaran (4.197), parkir liar (4.217), fasilitas umum (2.986), dan kemacetan (1.037). Dari total pengaduan ini, 44 persen ditindaklanjuti, 40 persen proses, dan 16 persen menunggu. Rerata waktu penyelesaian 8-9 jam. Di era penjabat Gubernur Soni Sumarsono, jumlah pengaduan masyarakat menurun.

Jumlah penurunan ini terjadi di era Anies Bawesdan. Pada November 2017, ada 12.405 laporan, di antaranya sampah (2.524), fasilitas umum (1.884), parkir liar (1.774), iklan liar (1.429), dan pelanggaran (1.029). Dari total pengaduan ini 57 persen ditindaklanjuti, 22 persen koordinasi, 14 persen proses, 6 persen menunggu, dan 1 persen disposisi.

Pada Desember 2017, ada 10.759 laporan termasuk sampah (2.221), iklan liar (1.618), fasilitas umum (1.502), parkir liar (1.224), dan pelanggaran (815). Dari total pengaduan ini 58 persen ditindaklanjuti, 20 persen kordinasi, 13 persen proses, 8 persen menunggu, dan 1 persen disposisi. Rerata waktu penyelesaian laporan mencapai 72 jam.

Setiaji berkata tindak lanjut dinas yang lamban karena, dalam beberapa pengaduan, pemerintah membutuhkan anggaran yang besar dan wilayah laporan berada dalam wewenang pemerintah pusat. Sementara untuk laporan yang sepele seperti iklan liar atau coretan liar bisa cepat direspons.

"Kalau jalan bolong-bolong bisa ditangani. Tapi kalau perluasan jalan dan perbaikan saluran, butuh waktu," katanya.

Aang Jatanika dari Jakarta Smart City mengatakan respons yang lamban karena terkadang terkait mata pencaharian pedagang kaki lima. Begitupun jika urusannya dengan organisasi masyarakat, misalnya soal bendera ormas yang dipasang di pinggir-pinggir jalan.

"Kalau menyangkut dua ini pasti butuh waktu untuk melobi. Kalau langsung turun membongkar bisa habis petugas di lapangan," kata Aang.

Baca juga artikel terkait QLUE atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Teknologi
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam